Sabtu, 19 September 2015

Lebih afdhal kaya atau miskin?

Ada sekelompok sahabat nabi Muhammad saw yang mengungkapkan kesedihannya terkait dengan kondisi mereka yang miskin, sehingga mereka tidak dapat berbuat seperti yang dapat diperbuat oleh sahabat nabi yang kaya, kemudian mereka mengadukan kesedihannya kepada Rasulullah shalallahu alaihi wassalam.

Rasulullah saw bersabda:

Diriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghifari ra, bahwasanya para sahabat Rasulullah saw berkata kepada nabi Muhammad saw: "Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong banyak pahala, mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka!" Rasulullah sawbersabda: "Bukankah Allah swt telah menjadikan untuk kalian sesuatuuntuk kalian bersedekah dengannya? Sesungguhnya, setiap tasbih sedekah, setiap takbir sedekah, setiap tahmid (ucapan alhamdulillah) sedekah, dan setiap tahlil (ucapan la ilaha illallah) sedekah, amar ma'ruf sedekah, nahi munkar sedekah, dan pada kemaluan salah seorang kamu terdapat sedekah." Mereka (para sahabat) berkata: "Wahai Rasulullah, adakah jika salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya padanya terdapat pahala baginya?" Rasulullah saw menjawab: "Bagaimana pendapat kalian jika ia meletakkannya di tempat yang haram, adakah ia akan mendapat dosa? Demikian pula jika ia meletakkannya pada yang halal, maka terdapat pahala untuknya." (HR Muslim)

Takhrij hadits

Hadits dengan  redaksi seperti ini adalah hadits shahih diriwayatkan oleh Imam Muslim padakitab az-zakat, bab bayan anna isma ash-shadaqah yaqo'u 'ala kulli ma'rufin, hadits no. 720 (84), 1006 (53).

Dalam redaksi yang berbeda dan melalui sahabat yang berbeda pula (dari Abu Hurairah), diriwayatkan oleh Imam Bukhari pada kitab al-adzan, bab abwab shifat ash-shalah – bab adz-dzikr ba'da ash-shalah, hadits no. 843, 6329.

Redaksi yang berbeda ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari, juga diriwayatkan oleh Imam Muslim pada kitab al-masajid wa mawadhi' ash-shalah, bab istihbab adz-dzikri wa bayan shifatihi, hadits no. 595 (142, 143).

Kandungan hadits

Secara garis besar, hadits ini menjelaskan tentang masalah-masalah penting, strategis dan bahkan sensitif, di antaranya adalah:

1. Masalah miskin-kaya.

2. Masalah persaingan dan kompetisi.

3. Cakupan pengertian sedekah secara luas dan dalam.

4. Masalah niat dan tidak niat bagi seorang muslim dalam urusan kesehariannya.

5. Masalah penggunaan qiyas (analogi) dalam berdalil.

Miskin-kaya

Di antara masalah penting dan bahkan sensitif yang disinggung oleh hadits Arba'in yang ke-25 ini adalah masalah miskin-kaya.

Secara garis besar, hadits ini menceritakan bahwa ada sekelompok sahabat nabi Muhammad saw yang mengungkapkan kesedihannya terkait dengan kondisi mereka yang miskin, sehingga mereka tidak dapat berbuat seperti yang dapat diperbuat oleh sahabat nabi yang kaya.

Ada banyak hal menarik untuk dibahas terkait dengan masalah ini, di antaranya adalah:

PertamaGhibthah

Orang-orang miskin dari kalangan para sahabat nabi saw itu bukan iri  terhadap kekayaan para sahabat nabi yang kaya. Bukan pula mengadukan perilaku orang kaya yang tidak mau membantu mereka dan melupakan kewajiban mereka kepada orang miskin, akan tetapi, orang-orang miskin itu "iri" (baca: dalam tanda petik) karena peluang pahala orang kaya lebih besar daripada pahala orang miskin.

"Iri" seperti ini dalam bahasa syari'ah tidak disebut hasad (iri dalam konotasi negatif), akan tetapi, "iri" yang seperti ini disebut dengan istilah ghibthah (iri dalam konotasi positif).

Untuk memudahkan perbedaan diantara keduanya, dapat dijelaskan sebagai berikut:

Hasad adalah iri, di mana pihak yang iri berangan-angan atau bahkan berusaha menghilangkan kenikmatan dari pihak yang "diiri", sedangkan ghibthah adalah "iri" di mana pihak yang iri tidak ada angan-angan atau usaha menghilangkan kenikmatan pihak yang diiri, ia hanya berangan-angan dan berusaha mencapai prestasi yang diraih oleh pihak yang diiri.

Ghibthah dibenarkan oleh Islam.

Rasulullah saw. bersabda: "Tidak ada hasad(dalam arti ghibthah) kecuali dalam dua perkara;

1. Terhadap seorang lelaki yang oleh Allah swtdiberi harta, lalu ia "menghabiskannya"dalam al-haq (kebenaran).

2. Terhadap seorang lelaki yang diberi hikmah oleh Allah swt. lalu ia menunaikan hak-hak hikmah itu dan mengajarkannya kepada orang lain". (Hadits shahih muttafaqun 'alaih, lihat: al-lu'lu' wal marjan fima ittafaqa 'alaihi asy-syaikhan, hadits no. 467).

Termasuk juga "iri" para sahabat nabi yang miskin terhadap para sahabat nabi yang kaya dalam hal keinginan mendapatkan pahala yang sebanyak-banyaknya, sebagaimana diceritakan dalam hadits ini.

Kedua: Kesedihan yang positif

Hadits Arba'in yang ke-25 ini juga menggambarkan tentang kesedihan para sahabat nabi yang miskin saat berhadapan dengan kenyataan bahwa mereka tidak dapat melakukan banyak hal dikarenakan kemiskinan mereka.

Kesedihan dan bahkan tangis serta air mata seperti ini juga dibenarkan dan dipuji oleh Allah swt selama tidak sampai ke tingkat putus asa dan atau menentang kehendak dan takdir Allah. Allah swt berfirman,"Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan (untuk berangkat perang Tabuk), lalu kamu berkata: 'Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu', lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan." (QS At-Taubah: 92).

Ketiga: Kompetisi yang indah

Hadits ini juga menceritakan satu potret masyarakat yang berkompetisi dan bersaing di antara sesama mereka. Kompetisi yang mereka lakukan bukan saja kompetisi yang baik, namun juga indah.

Kita lihat bahwa para sahabat nabi yang miskin, ingin "mengalahkan" para sahabat nabi yang kaya, tetapi semangat "menggalahkan" dalam hal mendapatkan pahala di sisi Allah swt.

Dan sebagai kompetitor, para sahabat nabi yang kaya pun tidak mau "kalah" dan "mengalah" dalam menghadapi persaingan para sahabat nabi yang miskin. Caranya, setiap peluang amal shalih yang ditawarkan oleh nabi Muhammad saw kepada orang-orang miskin, mereka juga tidak mau ketinggalan dan ikut pula mengamalkan apa yang diamalkan oleh orang-orang miskin.

Sungguh, sebuah kompetisi yang sehat, indah dan menarik, radhiyallahu 'anhum ajma'in.

Keempat: Bercita-cita atau berangan menjadikaya

Bolehkah seseorang berangan-angan atau bercita-cita menjadi kaya, atau minimal berangan-angan memiliki harta?

Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan ini, mari kita simak hadits berikut:

Perumpamaan umat ini seperti empat orang:

1. Seorang lelaki yang oleh Allah swt diberi harta dan ilmu, lalu ia mengamalkan ilmunya dalam hartanya, ia menginfakkannya pada hak harta itu.

2. Dan seorang lelaki yang diberi ilmu oleh Allah swt dan tidak diberi harta, lalu ia berkata: kalau saja saya memiliki seperti yang dimiliki orang ini (orang pertama), niscaya saya akan perbuat pada harta itu seperti yang diperbuat olehnya.

Rasulullah sawbersabda"dua orang ini mendapatkan pahala sama."

3. Dan seorang lelaki yang diberi harta oleh Allah dan tidak diberi ilmu, lalu ia berbuat sekehendaknya dalam hartanya, ia membelanjakannya bukan pada haknya,

4. Dan seorang lelaki yang tidak diberi ilmu dan harta (sekaligus), lalu ia berkata: kalau saja saya mempunyai seperti yang dimiliki oleh orang ini (orang ke-3), niscaya saya akan berbuat seperti yang ia perbuat.

Rasulullah sawbersabda: dua orang ini (3 dan 4) mendapatkan dosa sama. (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Majah, lihat: Shahih wa Dha'if Sunan Ibn Majah, hadits no. 4228).

Lebih afdhal kaya atau miskin?

Saat mengulas hadits ini, Al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani (773 – 852 H = 1372 – 1449 M), dengan mengutip dari Ibnu Baththal (w. 449 H = 1057 M)  memasukkan satu pembahasan tentang pertanyaan ini.

Kata beliau: panjang sekali perbedaan pendapat para ulama' dalam masalah ini (Fathul Bari, XI/278 – 281).

Namun, pada akhirnya beliau berkesimpulan, "Klaim bahwa sebagian besar para sahabat nabi dalam keadaan menyedikitkan harta dan zuhud terbantah oleh post yang masyhur tentang keadaan mereka …" (Fathul Bari XI/280).

Yang dimaksud dengan keadaan yang masyhur dari para sahabat nabi adalah bahwa mereka setelah era futuhat kebanyakan dalam keadaan kaya disertai dengan taqarrub kepada Allah swt dan tetap menjaga ghinan-nafs (kaya jiwa), sedangkan yang menyedikitkan harta dan zuhud dibandingkan dengan yang kaya adalah minoritas para sahabat nabi saw. (Fathul BariXI/280).

Seorang ulama kontemporer yang sangat terkenal, Prof. DR. Yusuf Al-Qaradhawi juga lebiih cenderung kepada pendapat yang mengutamakan kaya atas miskin.

Terkait hal ini beliau berkata, "Dari sini jelas bagi kita bahwa pemikirann yang tumbuh di kalangan tasawuf yang mengagungkan kefakiran dan menyambutnya secara gegap gempita, serta secara mutlak mencela kaya dan menakut-nakutinya, tidak lain adalah pemikiran yang dilontarkan oleh filsafat Manawiyah dari Persia, doktrin tasawuf Hindu, dan ajaran Rahbaniyah Kristen. Pemikiran ini, bagaimanapun keadaannya adalah pemikiran asing yang menyusup ke dalam Islam." (lihatFiqih az-Zakat, II/874).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar