Rabu, 26 Agustus 2009

Untaian Nasehat Syaikh Ibrahim, Bagi Salafiyun

UNTAIAN NASEHAT
SYAIKH IBRAHIM AR-RUHAILI
BAGI SALAFIYUN


بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam. Sholawat dan salam, semoga senantiasa dilimpahkan kepada nabi kita Nabi Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya.
Amma ba’du:
Berikut ini adalah untaian nasehat yang ditujukan kepada generasi muda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, yang dituliskan dalam rangka andil dalam menunaikan kewajiban menasehati kaum muslimin, dan mendamaikan antara Ahlis Sunnah, sebagaimana yang dianjurkan dalam banyak dalil.
Yang mendorong saya merangkaikan nasehat ini, adalah fenomena yang dialami oleh banyak pemuda salafiyyin, di berbagai negri islam, dan bahkan di negri-negri non islam, yang dihuni oleh minoritas islam, yaitu berupa perpecahan yang besar. Perpecahan yang disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat dalam beberapa masalah ilmiyyah, dan sikap-sikap kongkrit dalam menghadapi sebagian orang yang berseberangan (pendapat). Fenomena ini telah menghambat laju perjuangan dakwah menuju As Sunnah, dan bahkan menghalangi sebagian orang untuk mengikutinya. Padahal sebelumnya masyarakat umum diberbagai daerah dan negri , berbondong-bondong untuk mendalaminya.
Saya akan ringkaskan nasehat ini dalam beberapa poin berikut, dengan disertai harapan kepada Allah, agar melimpahkan kepadaku keikhlasan niat, dan kebenaran dalam ucapan, serta memberikan manfaat kepada setiap orang muslim yang membacanya.
Pertama : Adalah termasuk salah satu prinsip yang ditetapkan dalam agama Islam, bahwa setiap orang muslim sebelum ia menyibukkan dirinya dengan (kekurangan) orang lain, hendaknya berusaha dengan sungguh-sungguh, membenahi diri, berupaya merealisasikan keselamatan, dan menjauhkan segala hal yang akan menyebabkan kebinasaan terhadap dirinya. Sebagaimana firman Allah :
] والعصر إن الإنسان لفي خسر إلا الذين آمنوا وعملوا الصالحات وتواصوا بالحق وتواصوا بالصبر[
Artinya : Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amal saleh, dan nasehat- menasehati supaya menetapi kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al Asher 1-3).
Allah memberitakan tentang orang-orang yang akan selamat dari kerugian, yaitu orang-orang yang terwujud pada dirinya perangai-perangai tersebut. Allah menyebutkan, bahwa mereka merealisasikan pada diri mereka keimanan, dan amal sholeh terlebih dahulu, sebelum mereka mendakwahi orang lain. Dakwah dengan nasehat-menasehati supaya menetapi kebenaran, dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran. Sehingga ayat-ayat ini benar-benar telah menetapkan permasalahan ini.
Dan Allah sungguh telah mencela Bani Isra’il, dikarenakan mereka menyelisihi prinsip ini, yaitu dengan berfirman :
] أتأمرون الناس بالبر وتنسون أنفسكم وأنتم تتلون الكتاب أفلا تعقلون [ البقرة 44
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Alkitab (Taurat) Maka tidakkah kamu berpikir? (QS. Al Baqarah :44)
Oleh karena itu, hendaklah setiap pemuda senantiasa membenahi dirinya sendiri, sebelum berusaha membenahi orang lain, dan tatkala dirinya telah mencapai istiqomah (dalam kebaikan), kemudian ia menyatukan antara penerapan ajaran agama pada dirinya dengan perjuangan mendakwahi orang lain, maka ia benar-benar telah meniti metode dan petunjuk ulama’ salaf, dan Allah akan melimpahkan kemanfaatan dari (dakwah) nya. Dengan demikian mereka adalah para da’i menuju kepada As Sunnah, melalui ucapan dan perilakunya. Dan sungguh demi Allah, metode ini merupakan kedudukan paling agung, yang bila seseorang telah berhasil mencapainya, maka ia termasuk hamba Allah yang paling baik kedudukannya pada hari kiyamat.
Allah Ta’ala berfirman :
] ومن أحسن قولا ممن دعا إلى الله وعمل صالحا وقال إنني من المسلمين[ فصلت 33
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata:"Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri" (QS. Fusshilat:33)

Kedua : Hendaknya diketahui, bahwa yang benar-benar dikatakan sebagai Ahlis Sunnah adalah mereka yang menjalankan dengan sempurna (ajaran) agama islam, baik secara idiologi, ataupun perilaku.
Dan merupakan kekurang pahaman, bila yang dianggap sebagai Ahlis Sunnah atau seorang Salafy, adalah orang yang merealisasikan Aqidah Ahlis Sunnah semata, tanpa memperdulikan segi perilaku, adab-adab yang sesuai dengan ajaran islam, dan menunaikan hak-hak sesama muslim.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah pada akhir kitab “Al Aqidah Al Wasithiyyah” berkata: “Kemudian mereka (Ahlis Sunnah wal Jama’ah), selain merealisasikan prinsip-prinsip ini: Saling memerintahkan dengan yang baik, dan melarang dari yang mungkar, sesuai yang diajarkan dalam syari’at. Mereka menganjurkan untuk menunaikan ibadah haji, berjihad, mendirikan sholat jum’at, sholat ‘id, bersama para pemimpin, baik mereka adalah pemimpin yang baik (adil) ataupun pemimpin yang jahat. Mereka senantiasa menegakkan sholat berjama’ah, menjalankan tanggung jawab memberikan nasehat kepada ummat.
Mereka juga senantiasa meyakini makna sabda Nabi e :
المؤمن للمؤمن كالبنيان المرصوص يشد بعضه بعضا
Artinya: “(permisalan peran) Seorang mukmin terhadap seorang mukmin lain, bagaikan sebuah bangunan yang kokoh, yang sebagiannya menopang (menguatkan) sebagian lainnya”.
Tatkala ditimpa cobaan (kesusahan), mereka saling memerintahkan supaya menetapi kesabaran, dan tatkala mendapatkan kelapangan, saling memerintahkan untuk bersyukur, dan tatkala ditimpa takdir yang pahit, mereka saling memerintahkan untuk berlapang dada. Mereka senantiasa menyeru kepada akhlaq-akhlaq mulia, dan amal-amal terpuji. Mereka juga meyakini makna sabda Nabi e :
أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا
Artinya: “Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang paling baik akhlaqnya”.
Mereka senantiasa menganjurkan, agar engkau menyambung (hubungan dengan) orang yang memutuskan hubungan denganmu, dan memberi orang yang enggan memberimu, memaafkan orang yang menzalimimu. Mereka juga saling memerintahkan untuk senantiasa berbakti kepada kedua orang tua, juga untuk bersilaturahmi, berbuat baik kepada tetangga.
Mereka juga senantiasa melarang dari perangai berbangga diri, sombong, melampaui batas, melanggar hak orang lain, baik dengan alasan yang dibenarkan atau tidak.
Mereka senantiasa memerintahkan agar komitmen dan menjaga akhlaq terpuji dan mencegah dari akhlaq tercela.
Dan setiap hal yang mereka ucapkan dan lakukan, baik dari hal-hal tersebut diatas, atau lainnya, mereka senantiasa mengikuti Al Kitab (Al Qur’an) dan As Sunnah, dan jalan hidup mereka adalah agama islam yang dengannya Allah mengutus Nabi Muhammad e”.

Ketiga : Diantara tujuan agung yang dianjurkan agama islam (untuk dicapai), ialah: menunjuki manusia untuk menganut agama ini, sebagaimana disabdakan Nabi e, tatkala beliau mengutus sahabat Ali ke Khaibar (yaitu pada saat perang Khaibar):
(لأن يهدي الله بك رجلا واحدا خير لك من حمر النعم) أخرجه الشيخان، البخاري، برقم: (4210)، ومسلم برقم: (2406).
Artinya : “Seandainya Allah memberi petunjuk denganmu seseorang saja, itu lebih baik bagimu dibanding (memiliki) unta merah”.(HR Bukhory no:4210, dan Muslim 2406).
Oleh sebab itu, orang-orang yang telah mendapat karunia dari Allah, berupa hidayah (petunjuk) kepada (mengamalkan) As Sunnah, hendaknya bersungguh-sungguh dalam mendakwahi orang yang masih tersesat dari As Sunnah, atau kurang perhatian dengannya. Mendakwahi mereka agar benar-benar merealisasikan As Sunnah. Hendaknya mereka menempuh segala daya dan upaya yang dapat ia lakukan, dalam menuntun manusia dan mendekatkan pintu hati mereka agar menerima kebenaran.
Hal itu dengan cara mendakwahi mereka dengan lemah lembut, sebagaimana firman Allah tatkala berbincang-bincang kepada Nabi Musa dan Harun :
] اذهبا إلى فرعون إنه طغا فقولا له قولا لينا [ طه : 44.
Artinya: “Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah malampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut". (QS. Thaha: 43-44)
Hendaknya mereka memanggilnya dengan julukan-julukan yang sesuai dengan kedudukannya. Sebagaimana dahulu Nabi e ketika menulis surat kepada Hiraql, dengan bersabda:
إلى هرقل عظيم الروم
Artinya: “kepada Hiraql, Pemimpin Romawi”.
Beliau juga memberikan kuniyyah kepada Abdillah bin Saba dengan “Abil Habbab”.
Dan hendaknya mereka juga senantiasa bersabar dalam menghadapi kekerasan sikap orang yang didakwahi, dan membalasnya dengan perilaku baik, dan janganlah menuntut mereka untuk segera menerima kebenaran? Allah berfirman :
]فاصبر كما صبر أولوا العزم من الرسل ولا تستعجل لهم[ الأحقاف 35.
Artinya: “Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul (ulul ‘Azmi) telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka”.

Keempat : Hendaknya para pelajar (Tholabatul Ilmi), terutama para da’i, dapat membedakan antara Al Mudarah dan Al Mudahanah. Karena AL Mudarah adalah suatu hal yang dianjurkan, yaitu: sikap lemah lembut dalam pergaulan, sebagaimana disebutkan dalam kitab “Lisanul ‘Arab”: “Bersikap Mudarah terhadap orang lain adalah dengan beramah-tamah kepada mereka, berhubungan dengan cara yang baik, dan bersabar menghadapi gangguan mereka, agar mereka tidak menjauh darimu”.([1]) Sedangkan Al Mudahanah (menjilat) adalah sikap tercela, yaitu sikap (mengorbankan) agama, Allah berfirman :
] ودوا لو تدهن فيدهنون [ القلم 9
Artinya : Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu). (QS. Al Qolam :9).
Al Hasan Al Bashry menafsirkan makna ayat ini dengan berkata: “ Mereka menginginkan agar engkau berpura-pura dihadapan mereka, sehingga mereka juga akan berpura-pura pula dihadapanmu”. (Tafsir AL baghowy 4/377).
Dengan demikian, orang yang bersikap mudarah akan berlemah lembut dalam pergaulan, tanpa meninggalkan sedikitpun dari prinsip agamanya, sedangkan orang yang bersikap mudahin, ia akan berusaha menarik simpati orang lain dengan cara meninggalkan sebagian prinsip agamanya.
Sungguh dahulu Nabi e, merupakan figur paling baik akhlaqnya, dan paling lemah lembut terhadap umatnya, dan ini sebagai perwujudan sisi lemah lembut, dan ramah tamah dari perangai beliau. Di sisi lain, beliau adalah orang paling kuat dalam (mengemban) agama Allah, sehingga beliau tidak akan meninggalkan prinsip agama, barang satupun, walau dihadapan siapapun, dan ini adalah perwujudan sisi keteguhan hati beliau dalam mengemban (prinsip-prinsip) agama. Dan sisi perangai beliau ini sangat bertentangan dengan sikap mudahanah (menjilat).
Hendaknya para pelajar, memperhatikan perbedaan antara kedua perangai ini, karena sebagian orang beranggapan, bahwa bersikap ramah-tamah kepada orang lain, dan berlemah lembut, sebagai tanda lemah dan luluh dalam (mengemban perintah) agama. Disaat yang lain, ada yang beranggapan bahwa: sikap membiarkan orang lain dalam kebatilan, dan berdiam diri tatkala melihat kesalahan, adalah bagian dari sikap ramah-tamah (Ar rifqu). Sudah barang tentu kedua kelompok (anggapan) ini adalah, salah, dan tersesat dari kebenaran. Hendaknya hal ini benar-benar diperhatikan dengan baik, karena kesalah pahaman pada permasalahan ini, sangat berbahaya, dan tiada yang dapat terlindung darinya, kecuali orang-orang yang mendapatkan taufiq (bimbingan) dan petunjuk dari Allah.

Kelima : Seorang juru dakwah, dalam berdakwah kepada manusia, memiliki dua metode yang diajarkan dalam syari’at, sebagaimana yang disebutkan dalam banyak dalil, yaitu: metode menarik simpati dan targhib (menganjurkan), dan metode hajer (memboikot/menjauhi) dan mengancam. Sehingga salah bila seseorang bersikap monoton (hanya menerapkan satu metode) kepada setiap orang.
Akan tetapi hendaknya ditempuh metode yang paling berguna dan sesuai dengan masing-masing pelanggar (orang yang menyeleweng), sehingga lebih besar harapan untuk ia dapat menerima kebenaran, dan kembali kepada jalan yang lurus. Apabila dengan metode menarik simpati-lah yang lebih bermanfaat, dan lebih besar harapannya bila diterapkan kepada seorang pelanggar, agar ia menjadi baik, maka metode inilah yang disyari’atkan (dibenarkan) dalam menghadapi orang tersebut. Begitu juga sebaliknya, bila metode hajer (memboikot) lebih berguna bila diterapkan kepadanya, maka metode inilah yang disyari’atkan.
Kesimpulannya: barang siapa yang menerapkan metode menarik simpati, terhadap orang yang selayaknya dihajer (diboikot), maka ia telah bertindak gegabah dan lalai. Dan barang siapa yang menerapkan metode hajer (boikot) terhadap orang yang selayaknya ditarik simpatinya, maka ia telah berlaku munaffir (menjadikan orang lain lari) dan ekstrim.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “(Syari’at) menghajer, berbeda-beda sejalan dengan perbedaan orang yang menerapkannya, dipandang dari kuat, tidaknya, dan sedikit, banyaknya jumlah mereka; karena tujuan dari (penerapan) hajer (boikot) adalah menghardik orang yang dihajer (diboikot), memberi pelajaran kepadanya, dan agar masyarakat umum meninggalkan kesalahan tersebut.
Sehingga apabila manfaat dan kemaslahatan yang dipetik dari sikap hajer (boikot) lebih besar (dibanding dengan kerugiannya), sehingga dengan ia diboikot, kejelekan menjadi melemah, dan sirna, maka pada saat itulah hajer (boikot) disyariatkan.
Akan tetapi bila orang yang diboikot, dan orang lainnya tidak menjadi jera, bahkan kejelekannya semakin bertambah, sedangkan pelaku hajer (boikot) kedudukannya lemah, sehingga kerugian yang ditimbulkan lebih besar dibanding maslahatnya, maka pada keadaan yang demikian ini, tidak disyariatkan hajer (boikot).
Bahkan menarik simpati sebagian orang itu lebih berguna dibanding memboikotnya, dan memboikot sebagian lainnya, lebih berguna dibanding menarik simpatinya. Oleh karena itu, dahulu Nabi e menarik simpati sebagian orang, dan memboikot sebagian lainnya…
Yang demikian ini, sebagaimana halnya menghadapi musuh, kadang kala disyariatkan peperangan, dan kadang kala perdamaian, dan kadang kala dengan cara mengambil jizyah (upeti), semua itu disesuaikan dengan situasi dan kemaslahatan.
Jawaban para imam, seperti imam Ahmad dan lainnya, tentang permasalahan ini, didasari oleh prinsip tersebut”. (Majmu’ Fatawa 28/206).

Beliau menjelaskan kesalahan orang yang menyama ratakan dalam menerapkan hajer (boikot) atau menarik simpati, tanpa memperhatikan prinsip tersebut diatas, dengan berkata: “Sesungguhnya sebagian orang menjadikan hal tersebut (hajer atau menarik simpati) sebagai suatu keumuman, sehingga mereka menghajer atau mengingkari orang yang tidak disyariatkan, tidak diwajibkan dan juga tidak disunnahkan. Dan mungkin saja dikarenakan kesalahan ini, menyebabkannya meninggalkan hal-hal yang diwajibkan atau disunnahkan, dan akibatnya ia melanggar hal-hal yang diharamkan.
Dan disisi lain ada sebagian orang yang berpaling dari itu semua, sehingga ia enggan untuk membaoikot (menjauhi) sesuatu yang diperintahkan untuk diboikot (dijauhi), yaitu berupa hal-hal buruk lagi bid’ah”. (Majmu’ Fatawa 28/213).

Keenam : Sepantasnya setiap orang yang hendak menerapkan masalah hajer (boikot) untuk memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam syari’at, yang telah digariskan oleh para ulama’ yang berkompeten dalam hal ini. Sehingga melalui ketentuan-ketentuan tersebut benar-benar terbedakan dengan jelas, antara pelaku kesalahan yang disyari’atkan (layak) untuk diboikot dari orang yang tidak layak. Ketentuan-ketentuan tersebut, diantaranya, ialah :

1. Yang berkaitan dengan pemboikot.
Yaitu hendaknya orang yang kuat, memiliki pengaruh, sehingga pemboikotan yang ia lakukan menimbulkan pengaruh, yang berupa teguran terhadap pelaku kesalahan. Adapun bila pemboikot adalah orang yang lemah, maka boikot yang ia lakukan tidak akan membuahkan hasilnya
Ketentuan ini berlaku bila tujuan pemboikotan adalah untuk memberikan pelajaran kepada pelaku kesalahan.
Adapun bila tujuannya ialah demi menjaga kemaslahatan pemboikot, yaitu karena ditakutkan akan timbul kerusakan dalam urusan agamanya, bila ia bergaul dengan pelaku kesalahan, maka ia dibenarkan untuk memboikot setiap orang yang akan mendatangkan kerugian baginya, bila ia bergaul atau duduk-duduk dengannya.
Yang demikian ini, dikarenakan hajer (boikot) disyariatkan demi mencapai kemaslahatan pemboikot, yaitu dengan cara memboikot setiap orang yang bila ia bergaul dengannya akan merusak agamanya, Sebagaimana disyariatkan demi mencapai kemaslahatan orang yang diboikot, yaitu dengan cara memboikot pelaku kesalahan, yang diharapkan akan mendapat pelajaran, bila diboikot.
Dan hajer (boikot) juga disyariatkan, demi mencapai kemaslahatan masyarakat banyak, yaitu dengan cara memboikot sebagian pelaku kesalahan, sehingga masyarakat, menjadi jera dan takut untuk melakukan perbuatan seperti perbuatan mereka. Dan banyak dalil yang menunjukkan setiap macam dari ketiga jenis pemboikotan ini.

2. Yang berkaitan dengan orang yang diboikot.
Yaitu apabila ia akan mendapatkan manfaat dengan terjadinya pemboikotan atas dirinya, sehingga ia terpengaruh dan kembali kepada kebenaran. Adapun bila tidak mendapatkan manfaat dengannya, bahkan kadang kala semakin bertambah jauh dan menentang, maka tidak disyariatkan untuk memboikotnya. Dan hal ini bisa saja kembalinya kepada tabi’at yang dimiliki oleh sebagian orang; kuat, keras, dan enggan untuk tunduk kepada orang lain, walau tabiat ini akan menjadikannya binasa. Nah orang semacam ini tidak akan mendapatkan pelajaran dari hukuman, dan boikot, akan tetapi kadang kala dapat dipengaruhi dengan cara menarik simpati, dan sikap ramah tamah.
Ada kalanya yang menyebabkan ia tidak mendapatkan manfaat dari pemboikotan adalah adanya kendala-kendala lain, misalnya, karena ia adalah seorang pemimpin, atau kaya raya, atau orang yang memiliki kedudukan sosial di masyarakat. Orang-orang semacam mereka, biasanya tidak akan berguna bila diboikot, karena mereka biasanya merasa tidak butuh terhadap orang yang memboikotnya. Oleh karena itu dahulu Nabi e menarik simpati para pemimpin yang ditaati dikaumnya, begitu juga pemuka masyarakat, seperti halnya Abu Sufyan, ‘Uyainah bin Hishn, Al Aqra’ bin Habis, dan yang serupa dengan mereka.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Oleh karena itu, dahulu Nabi e menarik perhatian sebagian orang, dan memboikot sebagaian lainnya, sebagaimana halnya tiga orang sahabat yang tidak ikut (dalam perang Tabuk), ketiga-tiganya lebih baik bila dibanding kebanyakan orang-orang yang ditarik perhatiannya. Hal ini dikarenakan mereka (orang-orang yang ditarik perhatiannya) adalah para pemimpin, lagi ditaati di kabilah masing-masing …”. (Majmu’ Fatawa 28/206).

3. Yang berkaitan dengan jenis pelanggaran.

Tidak ada jenis pelanggaran yang dapat dikatakan: bahwa pelakunya selalu diboikot, dalam situasi apapun, atau selalu tidak diboikot, dalam situasi apapun. Sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa setiap perbuatan bid’ah pasti diboikot, sedangkan perbuatan maksiat, tidak, atau bid’ah mukaffirah (yang menyebabkan pelakunya diklaim kafir) diboikot, sedang selainnya tidak, atau dosa-dosa besar diboikot, sedang dosa-dosa kecil tidak.
Yang benar adalah, disyariatkan memboikot setiap (pelaku) kesalahan, walaupun kecil, apabila ia adalah orang yang layak untuk dihajer (diboikot) dan ia akan mendapatkan manfaat dengannya. Dengan demikian yang menjadi inti permasalahan dalam hal ini ialah; apakah pelaku pelanggaran tersebut mendapatkan manfaat dari pemboikotan atau tidak, tanpa memperhatikan besar kecilnya pelanggaran. Sehingga mungkin saja seorang yang sholeh, pengagung As Sunnah, diboikot, hanya karena kesalahan kecil, sebagaimana halnya Nabi e memboikot sebagian sahabatnya, karena sebagian pelanggaran kecil. Sebagai contoh, beliau memboikot ‘Ammar bin Yasir t tatkala menggunakan minyak za’faran. (HR Abu Dawud dalam kitab As Sunnan 5/8), dan beliau tidak menjawab ucapan salam seorang sahabat yang memiliki kubah, hingga ia menghancurkannya. (HR Abu dawud, 5/402).
Dan kadang kala tidak disyariatkan memboikot sebagian pelaku pelanggaran besar, yang tingkat kesholehan pelakunya jauh dibawah orang-orang yang diboikot. Sebagai contoh Nabi e menarik simpati Al Aqra’ bin Habis, ‘Uyainah bin Hishn, bahkan beliau menarik simpati sebagian orang munafiqin, semacam Abdullah bin Ubai, dan yang serupa dengannya. Semua ini sesuai dengan kemaslahatan dan mempertimbangkan ketentuan-ketentuan lain dalam masalah pemboikotan.


4. Yang berkaitan dengan waktu dan tempat terjadinya pelanggaran

Hendaknya dibedakan antara tempat dan waktu yang banyak terjadi pelanggaran dan kemungkaran, sehingga pelakunya memiliki kekuatan, dengan tempat dan waktu yang jarang terjadi pelanggaran, sehingga kekuatan pelakunya lemah.
Sehingga apabila kekuatan diwaktu dan tempat tersebut berada ditangan Ahli Sunnah, maka disyariatkan untukmenghajer (memboikot), tentunya dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan lainnya, disebabkan pelaku pelanggaran dalam keadaan lemah, sehingga ia akan menjadi jera dengan pemboikotan tersebut. Sebagaimana firmankan tentang kisah sahabat Ka’ab bin Malik dan kedua kawannya:
] حتى إذا ضاقت عليهم الأرض بما رحبت وضاقت عليهم أنفسهم وظنوا أن لا ملجأ من الله إلا إليه … [ سورة التوبة 118.
Artinya: “hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. (QS At Taubah 118).
Sebagaimana teguran dan pendidikan, berhasil dicapai melalui pemboikotan sahabat Umar bin Khotthab beserta seluruh ummat, terhadap Shobigh bin ‘Asal, sebagaimana telah diketahui bersama.
Adapun apabila kekuatan pada suatu waktu dan tempat berada ditangan orang-orang jahat, dan penjaja kebatilan, maka tidak disyari’atkan pemboikotan; -kecuali pada momen-momen tertentu- karena pemboikotan pada saat seperti ini tidak akan dapat merealisasikan tujuannya, berupa pendidikan, dan teguran, bahkan dimungkinkan orang-orang yang berpegang teguh dengan kebenaran akan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Oleh karena itu hendaknya dibedakan antara tempat-tempat yang banyak terjadi praktek-praktek bid’ah, sebagaimana halnya yang terjadi di kota Bashrah banyak orang-orang yang mengingkari taqdir (Qodariyah), di kota Khurasan banyak ahli nujum, dan di kota Kufah banyak orang-orang Syi’ah, dengan tempat-tempat yang tidak demikian halnya. Dan hendaknya dibedakan antara para pemimpin yang memiliki pengikut, dengan lainnya. Dan apabila telah diketahui tujuan syari’at, maka hendaknya ditempuh jalan tercepat untuk mencapai tujuan tersebut”. (Majmu’ Fatawa 28/206-207).

5. Yang berkaitan dengan masa pemboikotan.

Hendaknya masa pemboikotan disesuaikan dengan keadaan pelaku pelanggaran dan jenis pelanggaran, karena ada orang-orang yang sudah jera bila diboikot selama satu hari, dua hari , satu bulan atau dua bulan, dan ada orang-orang yang butuh waktu lebih lama. Dan apabila tujuan pemboikotan telah tercapai, maka harus dihentikan, karena kalu tidak, yang terjadi adalah rasa putus asa dan putus harapan. Sebaliknya, bila masa pemboikotan kurang dari yang selazimnya, maka tidak akan ada gunanya.
Tatkala Ibnu Qayyim menyebutkan faedah-faedah yang dapat disimpulkan dari kisah pemboikotan Nabie terhadap sahabat ka’ab bin Malik dan kedua kawannya, beliau berkata: “ Dalam kisah ini terdapat dalil bahwa pemboikotan seorang pemimpin, atau ulama’ atau pemuka masyarakat, terhadap orang yang melakukan suatu pelanggaran yang mengharuskan untuk dicela (diboikot). Hendaknya pemboikotan tersebut merupakan obat, yaitu dengan cara yang dapat merealisasikan perbaikan (penyembuhan), dan tidak berlebih, baik dalam jumlah atau metode, sehingga dapat membinasakan orang tersebut, karena tujuannya (pemboikotan) adalah untuk memberikan pendidikan, bukan membinasakan”. (Zad Al Ma’ad 3/20).

Ketujuh : Mengingkari pelaku pelanggaran, dan membantahnya, dalam rangka menunaikan kewajiban menasehati orang tersebut, dan menjaga masyarakat dari kesalahannya, adalah salah satu prinsip baku Ahlis Sunnah, bahkan hal ini termasuk macam jihad paling mulia. Akan tetapi, harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam syari’at, dan syarat-syarat yang telah ditetapkan, sehingga dengan cara ini, dapat dicapai tujuan syari’at dari pngingkaran dan bantahan tersebut. Diantara ketentuan dan syarat tersebut, ialah:

1- Hendaknya pengingkaran tersebut dilakukan dengan penuh rasa ikhlas, niat yang jujur lagi murni hanya karena ingin memperjuangkan kebenaran. Diantara konsekwensi keikhlasan dalam hal ini, ialah: Ia senang bila pelaku pelanggaran mendapatkan petunjuk, dan kembali kepada kebenaran, dan ia menempuh segala usaha yang dapat ia lakukan, agar hati pelaku pelanggaran tersebut dapat terbuka, bukan malah menjadikannya semakin jauh. Dan hendaknya ia berdoa secara khusus untuk orang tersebut, agar Allah memberi petunjuk kepadanya, apabila ia dari kalangan Ahli Sunnah, atau selain mereka. Sungguh Nabi e dahulu mendoakan sebagian orang kafir, agar mendapat petunjuk, maka bagaimana halnya bila ia dari kalangan kaum muslimin yang bertauhid (tentu lebih pantas untuk didoakan).
2- Hendaknya bantahan terhadap orang tersebut dilakukan oleh seorang ulama’ yang benar-benar telah mendalam ilmunya, sehingga ia menguasai dengan detail, segala sudut pandang dalam permasalahan tersebut, yaitu, yang berkaitan dengan dalil-dalil syari’at, keterangan para ulama’ dalam masalah tersebut, dan sejauh mana tingkat penyelewengan pelanggar tersebut. Dan juga sumber munculnya syubhat pada orang itu, dan keterangan para ulama’ seputar cara mematahkan syubhat tersebut, serta mengambil pelajaran dari keterangan mereka dalam hal ini.
Hhendaknya orang yang membantah memiliki kriteria: dapat mengemukakan dalil-dalil yang kuat ketika mengemukakan kebenaran, dan mematahkan syubhat, ungkapan-ungkapan yang detail, agar tidak nampak, atau dipahami dari perkataannya suatu kesimpulan yang tidak sesuai dengan yang ia inginkan. Karena bila orang yang membantah tidak memiliki kriteria ini, niscaya yang terjadi adalah kerusakan besar.
3- Hendaknya tatkala membantah, diperhatikan perbedaan tingkat pelanggaran, kedudukan baik dari segi agama ataupun sosial yang ada pada orang-orang tersebut. Begitu juga motivasi pelanggaran, apakah karena kebodohan, atau hawa nafsu dan keinginan untuk berbuat bid’ah, atau ungkapannya yang kurang baik, atau salah mengucap, atau terpengaruh oleh seorang guru atau lingkungan masyarakatnya, atau karena memiliki takwil, atau tujuan-tujuan lain yang ada pada pelanggaran terhadap syari’at.
Barang siapa membantah pelaku pelanggaran, dengan tidak memperdulikan dan tidak memperhatikan terhadap perbedaan-perbedaan ini, niscaya ia akan terjerumus kedalam tindak ekstrim (berlebih-lebihan) atau sebaliknya (kelalaian), yang akan menjadikan perkataannya tidak atau kurang berguna.
4- Hendaknya tatkala membantah, senantiasa berusaha mewujudkan maslahat (tujuan) syari’at dari tindakan tersebut. Sehingga apabila tindakannya tersebut justru mendatangkan kerusakan yang lebih besar dibanding dengan kesalahan yang hendak dibantah, maka tidak disyari’atkan untuk membantah. Karena suatu kerusakan tidak dibenarkan untuk ditolak dengan kerusakan lebih besar.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak dibenarkan menolak kerusakan kecil dengan kerusakan besar, juga tidak dibenarkan mencegah kerugian ringan dengan melakukan kerugian yang lebih besar. Karena syari’at Islam (senantiasa) mengajarkan agar senantiasa merealisasikan kemaslahatan, dan menyempurnakannya, juga melenyapkan kerusakan dan menguranginya, sedapat mungkin. Singkat kata; bila tidak mungkin untuk disatukan antara dua kebaikan, maka syari’at islam (mengajarkan untuk) memilih yang terbaik. Begitu juga halnya dengan dua kejelekan, bila tidak dapat dihindarkan secara bersamaan, maka kejelekan terbesarlah yang dihindarkan”. (Al Masail Al Mardiniyyah 63-64).
5- Hendaknya bantahan, disesuaikan dengan tingkat tersebarnya kesalahan tersebut. Sehingga apabila suatu kesalahan hanya muncul di suatu negri, atau masyarakat, maka tidak layak bantahannya disebar luaskan ke negri atau masyarakat yang belum mendengar kesalahan tersebut, baik melalui penerbitan kitab, atau kaset, atau sarana-sarana lainnya. Karena menyebar luas bantahan, berarti secara tidak langsung menyebar luaskan pula kesalahan tersebut. Sehingga bisa saja ada orang yang membaca atau mendengarkan bantahan, akan tetapi syubhat-syubhat (kesalahan itu) masih membayangi hati dan pikirannya, dan tidak merasa puas dengan bantahan itu.
Sehingga menghindarkan masyarakat dari mendengarkan kebatilan dan kesalahan, lebih baik daripada mereka mendengarkannya, dan membantahnya kemudian. Sungguh ulama’ terdahulu, senantiasa mempertimbangkan hal ini dalam setiap bantahan mereka. Banyak sekali kita dapatkan kitab-kitab mereka yang berisikan bantahan, mereka hanya menyebutkan dalil-dalil yang menjelaskan kebenaran, yang merupakan kebalikan dari kesalahan tersebut, tanpa menyebutkan kesalahan itu. Tentu ini membuktikan akan tingkat pemahaman mereka, yang belum dicapai oleh sebagian orang zaman sekarang.
Pembahasan yang telah diutarakan, berkaitan dengan menebarkan bantahan di negri yang belum dijangkiti kesalahan, sama halnya pembahasan tentang menebarkan bantahan di tengah-tengah sekelompok orang yang tidak mengetahui kesalahan itu, walaupun ia tinggal di negri yang sama. Sehingga tidak seyogyanya menebarkan bantahan, baik melalui buku atau kaset, ditengah-tengah masyarakat yang tidak mengetahui atau mendengar adanya kesalahan itu.
Betapa banyak orang awam yang terfitnah, dan terjatuh ke kubang keraguan tentang dasar-dasar agama, akibat mereka membaca buku-buku bantahan yang tidak dapat dipahami oleh akal pikiran mereka.
Maka hendaknya orang-orang yang menebarkan buku-buku bantahan ini, takut kepada Allah, dan berhati-hati, agar tidak menjadi penyebab terfitnahnya masyarakat, dalam urusan agama mereka.
Dan diantara yang paling mengherankan saya ialah; sebagian pelajar, membagi-bagikan sebagian buku bantahan, kepada sebagian orang yang baru masuk islam, orang-orang yang keislamannya baru berjalan beberapa hari atau bulan, kemudian mereka mengarahkannya agar membaca buku tersebut. Alangkah mengherankan sekali tindakan mereka.

6- Hukum membantah pelaku kesalahan, ialah fardhu kifayah, sehingga bila telah ada seorang ulama’ yang melaksanakannya, dan dengan bantahan dan peringatan yang ia lakukan, telah terealisasi tujuan syari’at, maka tanggung jawab (kewajiban) para ulama’ telah gugur. Hal ini sebagaimana telah ditetapkan oleh para ulama’ dalam permasalahan hukum fardhu kifayah.
Adalah termasuk kesalahan, tatkala ada seorang ulama’ membantah seorang pelaku kesalahan, atau fatwa yang memperingatkan dari kesalahan seseorang, banyak pelajar menuntut ulama’ lainnya, juga para pelajar lainnya agar menyatakan sikap mereka terhadap ulama’ pembantah tersebut dan pelaku kesalahan yang dibantah, atau fatwa itu. Bahkan tidak jarang para pelajar pemula, bahkan juga masyarakat awam, untuk menyatakan sikapnya terhadap ulama’ pembantah dan pelaku kesalahan tersebut.
Terlebih dari itu semua, mereka kemudian menjadikan permasalahan ini sebagai asas wala’ dan bara’ (loyalitas dan permusuhan), dan akhirnya yang terjadi saling menghajer (memboikot) hanya karena perkara ini.
Bahkan kadang kala sebagian pelajar memboikot sebagian gurunya (syeikhnya), yang selama bertahun-tahun ia menimba ilmu darinya, hanya dikarenakan permasalahan ini pula. Dan kadang kala pula, fitnah ini menyusup kedalam keluarga, sehingga engkau dapatkan seseorang memboikot saudaranya, seorang anak bersikap tidak sopan terhadap orang tuanya, bahkan kadang kala, seorang istri diceraikan dan anak-anak menjadi terpisah-pisah, hanya karena permasalahan ini.
Dan bila engkau melihat fenomena yang menimpa masyarakat, niscaya engkau akan mendapatkan mereka terpecah menjadi dua kelompok atau bahkan lebih. Setiap kelompok membidikkan berbagai tuduhan, dan akhirnya saling memboikot. Semua ini terjadi dikalangan orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada As Sunnah (Ahlis Sunnah), yang sebelumnya setiap kelompok tidak dapat mencela akidah dan manhaj kelompok lain, sebelum terjadinya perbedaan ini. Fenomena ini kembalinya kepada kebodohan yang sangat tentang As Sunnah (Manhaj Ahlis Sunnah), kaidah-kaidah mengingkari (kemungkaran) menurut Ahlis Sunnah, atau kepada hawa nafsu (yang diturutkan), kita memohon kepada Allah perlindungan dan keselamatan.

Kedelapan : Ulama’ Ahlis Sunnah yang telah terkenal akan keselamatan akidah dan jasanya dalam memperhuangkan As Sunnah (Manhaj Ahlis Sunnah), hendaknya senantiasa dijaga kehormatannya, diperhatikan kedudukannya, tidak sepatutnya dicela, atau diklaim sebagai pelaku bid’ah, atau dituduh mengikuti hawa nafsu, atau fanatis, hanya karena memiliki kesalahan dalam berijtihad.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak diragukan lagi, bahwa kesalahan seseorang dalam permasalahan yang detail, akan diampuni, walaupun kesalahan tersebut tergolong dalam permasalahan-permasalahan ilmiyyah (akidah). Kalau kita tidak bersikap demikian, niscaya kebanyakan ulama’ akan binasa (tidak dihargai jasanya). Apabila Allah mengampuni orang yang tidak mengetahui bahwa khomer adalah haram, dikarenakan ia hidup disuatu masyarakat bodoh, padahal ia tidak pernah menuntut ilmu, maka seorang ulama’ yang bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, sesuai dengan yang ia peroleh dimasa dan tempat ia berada, apabila ia benar-benar bertujuan mengikuti (ajaran) Rasulullah sedapat mungkin, tentua ia lebih berhak untuk diterima Allah kebaikannya dan mendapatkan pahala atas usaha dan jasanya, dan diampunkan kesalahannya. hal ini sebagai realisasi dari firman-Nya:
] ربنا لا تؤاخذنا إن نسينا أو أخطأنا[. البقرة الآية 286
“Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau menyiksa kami, jika kami lupa atau bersalah”. (Majmu’ fatawa 20/165).
Pada kesempatan lain beliau juga berkata: “Ini adalah keyakinan ulama’ salaf (terdahulu), dan para imam ahli fatwa, seperti Abu Hanifah, As Syafi’i, Ats Tsaury, Dawud bin Ali, dan lainnya. Mereka tidak menganggap berdosa orang yang salah dalam berijtihad, baik dalam permasalahan-permasalahan prinsip (ushul), atau cabang (furu’). Hal ini sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Hazem dan lainnya, dan mereka berkata: inilah pendapat yang dikenal dari kalangan para sahabat, pengikut mereka dalam kebaikan (tabi’in), dan para imam agama. mereka tidaklah mengkafirkan, juga tidak menfasikkan, juga tidak menganggap berdosa, seorang ahli ijtihad yang salah (dalam berijtihad), tidak dalam permasalahan amaliyah, juga tidak dalam masalah ilmiyah (akidah). Mereka beralasan, bahwa membedakan antara permasalahan-permasalahan furu’ (cabang) dengan permasalahan-permasalahan ushul (prinsip) hanyalah pendapat ahlil bid’ah, dari kalangan orang-orang penganut ilmu kalam (filsafat), mu’tazilah, jahmiyyah, dan pengikut mereka”. (Majmu’ fatawa 19/207).
Kita menegaskan hal ini, bukan berarti kita tinggal diam, tidak menasehati ulama’ tersebut bila ia melakukan kesalahan, bahkan menasehatinya adalah sebuah kewajiban setiap orang yang mengetahui kesalahannya, dan sikap ini termasuk bakti dan perilaku baik kepadanya. Akan tetapi sudah barang tentu nasehat harus dilakukan dengan cara ramah, lembut, metode yang sesuai dengan kedudukannya dalam keilmuan dan perjuangannya.
Kemudian bila ia bertaubat, meninggalkan kesalahannya, dan meralat kesalahannya, maka ia diterima, dan tidak dibenarkan lagi untuk membicarakannya, tidak juga mencelanya karena kesalahan tersebut, juga tidak dibenarkan kita meragukan kesungguhannya dalam bertaubat.
Namun bila ia tidak bertaubat, dikarenakan masih memiliki alasan tertentu, atau syubhat yang menghalanginya untuk mengetahui kebenaran, maka hendaknya dilihat; apabila kesalahan tersebut hanya terbatas pada dirinya sendiri, maka tanggung jawab kita telah selesai dengan menasehatinya, akan tetapi jika kesalahan tersebut telah menyebar, maka hendaknya masyarakat diperingatkan dari kesalahan itu, dengan tetap menjaga kehormatan ulama’ tersebut.
Sepantasnya pada kesempatan ini, kita senantiasa mengingat kewajiban menjaga dua prinsip besar: Pertama: Kewajiban bersikap tulus demi kebenaran, Kedua: Kewajiban menjaga kehormatan ulama’. kedua prinsip ini menurut Ahlis Sunnah tidaklah saling bertentangan, dan tidak dibenarkan untuk membesar-besarkan salah satunya, walau harus dengan mengabaikan yang lainnya.
Cinta kepada ulama’, menjaga kedudukan mereka, tidak berarti tinggal diam melihat kesalahan mereka, dan tidak memperingatkannya. Bersikap tulus demi kebenaran, dan mengingatkan kesalahan seorang ulama’, tidak berarti mencela dan memakinya, akan tetapi kedua prinsip ini dapat digabungkan oleh setiap orang yang mendapatkan bimbingan dari Allah.
Barang siapa yang mengetahui metode ulama’ dalam mengingatkan kesalahan sebagian mereka, tanpa diserta celaan, niscaya ia akan mengetahui hakikat permasalahan ini, dan bukti-bukti nyata perkataan ini banyak sekali didapatkan dalam perkataan ulama’.

Kesembilan: Ahlul Bid’ah yang menyelisihi Akidah Ahlis Sunnah, dan manhaj (metode) mereka dalam berdalil, mengajar, mendidik, dan berdakwah ke jalan Allah, serta mengikuti hawa nafsu. Mereka juga tidak menjadikan ulama’ Ahlis Sunnah sebagai suri tauladan, bahkan sebaliknya, malah mencela, dan mencemooh mereka, bahkan menganggap diri mereka lebih utama dibanding para ulama’ Ahlis Sunnah. Mereka ialah mubtadi’ah (ahli bid’ah) lagi sesat, sepantasnya untuk diperangi dengan cara menjelaskan kepada seluruh masyarakat, keburukan jalan mereka, penyelewengan mereka dari As Sunnah. Juga dengan membantah mereka, dan memperlakukan mereka dalam segala kondisi dengan perlakuan terhadap Ahlul Bid’ah.
Akan tetapi, hal ini tidak menghalangi kita untuk mendakwahi mereka kepada kebenaran, dan bila dianggap akan menyebabkan mereka kembali kepada As Sunnah, maka diadakan diskusi antara ulama’ dengan mereka, yaitu diskusi dengan cara-cara yang baik.
Hendaknya kita selalu waspada, agar tidak mencampur-adukkan antara sikap yang seharusnya diambil dalam menghadapi Ulama’ Ahlis Sunnah, -walau mereka memiliki kesalahan- yaitu kewajiban menjaga kedudukan dan kehormatan mereka, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, dengan sikap yang seharusnya diambil dalam menghadapi ulama’ Ahlil Bid’ah, yang seyigyanya diboikot, dan diperingatkan dari mereka agar dijauhi. Yang demikian ini, dikarenakan kesalahan ulama’ Ahlis Sunnah, merupakan hasil dari usaha mereka dalam mencapai kebenaran, dengan menempuh metode-metode yang dibenarkan dalam berdalil. Sedangkan kesalahan ulama’ Ahlil Bid’ah, ialah hasil dari hawa nafsu, penyelewengan, dan tidak menempuh metode-metode yang dibenarkan dalam berdalil, sehingga sangat jauhlah perbedaan antara keduanya.
Permasalahan ini, merupakan titik perbedaan antara Ahlis Sunnah dan Ahlil Bid’ah. Dan dengan ini pula seorang yag cerdas dan jeli dapat memahami, sebab kenapa para ulama’ Ahlis Sunnah yang memiliki kesamaan pendapat dengan sebagian Ahlil bid’ah dalam beberapa keyakinan mereka, tidak diklaim sebagai ahlil bid’ah.

Kesepuluh : Saya menutup nasehat ini dengan menyebutkan beberapa anjuran ringan dan faedah-faedah berharga, yang saya rasa bila diamalkan, akan mendatangkan pahala besar dan kedudukan tinggi disisi Allah. Saya menyeru saudara-saudaraku untuk mengamalkannya, dan senantiasa memperhatikannya, terlebih-lebih pada masa ini, masa yang banyak tersebar fitnah, hawa nafsu diumbar, kebodohan merajalela, kecuali orang-orang yang mendapatkan rahmat dan petunjuk Allah.
1. Wahai penganut As Sunnah, ketahuilah: jika anda benar-benar penganut As Sunnah, sekali-kalii tidak akan merugikanmu, tipu daya yang ditujukan kepadamu oleh seluruh penghuni langit dan bumi, dan anda tidak akan dapat terusir dari (jalan) As Sunnah, hanya karena tuduhan mereka kepada anda, sebagai pelaku bid’ah. Sebaliknya, jika anda adalah pelaku kesesatan dan peyelewengan –dan saya memohonkan perlindungan kepada Allah untuk anda, agar anda tidak menjadi demikian- niscaya tidak berguna bagimu disisi Allah, pujian seluruh manusia, dan penisbatan mereka bahwa anda adalah penganut As Sunnah, serta sanjungan mereka kepada anda dengan berbagai julukan palsu, -bila realitanya Allah telah mengetahui tentang hakikat diri anda sebagaimana yang anda ketahui sendiri- oleh karena itu hendaknya anda tidak berdusta pada diri sendiri. Hendaknya cukup sebagai peringatan bagimu pada situasi seperti ini, wasiat Nabi e kepada Ibnu Abbas,([2]) dan hadits tiga orang yang akan pertama kali dimasukkan kedalam api neraka,([3]) semoga Allah melindungi saya dan anda darinya.
2. Ketahuilah bahwasannya ulama’ Ahlis Sunnah yang mendalam (kokoh) ilmunya, dapat mencapai kedudukan tinggi dan menjadi pemimpin (imam) dalam keagamaan –selain karena taufiq (bimbingan) Allah kepada mereka- dikarenakan kesabaran dan keyakinan mereka. Allah Ta’ala berfirman:
] وجعلنا منهم أئمة يهدون بأمرنا لما صبروا وكانوا بآياتنا يوقنون[
“Dan Kami jadikan dari mereka imam-imam (para pemimpin), yang memberi petunjuk dengan urusan Kami, tatkala mereka bersabar, dan mereka yakin dengan ayat-ayat Kami “.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dengan kesabaran dan keyakinan, kepemimpinan dalam urusan agama akan dicapai”.
Dan yang dimaksud dari keyakinan ialah; kekuatan dalam ilmu, yang dilandasi oleh dalil yang benar, pemahaman lurus. Bukan (sebagai keyakinan) apa yang dianut oleh sebagian pelajar, berupa sikap pasrah dalam berilmu dengan taklid kepada seorang ulama’, atau pelajar lain, atau dakwaan bahwa kebenaran akan selalu bersama ulama’ tersebut, dan tidak ada yang memahami As Sunnah dengan baik, kecuali dia.
Dan yang dimaksud dari kesabaran ialah; kegigihan dan keuletan dalam menuntut ilmu, dengan disertai pengamalan, dan mengisi seluruh waktunya, siang dan malam dengan hal tersebut. Berbeda halnya dengan orang-orang yang lemah semangat, dan lebih senang dengan santai, pasrah kepada gejolak hawa nafsu, sehingga ia tidak memiliki semangat untuk belajar, juga tidak untuk beramal.
3. Ketahuilah bahwasannya mengklaim orang lain dengan kafir, mubtadi’, dan fasik, merupakan hak Allah, oleh karenanya jangan sekali-kali anda mengkalaim dengan kafir, atau mubtadi’ atau fasik orang yang tidak layak diklaim demikian, walaupun ia telah mengklaim anda dengan kafir, atau mubtadi’ atau fasik. Karena sesungguhnya Ahlis Sunnah tidak membenarkan untuk membalas kezaliman pelaku kesalahan dengan kezaliman. Akan tetapi metode membalas kezaliman dengan kezaliman, merupakan perangai Ahlil Bid’ah.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Orang-orang Khowarij selalu mengkafirkan Ahlis Sunnah wal Jama’ah, demikian juga Mu’tazilah, mereka mengkafirkan setiap orang yang bertentangan dengannya, demikian pula halnya Rafidhoh (Syi’ah). Kalaupun mereka tidak mengkafirkan, tapi mereka mengklaim dengan fasik …..Sedangkan Ahlis Sunnah, senantiasa mengikuti kebenaran yang datang dari Tuhan mereka, kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah e. Dan mereka tidaklah mengkafirkan orang yang menyelisihi mereka dalam kebenaran itu. Akan tetapi mereka adalah orang yang paling tahu tentang kebenaran, dan paling sayang terhadap manusia”. (Minhajus Sunnah 5/158).
4. Janganlah sekali-kali anda memboikot saudaramu yang telah memboikotmu, bila pemboikotan terhadapnya tidak dibenarkan secara syari’at. Akan tetapi hendaknya anda selalu memulai mengucapkan salam kepadanya, berusaha menarik simpatinya. Berusahalah untuk menghapuskan syubhat yang menyebabkannya memboikot anda. Bila ia tetap berpaling darimu, maka janganlah anda berkeyakinan dalam hati anda bahwa anda dibenarkan untuk memboikotnya. Dan janganlah anda menyibukkan diri anda dengan terus berusaha mendekatinya, karena anda telah terbebas dari dosa memutus hubungan, sedangkan dia akan bertanggung jawab atas tindakannya itu.
5. Celaan orang lain terhadap anda, bisa saja dengan cara menjelek-jelekkan pribadi anda, dan bisa dengan cara menisbatkan -dengan dusta- kepada anda suatu perkataan yang bertentangan dengan keyakinan Ahlis Sunnah. Maka apabila yang mereka lakukan adalah menjelek-jelekkan pribadi anda, misalnya dengan mengatakan: Ia orang sesat, bodoh, tidak paham, maka janganlah sekali-kali anda membela diri. Karena bila anda membela diri, niscaya anda akan terjerumus kedalam tazkiatun nafsi (memuji diri sendiri), dan sikap seperti ini merupakan kebinasaan yang nyata.
Ada seseorang yang menjelek-jelekkan seorang Imam dengan suatu ucapan, maka Imam itu hanya menjawab: “(Tuduhan) Anda tidak terlalu jauh”. Dahulu Ahlil Bid’ah senantiasa mensifati pribadi ulama’ Ahlis Sunnah dengan berbagai kedustaan, akan tetapi mereka tidak pernah memperdulikannya, Yang mereka lakukan hanyalah membantah kesalahan mereka dalam urusan agama, dan menasehati masyarakat umum. Oleh karena itu hendaknya kita menjadikan mereka suri tauladan dalam hal ini.
Adapun bila ia menisbatkan suatu perkataan sesat, misalnya dengan mengatakan: Si fulan berkata demikian, demikian, dan menisbatkan kepadamu suatu perkataan yang tidak pernah anda ucapkan, maka anda cukup membantah penisbatan tersebut, agar pada kemudian hari tidak ada yang menisbatkan perkataan tersebut kepada anda. Dan para ulama’ senantiasa menjelaskan kepada masyarakat tentang perkataan-perkataan yang tidak pernah mereka ucapkan, yang dinisbatkan kepada mereka. Dan sikap ini sama sekali bukan termasuk kedalam sikap memuji diri sendiri, bahkan merupakan nasehat kepada masyarakat.
Sehingga sangat jelas perbedaan antara contoh ini dengan contoh sebelumnya. Oleh karena itu hendaknya anda berpegang teguh dengan ajaran ulama’ salaf dalam hal semacam ini. Dan janganlah anda menyerupai sebagian orang bodoh, yang bila dituduh dengan suatu tuduhan, ia langsung menebarkan keseluruh penjuru dunia, berbagai pujian, dan sanjungan terhadap dirinya, Kita berlindung kepada Allah dari kehinaan. dan yang terakhir:
6. Ketahuilah bahwa setiap manusia akan menjadi semakin besar (kedudukannya) dalam bidang amalannya masing-masing, sehingga jika anda berpegang teguh dengan As Sunnah, niscaya kedudukan anda semakin hari, akan semakin besar, dan tidak akan lama lagi, anda akan menjadi pemimpin dalam (pengamalan) As Sunnah, Allah Ta’ala berfirman:
] وجعلنا منهم أئمة يهدون بأمرنا لما صبروا وكانوا بآياتنا يوقنون[ السجدة 24
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar.Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (Qs As Sajdah 24).
Dan sebaliknya, jika anda mengamalkan bid’ah, niscaya kedudukan anda semakin hari akan semakin besar, dan tidak akan lama lagi, anda akan menjadi pemimpin dalam (pengamalan) bid’ah. Allah Ta’ala berfirman :
] قل من كان في الضلالة فليمدد له الرحمن مدا[ مريم 75
“Katakanlah:"Barangsiapa yang berada di dalam kesesatan, maka biarlah Rabbnya yang Maha Pemurah memperpanjang tempo baginya”. (QS maryam 75).
Dan setelah Allah mensifati Fir’aun beserta kaumnya dengan kesombongan, Dia berfirman:
] وجعلناهم أئمة يدعون إلى النار[ القصص 42
“Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka”. (QS Al Qhashash 41).
Maka silahkan anda memilih untuk diri anda, suatu amalan yang esok anda senang bila menjadi pemimpin dalamnya.
Inilah dan hanya Allah Ta’ala-lah yang lebih tahu, dan semoga Allah senantiasa melimpahkan sholawat, salam dan keberkahan atas hamba dan rasul-Nya Muhammad …


Ditulis oleh:
Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaily
Selesai ditulis di kota Madinah
pada tanggal 8/10/1424 H.

([1]) Lisanul ‘Arab 14/255.
([2]) Maksud beliau: Wasiat Nabi e yang bermaknakan: “Dan ketahuilah seandainya seluruh umat bersatu, guna mencelakakanmu, niscaya mereka tidak akan dapat mencelakakanmu, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tuliskan akan menimpamu, dan (sebaliknya) seandainya mereka bersatu untuk memberimu manfaat, niscaya mereka tidak akan dapat melakukannya, kecuali sesuatu yang telah Allah tuliskan untukmu”. (HR Ahmad, At Tirmizy, Al Hakim). (pent)
([3]) Ketiga orang tersebut ialah: Orang yang memiliki ilmu tentang Al Qur’an (hafal Al Qur’an), tetapi menginginkan dari ilmunya agar dikatakan sebagai ahli bacaan (seorang ulama’), Orang yang memiliki harta kekayaan dan bersedekah agar dikatakan dermawan, dan orang yang berjihad dan mati dalam peperangan agar dikatakan pemberani. Sebagaimana disebutkan dalam HR At Tirmizy, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban. (pent)

Wasiat Emas Bagi Pengikut Manhaj Salaf

WASIAT EMAS BAGI PENGIKUT MANHAJ SALAF

Oleh :
Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad asy-Syihhi
-Hafidhahullahu-

Alih Bahasa :
Abu Abdirrahman as-Salafy, Lc.


بسم الله الرحمن الرحيم

Ucapan terima kasih & penghormatan

Saya ucapkan rasa terima kasih kepada Fadhilatusy Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali atas kesediaan beliau untuk aku membacakan buku ini padanya, serta atas nasehat beliau yang berharga dalam hal ini. Sebagaimana juga aku berterima kasih kepada Syaikh Abdul Malik Ramadhani atas kesediaan beliau dalam meneliti buku ini dan mengoreksinya.

Dan aku juga berterima kasih kepada Saudara Nawwaf bin Kholifah atas jerih payahnya dalam pengetikan buku ini. Semoga Allah yang Maha perkasa dan Maha kuat memberkahi Ahlus Sunnah dan ulama’nya, serta menguatkan tekad dan memuliakan perkara mereka, sesungguhnya Dia Maha kuasa atas yang demikian itu.


Muqaddimah

Segala puji bagi Allah kami menyanjung, meminta pertolongan dan memohon ampunan-Nya, dan kami berlindung kepada-Nya dari kejelekan diri serta perbuatan kami, barangsiapa yang Allah beri petunjuk maka tidak ada seorangpun yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan-Nya maka tidak ada seorangpun yang dapat memberinya petunjuk, aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Wahai orang-orang beriman bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa dan janganlah kamu mati melainkan dalam keadaan berserah diri (Surat Ali ‘Imron : 102)
Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu dan dari padanya Allah menciptakan istrinya dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (Surat An-nisa’ : 1)
Wahai orang-orang beriman bertakwalah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menta’ati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar (Surat Al-Ahzab : 70-71)
Kemudian setelah itu :
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad –shallallahu alaihi wa sallam-, dan sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama), dan setiap perkara yang baru itu adalah bid’ah, setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka.
Dan setelah itu : Aku memuji Allah yang maha mulia atas nikmat-Nya yang begitu banyak yang diberikan kepada umat ini secara umum, dan kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah secara khusus yang telah menerangi jalan mereka, sehingga mereka bisa melihat dan merasa tenang.
Bagaimana mereka tidak dapat melihat dan tidak bisa merasa tenang ?
Sedang mereka mencari penerang/petunjuk dari Al-qur’an dan sunnah sesuai dengan pemahaman salafush sholeh (para pendahulu) mereka dari kalangan shahabat, tabi’in yang hidup pada zaman kemuliaan, yang sebagian manusia menyimpang dari jalan mereka dan tidak menentu arahnya, sehingga mereka –na’udzu billah- terfitnah dengan syubhat yang menyesatkan dan tenggelam dalam syahwat.
Bersamaan dengan ini –alhamdulillah- masih banyak dari manusia yang ingin bertaubat kepada Allah dengan menelusuri jejak/metode salafush sholeh serta lari dari kelompok-kelompok sesat dan dari syubhat-syubhat yang membuat akal dan hati mereka merasa sakit selama bertahun-tahun lamanya serta menyia-nyiakan jerih payah selama selang waktu yang lama, maka keadaan merekapun mengatakan : aku tidak ingin hizbiyah (fanatik golongan), tidak jama’ah tabligh, tidak sufiyah, tidak ikhwanul muslimin, tidak quthbiyah (pengagung sayyid Qutub) dan tidak juga partai politik (yang tamak terhadap kursi keparlemenan), akan tetapi aku menginginkan salafiyah an-nabawiyah (sebagai pengikut Nabi –shallallahu alaihi wa sallam -dan para sahabatnya-rodhiyallahu ‘anhum).
Tidak diragukan lagi bahwa taubat/kembalinya mereka kepada manhaj salafi sangat menggembirakan kita semua –para Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang mana Ahlus Sunnah adalah orang yang paling kasih sayang kepada manusia sebagaimana mereka adalah orang yang paling mengetahui kebenaran.
Bagaimana mereka tidak gembira dengan taubatnya orang yang bertaubat ?!
Sedang mereka mendengar sabda Nabi –shallallahu alaihi wa sallam- (Sungguh Allah bergembira dengan taubat hamba-Nya dari salah seorang kalian yang jatuh dari untanya lalu dia disesatkannya ditempat terpencil)[1][1].
Dan sabda beliau-shallallahu alaihi wa sallam- : Tidak beriman salah seorang dari kalian sehingga dia mencintai saudaranya sepeti dia mencintai dirinya sendiri [2][2].
Akan tetapi rasa gembira ini diiringi oleh rasa sedih dan duka atas apa yang kami temui dan yang kami saksikan pada sebagian mereka yang bertaubat/ kembali kejalan salaf dari rasa bimbang dan tidak menentu dengan sebab banyaknya syubhat yang ditebarkan oleh ahli batil yang mengombang-ambingkan mereka kekanan dan kekiri, dan dengan sebab mereka tidak bertanya kepada ahli ilmi dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Oleh karena itulah aku berkeinginan untuk menulis beberapa wasiat [3][3] bagi mereka yang bertaubat/kembali kejalan salaf yang aku kira bisa mengobati sebagian kebimbangan dan keterombang-ambingan yang menimpa sebagian mereka yang kembali kejalan salaf, dan aku berusaha untuk mempersingkat, mempermudah kata-katanya, agar lebih mudah dipahami dan diserap, semoga Allah yang Maha lembut dan Maha mengetahui menjadikannya bermanfaat bagiku, bagi mereka serta bagi semua saudaraku. Shalawat, salam dan berkah semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan shahabatnya.

Penulis : Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad Asy-Syihhi

Wasiat pertama
Bersyukur dan pujilah Allah atas nikmat ini

Sesungguhnya ini adalah nikmat besar yang Allah berikan kepada siapa yang Dia kehendaki dari para hamba-Nya, maka bersyukurlah, dan ingatlah :
Berapa banyak orang yang tenggelam dalam syubhat, dia terombang-ambing ketimur dan kebarat, tidak tahu jalan keluarnya.
Berapa banyak orang yang terjerumus kedalam syahwat, dia terbelenggu didalamnya, tidak tahu kapan dia akan selamat.
Maka bersyukurlah kepada Allah wahai orang yang bertaubat, ketahuilah bahwa nikmat ini hanyalah dari Allah saja, tidak ada kekuatan dan daya upaya melainkan dengan (pertolongan) dari Allah yang Maha lembut lagi Maha mengetahui, Dialah yang mengasihi dan memberimu petunjuk dan tidak mewafatkan kamu dalam keadaan tenggelam dalam syubhat dan syahwat, bagi-Nyalah segala pujian didunia dan diakhirat.
Dialah yang memberimu petunjuk dan memudahkanmu dalam menemui orang yang bisa menunjukkanmu kejalan/manhaj salafush sholeh, Alangkah banyak nikmat-Nya kepadaku dan kepadamu, Allah berfirman : Dan jika kalian menghitung nikmat Allah maka kamu tidak akan dapat menghitungnya (Surat Ibrahim : 34)
Janganlah kamu -wahai saudaraku yang telah bertaubat- berrsikap ujub dan terpedaya atau merasa memberi nikmat kepada Allah dengan (taubatmu itu) Allah ta’ala berfirman : Begitu jugalah keadaanmu dahulu, lalu Allah memberimu nikmat maka telitilah (Surat An-Nisa’ : 94)
Janganlah kamu mencela atau merendahkan orang lain serta yang lagi diuji dengan apa-apa yang Allah selamatkan dirimu darinya, akan tetapi pujilah Allah yang telah menyelamatkanmu dan Dia tidak menimpakan kepadamu apa yang telah menimpa mereka, dan katakanlah –jika kamu melihat orang yang lagi ditimpa musibah-:
( الحمد لله الذي عافا ني مما ابتلاك به وفضلني على كثير ممن خلق تفضيلا ))
Artinya : Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkanku dari apa-apa yang menimpamu dan telah mengutamakanku dari kebanyakan manusia. [4][4].
Berlemah lembut dan sayangilah mereka serta berharaplah agar mereka mendapat apa yang telah Allah berikan kepadamu dari kebaikan dan petunjuk.
Ketahuilah –semoga Allah memberimu taufik- bahwa harus bagimu untuk menelusuri sebab-sebab yang bisa membantu dalam memperbaiki taubatmu dengan giat serta bersungguh-sungguh, ikhlas dan jujur, pertama kali yang harus kamu mulai adalah :
Wasiat kedua
Menuntut ilmu adalah pondasi dalam memperbaiki taubatmu

Ilmu adalah pondasi/asas dalam memrperbaiki taubatmu, yang demikian itu karena dua perkara :
Pertama : Syubhat itu kebanyakan menempel di relung hati dan akalmu, jika kamu tidak menghilangkannya dengan ilmu yang bermanfaat maka kamu akan senantiasa dibayangi oleh syubhat tersebut dalam setiap perkataan, perbuatan dan keadaaanmu, bahkan dalam dakwahmu sebagaimana ini adalah fakta kebanyakan dari manusia yang meloncat dari taubat langsung berdakwah, mereka menyeru kepada dakwah salafiyah tapi dicampuri dengan syubhatnya Ikhwanul Muslimin yang menyeru kepada persatuan (seluruh kelompok sesat-pent), atau kepada quthbiyah yang menyeru kepada pengkafiran (kaum muslimin-pent), atau kepada sururiyah hizbiyah, bungkusnya salafiyah tapi bau dan rasanya tidak demikian, maka dakwah mereka kepada salafiyah tercampur dengan manhaj/metode tertentu dengan dasar syubhat yang senantiasa menemaninya sebelum bertaubat dan belum dimusnahkan :
Yang ini menyeru kepada kepemimpinan dalam berdakwah ….
Yang lain menghancur leburkan sebagian pokok manhaj salafi dengan alasan hal tersebut menyebabkan kerasnya hati, atau memutuskan hubungan persaudaraan …
Yang lain lagi mengikrarkan pemikiran-pemikiran quthbiyah …..
Yang lain lagi menyeru kepada hizbiyah …..
Yang lain lagi membawa pemikiran tahyijiyah (seperti khowarij yang menyeru untuk keluar dari daulah islam atau demontrasi -pent) ….
Dan yang lain menggembar-ngemborkan persatuan ….
Semua itu diatas namakan salafiyah, kepada Allahlah aku mengeluh, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Kedua : Kadang-kadang syubhat itu mengombang ambingkanmu, lalu merubah arahmu dalam bertaubat/kembali ke salafiyah, sehingga kamu menjadi bingung atau kamu menyeru kepada syubhat itu sedang kamu merasa benar padahal itu adalah kebatilan yang jelas.
Berapa banyak orang yang mengaku-ngaku salafi dan berilmu yang mempermainkan/mengombang-ambingkan para pemuda yang baru bertaubat kepada Allah. Yang demikian itu karena mereka tidak menuntut ilmu yang bermanfaat, atau tidak bertanya kepada ahli ilmu dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Maka wajib bagimu wahai orang yang bertaubat –semoga Allah memberimu taufik- untuk menuntut ilmu yang bermanfaat, karena hal itu dapat memperbaiki taubatmu, meluruskan jalanmu, denganyalah kamu akan selamat dari syubhat dan dari ketergelinciran, dan kamu akan terhindar dari jaring-jaring perangkap dengan seidzin Allah dan taufik-Nya.
Adapun dalil-dalil mengenai keutamaan ilmu dan ulama’ maka hal ini sangatlah dikenal, aku akan sebutkan sebagiannya yaitu :
Firman Allah ta’ala : Allah menyatakan bahwasannya tidak ada yang berhak disembah dengan benar melainkan Dia. Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang berilmu juga menyatakan yang demikian itu. Tidak ada yang berhak disembah dengan benar melainkan Dia, Yang Maha perkasa lagi Maha bijaksana (Surat Ali Imron : 18)
Dan firman Allah ta’ala : Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-Nya adalah para ulama’ (Surat Fathir : 28)
Dan firman-Nya : Allah mengangkat orang-orang beriman diantara kalian dan yang memiliki ilmu beberapa derajat (Surat Al-Mujadilah : 11)
Dan firman Allah ta’ala ketika Dia memberi nikmat kepada Nabi-Nya –shallallahu alaihi wa sallam- dengan diturunkan kepadanya al-Qur’an dan as-Sunnah, serta penjagaan Allah bagi beliau dari menyesatkan manusia : Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun kepadamu. Dan juga karena Allah telah menurunkan kitab dan hikmah (sunnah) kepadamu, dan telah mengajarkanmu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu (Surat An-Nisa’ : 113)
Jika kamu –wahai oang yang bertaubat- telah mengetahui pentingnya ilmu dan keutamaannya, serta bahayanya melalaikan ilmu. Maka ketahuilah bahwa ilmu yang (harus) kamu pelajari pertama kali adalah :

Wasiat ketiga
Mulailah dengan mempelajari pokok-pokok ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Ketahuilah –semoga Allah memberimu taufik untuk menta’ati-Nya- bahwa aku tidak memaksudkan dengan pokok disini hanya macam-macam tauhid yang tiga saja, akan tetapi tauhid dan selainnya dari pokok-pokok ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang telah disepakati dan mereka menyelisihi ahli bid’ah dan firqoh dalam hal itu:
Seperti wala’ dan bara’ (mencintai dan membenci), amar ma’ruf dan nahi ‘anil munkar, bersikap terhadap shahabat, menghormati serta membela mereka, bersikap kepada pemimpin, kepada orang yang berbuat maksiat dan dosa besar, serta bersikap kepada Ahli bid’ah dan membicarakan serta bermuamalah dengan mereka dan lain sebagianya dari pokok-pokok ajaran yang telah disepakati oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka memasukkannya dalam kandungan kitab-kitab aqidah dalam rangka menampakkan kebenaran dan menyelisihi ahli ahwa’ dan firqoh walaupun semua itu secara asal adalah amal perbuatan bukan aqidah/keyakinan.
Bila kamu sudah menguasai masalah-masalah dan pokok-pokok ini maka –dengan seidzin Allah- kamu akan terjaga dari kebanyakan syubhat yang melanda negara-negara islam.
Ketika kebanyakan dari mereka yang bertaubat meremehkan hal ini, dan tidak memulai dalam taubatnya dengan mempelajari pokok-pokok ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah serta metode mereka, mereka menjadi bingung dan terombang-ambing hanya karena syubhat yang kecil, kita mohon kepada Allah keselamatan dan ‘afiyah.
Barangsiapa yang memperhatikan keadaan mereka maka dia akan mendapatkan gambaran dan contoh yang banyak sekali tentang terombang-ambingnya mereka, diantaranya :
1) Kamu mendapatkan orang yang baru bertaubat itu pada awal mulanya sangat semangat sekali menjauhi ahli bid’ah dan firqoh beberapa saat lamanya, ketika dia mendengar syubhat dari orang yang mengaku salafi yang berkata : “Sesungguhnya menjauhi ahli bid’ah dan tidak bermu’amalah dengan mereka tidaklah benar, hal ini akan menyia-nyiakan kebaikan yang banyak sekali, tidak ada satu orangpun yang maksum setelah Rasul –shallallahu alaihi wa sallam-, mereka para sahabat –rodhiyallahu ‘anhu- juga pernah salah….”, kamu mendapatkannya (setelah dia mendengar syubhat itu-pent) telah sakit hatinya dan dia telah menenggak syubhat itu lebih cepat dari pada dia meminum air, pada waktu itu juga dia telah berkumpul dengan ahli bid’ah, tidak perduli lagi dengan pokok-pokok ajaran salafiyah tapi dia masih menamakan dirinya salafi.
Sesungguhnya kebimbangan ini terjadi karena tidak adanya keinginan mempelajari Al-qur’an dan sunnah sesuai dengan pemahaman para salaf, serta pokok-pokok ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, seandainya dia mempelajarinya maka sungguh dia akan mengetahui bahwa syubhat ini batil menyelisihi sikap Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap ahli bid’ah yang dahulu maupun sekarang, dan dia akan mengetahui bahwa perkataan orang yang mengaku salafi itu (tidak ada seorangpun yang maksum setelah Rasul –shallallahu alaihi wa sallam- dan bahwa semua orang itu pernah salah) adalah benar tapi maksudnya adalah batil, demikian itu karena Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari kalangan shahabat, tabi’in apabila salah seorang dari mereka salah tidaklah kesalahan itu bersumber dari hawa nafsu, atau dari ketidak adanya mengikuti atsar (hadits), dan tidak juga bersumber dari menyelewengkan nash-nash, serta mengikuti hal-hal yang mutasyabih/samar-samar, seperti yang dilakukan oleh ahli bid’ah, akan tetapi karena ketidak tahuannya terhadap dalil atau dia mengetahui tapi menurutnya dalil tersebut tidak shohih atau lain sebagainya, yang disitu terdapat udzur baginya.
Bagi mereka dan yang mengikuti mereka itulah turun sabda Nabi –shallallahu alaihi wa sallam- : Apabila seorang hakim berhukum dan dia berijtihad lalu benar maka dia mendapat dua pahala dan apabila salah maka dia mendapat satu pahala [5][5].
Hal ini berlainan dengan ahli bid’ah dan firqoh yang tidak pernah memperhatikan atsar dan mereka lebih mendahulukan akal dari pada nash al-qur’an ataupun sunnah bahkan mereka membuat ajaran sendiri yang menyelisihi ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka ini tidak bisa diberi udzur seperti yang dikatakan oleh pengaku salafi itu, tidaklah yang menggolongkan mereka kedalam Ahlus Sunnah wal Jama’ah melainkan orang jahil atau ahli bid’ah yang angkuh.
2) Kamu mendapatkan orang yang baru bertaubat itu sangat bersemangat pada awalnya dalam membantah ahli bid’ah tapi tanpa ketentuan dan tanpa ilmu, hal ini berlangsung beberapa saat lamanya, ketika dia mendengar syubhat dari yang mengaku salafi : “Sesungguhnya membantah/mengkritik itu bukanlah dari ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah ! hal ini bisa membuat hati keras !![6][6] dahulu ada seorang yang suka mengkritik golongan-golongan yang ada lalu dia berbalik kebelakang dengan sebab itu !!!…”, dia mundur kebelakang, dan mengingkari pokok yang agung yang tegak dengannya agama ini (yaitu membantah ahli bid’ah –pent) bahkan kamu mendapatinya setelah itu berdakwah/menyeru manusia untuk meninggalkan pokok ini dengan alasan hal itu bisa mengeraskan hati.
Yang benar bahwa hal ini adalah pokok yang agung tegak dengannya agama yang lurus ini, dan merupakan pintu yang kokoh dalam menjaga manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari penyelewengan, serta merupakan ibadah yang mulia yang mendekatkan kepada Allah sekaligus menambah iman seorang muslim tapi dengan dipenuhi syarat-syaratnya diantaranya adalah ikhlas dll, pokok yang satu ini sama dengan ibadah lainnya yang dapat menambah iman.
Penyimpangan ini bukan berasal dari pokok ajaran/manhaj tapi dari yang mempraktekkan pokok tersebut tanpa adanya kaidah/ketentuan, ketika syubhat itu mendapatkan tempat didalam hatinya dia lalu mengingkari pokok yang satu ini, padahal seharusnya dialah yang berhak untuk diiingkari karena tidak mempraktekkan pokok ajaran(Ahlus Sunnah wal Jama’ah).
Oleh karena itulah kita tidak mendapatkan para Imam petunjuk dari kalangan shahabat, tabi’in dan para pengiktut mereka dengan baik kecuali dalam keadaan bertakwa, zuhud, dan takut kepada Allah, hati mereka sangat lembut padahal mereka sangat sering membantah orang atau kelompok yang menyelisih (Al-qur’an dan sunnah-pent).
Lihatlah Abdullah bin Mubarak, Imam Ahmad bin Hambal, Yahya Bin Ma’in, Ali Bin Madini, Abu Hatim Ar-Rozi dan Bukhari…. Sejarah hidup mereka dipenuhi dengan zuhud, wara’, takut kepada Allah, dan takwa.
Pemutar balikan fakta dan pencampuradukan hal ini sebabnya adalah ketidak adanya keikhlasan dan kejujuran dalam bertaubat kepada Allah, dan ketidak adanya keinginan untuk mempelajari pokok-pokok ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah pada awal mulanya.
Dari sini –wahai orang yang bertaubat- harus bagimu untuk berhati-hati dari perangkap yang berbahaya ini, dan kamu harus mengetahui bahwa tidak ada keselamatan bagimu dari syubhat yang menjarar dan dari perangkap yang menjerumuskan ini kecuali apabila Allah memberimu taufik/petunjuk dan kamu mempelajari pokok-pokok ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Maka telusurilah jalan ini dengan semangat membara dan kemauan keras, Peganglah kuat-kuat apa yang kami berikan padamu (Surat Al-Baqarah : 63), serta jujur dan ikhlas, Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik (Surat Al-Ankabut : 69).
Yakinlah akan firman Allah ta’ala : Dan sesungguhnya jika mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka), dan kalau demikian, pasti kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi kami, dan pasti kami tunjuki kepada jalan yang lurus (Surat An-nisa’ : 66-68).
Berhati-hatilah dari rasa lemah, loyo dan putus asa terhadap apa yang menimpamu dijalan Allah, janganlah kamu lalai dari firman-Nya : (Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka dijalan Allah dan tidak lesu dan tidak pula menyerah kepada musuh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan) (Surat Ali-imron : 146).


Wasiat keempat
Janganlah mengambil ilmu kecuali dari Ahlus Sunnah

Imam Muhammad bin Sirin pernah berkata : Sesungguhnya ilmu itu adalah agama maka lihatlah dari siapa kalian mengambil ilmu.
Beliau juga berkata : Mereka (salaf/sahabat) dahulu tidak pernah bertanya tentang isnad (silsilah periwayat hadits) tetapi ketika terjadi fitnah mereka berkata : sebutkan kepada kami guru-guru kalian. Lalu dilihat, bila dia Ahlus Sunnah maka diambil haditsnya, tapi jika ahli bid’ah maka ditolak haditsnya.[7][7].
Pada saat sebagian mereka yang bertaubat tidak memperdulikan untuk mengenal pokok dan ketentuan ini, mereka menjadi santapan syubhat, dan sasaran permainan orang-orang yang mengaku-ngaku salafi dan punya ilmu, tidaklah seseorang yang mengaku dirinya memiliki ilmu dan (pura-pura) menampakkan hubungannya dengan kibarul ulama’ Ahlus Sunnah melainkan kamu mendapatkan para pemuda yang baru bertaubat telah duduk mengelilinginya tanpa diteliti hakikat, dan tanpa diperiksa sejarah hidupnya, ketika dia melihat pengikutnya sudah sangat banyak, dan para pendukungnya sudah sangat menyukainya mulailah dia menampakkan apa yang disembunyikannya dan yang diinginkannya, kamu melihatnya mulai menyeru kepada kepemimpinan dalam dakwah, atau kepada persatuan (antar semua golongan-pent), atau yang lainnya dari hal-hal yang menyelisihi pokok-pokok Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Pada waktu itulah mereka yang baru bertaubat mulai tampak goncang dan terpecah menjadi dua kelompok atau tiga : kelompok pendukung, kelompok oposisi, dan kelompok yang bingung, sesungguhnya hal ini terjadi karena dua hal :
Pertama : tidak adanya keinginan mereka (yang bertaubat) untuk menuntut ilmu yang bermanfaat terutama tentang pokok-pokok ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena ilmu merupakan penjaga bagi pemiliknya dari ketergelinciran.
Tidakkah kamu melihat bagaimana ilmu itu bisa menjaga Abi Bakroh –rodhiyallahu anhu- pada waktu perang Jamal ketika mereka mengangkat ‘Aisyah Ummul mukminin –rodhiyallahu ‘anha- maka sebuah hadits yang beliau dengar dari Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- menjaganya, beliau bersabda –ketika mendengar kabar matinya Kisra/raja persi dan pengangkatan anak perempuannya (sebagai ratu-pent) - : Tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh seorang wanita, ketika terjadi fitnah beliau ingat hadits ini maka beliau terjaga darinya, yang mana beliau berkata : Allah menjagaku dengan sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- pada waktu matinya Kisra, beliau bertanya : siapa yang akan mengantinya : mereka menjawab : anak perempuannya.
Maka Nabi –shallallahu alaihi wa sallam- bersabda : tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh wanita, beliau (Abu Bakroh) berkata : ketika Aisyah datang ke Bashroh aku ingat sabda Rasulillah –shallallahu alaihi wa sallam- ini, maka Allah menjagaku dengannya)[8][8] .
Kedua : tidak adanya rujuk kepada ahli ilmi, karena seharusnyalah untuk bertanya kepada ahli ilmu atau kepada muridnya dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang mengenal orang yang ingin diambil darinya ilmu, dan ditanya : apakah dia itu dari tholibul ilmi as-salafi atau bukan ? apakah dia itu betul-betul belajar ilmu yang benar yang layak untuk diambil ilmunya atau tidak ?
Jika jawabannya tidak maka selesai perkara –alhamdulillah-, jika jawabannya positif maka ditimba darinya ilmu tanpa adanya fanatik tapi ditempatkan pada kedudukannya yang layak.
Ini adalah point yang sangat penting yaitu membedakan antara ahli ilmi ar-rabbani yang merupakan rujukan dalam masalah-masalah ilmiyah dan dalam masalah (nazilah) yang sedang terjadi seperti dua orang imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani [9][9]dan Abdul Aziz bin Abdillah Bin Baz [10][10]–rahimahumallah- dan yang masih hidup diantara mereka dari kalangan ulama’ rabbani seperti Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin,[11][11] Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan, Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali dan Syaikh kami Muqbil Bin Hadi Al-Waadi’i[12][12] serta yang setingkat dengan mereka dari kalangan ahli ilmi dan fatwa dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka itu memiliki kedudukan masing-masing.
Dan antara tholibil ilmi yang dikenal ilmu dan berpegang teguhnya dengan sunnah lewat buku-buku mereka serta pujian ahli ilmi ar-rabbani bagi mereka, mereka itu memiliki kedudukan masing-masing.
Dan antara yang dibawah mereka dari tholibul ilmu yang dikenal kesalafiyaannya serta kemampuannya dalam mengajar.


Wasiat kelima
Pentinganya rujuk kepada ulama’ dalam masalah-masalah besar

Para ahli ilmi ar-rabbani merekalah yang (seharusnya) dijadikan rujukan dalam-masalah-masalah yang penting lebih-lebih yang berkaitan dengan kemashlahatan umat islam, jika kamu melihat keadaan orang-orang terdahulu dari kalangan salafush sholeh kamu akan mendapatkan mereka sangat bersemangat untuk rujuk kepada para pembesar ahli ilmi yang ada dizaman mereka terutama dalam hukum-hukum yang bersangkutan dengan tabdi’ (pembid’ahan) dan takfir (pengkafiran)[13][13].
Perhatikanlah Yahya bin Ya’mar Al-Bashri dan Humaid bin Abdirrahman Al-Himyari Al-Bashri ketika muncul qadariyah pada zaman mereka, mereka (qadariyah) memiliki penyimpangan-penyimpangan terhadap pokok-pokok ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang mengharuskan pengkafiran atau pentabdi’an atau pengeluaran mereka dari lingkaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tapi kedua orang itu tidak tergesa-gesa menghukumi mereka bahkan keduanya pergi kepada ahli ilmi dan fatwa yang merupakan rujukan yaitu Abdullah bin Umar bin Khoththob –rodhiyallahu anhu- kemudian keduanya menceritakan kepada beliau tentang apa- yang terjadi lalu beliau berfatwa akan kesesatan qadariyah dan penyimpangan mereka. (Berkata Yahya bin Ya’mar : Orang pertama yang berbicara (menyimpang) tentang qadar di Bashroh adalah Ma’bad Al-Juhani, aku dan Humaid bin Abdirrahman Al-Himyari pergi haji atau Umroh dan kami berkata : Apabila kami bertemu dengan salah seorang dari shahabat Rasulillah –shallallahu alaihi wa sallam- kami akan bertanya tentang apa yang dikatakan oleh (qadariyah) tentang takdir, lalu kami bertemu dengan Abdullah bin Umar bin khoththob–rodhiyallahu anhu- saat beliau masuk masjid maka kami mengiringi beliau salah satu dari kami berjalan disamping kanan beliau dan yang lain disamping kiri, aku kira temanku akan menyerahkan perkara ini kepadaku maka akupun berkata : Wahai Abu Abdirrahman, sesungguhnya telah muncul ditempat kami orang-orang yang membaca Al-qur’an, mempelajari ilmu, mereka mengingkari takdir dan mereka beranggapan bahwa segala sesuatu yang terjadi tidak ditakdirkan Allah dan tidak diketahui-Nya kecuali setelah terjadi.
Beliau berkata : jika kamu bertemu dengan mereka maka beritahu bahwa aku berlepas diri dari mereka dan merekapun berlepas diri dariku dan demi Allah, seandainya salah seorang dari mereka menginfakkan emas sebanyak gunung Uhud tidaklah Allah akan menerimanya sampai mereka beriman dengan takdir ….)[14][14].
Lihatlah Zubeid bin Harits Al-Yami pada saat muncul Murji’ah pada waktunya, dia melihat bahwa penyimpangan mereka terhadap pokok-pokok Ahlus Sunnah wal jam’ah mengharuskan mereka keluar dari golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tapi beliau tidak cepat-cepat menghukuminya tapi dia pergi kepada ahli ilmu dan fatwa yang merupakan tempat rujukan yang pernah menimba ilmu dari pembesar shahabat yaitu Abu Wail Syaqiq bin Salamah Al-Asadi Al-Kufi, maka beliaupun menceritakan apa yang terjadi lalu Abu Wail berfatwa dengan hadits Rasulillah –shallallahu alaihi wa sallam- tentang kebatilan syubhat murjiah, dan penyimpangan mereka dari jalan Ahlus Sunnah, Zubeid berkata : ketika muncul Murjiah aku mendatangi Aba Wail lalu aku ceritakan hal ini kepada beliau lalu beliau berkata : menceritakan kepadaku Abdullah bahwa Nabi –shallallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda : (Mencela orang muslim adalah kefasikan dan memerangiya adalah kekufuran).[15][15]
Jika kamu membandingkan keadaan mereka bersama para ahli ilmi dan fatwa dizaman mereka dengan keadaan kebanyakan orang-orang yang lagi bingung dalam bertaubat pada zaman kita sekarang kamu akan mendapatkan perbedaaan yang sangat jauh sekali.
Mereka sangat bersemangat dalam menjalankan ketentuan ini, mereka tidak tergesa-gesa dalam menghukumi orang yang kelihatannya menyimpang pada zaman mereka sampai mereka memaparkannya kepada ahli ilmu dan fatwa dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, ketika mereka mendengar fatwa merekapun memegangnya erat-erat dan menjauhi orang-orang yang menyimpang dari ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Adapun pada saat ini sedikit sekali kamu mendapatkan orang yang bersemangat (menjalankan) ketentuan ini, bahkan kamu mendapati sebagian mereka cuek terhadap perkataan ahli ilmi dan fatwa dalam mentahdzir (memperingatkan umat) dari ahli bid’ah dan ahwa’dan bahkan mereka memerangi fatwa ahli ilmi serta menyelewengkannya, kita memohon kepada Allah keselamatan dan ‘afiyah.

Penutup

Pada penutup ini, saya nasehatkan kepada yang menginginkan keselamatan dan kebahagiaan didunia dan diakhirat untuk berpegang teguh dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah agar dia terjaga dari syubhat yang menyesatkan, dan jujur dalam bertaubat serta benar-benar berusaha untuk menjalankan hal- hal yang bisa membantunya untuk istiqamah, bertawakkal kepada Allah yang Maha lembut dan Maha mengetahui, dan agar dia bermunajat serta merendahkan diri dihadapan-Nya sambil memohon pertolongan dan petunjuk.
Semoga Allah memberiku dan semua saudaraku petunjuk kepada apa-apa yang dicintai dan diridhoi-Nya, dan menjauhkan kita semua dari fitnah yang nampak maupun yang tersembunyi, serta menolong kita dalam memperjuangkan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan menetapkan kita diatasnya.
Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala Alihi wa Shahbihi wa Sallim tasliiman katsiiran.


[1] Diriwayatkan oleh Bukhari dari hadits Anas bin Malik –rodhiyallahu ‘anhu- (6309) dan ini adalah lafadz beliau, dan Muslim (6896).
[2] Diriwayatkan oleh Bukhari (13) dan Muslim (162).
[3] Dan aku masih memiliki beberapa wasiat lain yang hilang bersama dengan tulisanku mudah-mudahan aku bisa menambahkannya pada cetakan kedua –insya Allah-.
[4] Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam Jami’nya dari hadits Abi Hurairah –rodhiyallahu anhu- dan dalam sanadnya ada Abdullah bin Umar Al-Umari dan dia itu dhoi’if, tapi hadits ini ada penguatnya sehingga naik menjadi hasan lighoirihi.
[5] Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
[6] Ini diantara keajaiban mereka ! kerasnya hati itu sesungguhnya disebabkan karena menyelisihi perintah Allah dan rasul-Nya –shallallahu alaihi wa sallam- bukan sebaliknya.
Bagaimana bisa hati orang yang mengingkari kemungkaran lebih-lebih bid’ah dan kesesatan itu (dikatakan) keras ? padahal Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- bersabda : (Fitnah itu dipaparkan kepada hati seperti tikar sehelai demi sehelai, hati mana saja yang menyerapnya maka dtulis padanya titik-titik hitam, dan hati mana saja yang menolaknya maka akan ditulis titik-titik putih, sehingga terbagi menjadi dua : hati yang putih seperti batu putih yang mengkilap tidak membahayakannya fitnah selama ada langit dan bumi, kedua : hati yang hitam kelam seperti cangkir yang miring tidak mengenal yang baik dan tidak mengingkari yang mungkar kecuali yang telah diserap oleh hawa nafsunya) (Diriwayatkan oleh Muslim 367)
[7] Diriwayatkan oleh Muslim dalam mukaddimah shohihnya.
[8] Diriwayatkan oleh Bukhari (7099), Nasai (5403) dan Tirmidzi (2365) dan ini adalah lafadz beliau.
[9] Al-Imam Al-‘Allamah Al-Mujaddid Al-Muhadits Al-Faqih As-Salafy penolong sunnah dan pembasmi bid’ah Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh Al-Albani, beliau –rahimahullah- lahir pada tahun 1334 H dan wafat pada 22 jumadits tsani 1420 H –pent.
[10] Mujaddid millah Imam Ahlus Sunnah Samahatusy syaikh Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, beliau –rahimahullah- lahir pada bulan dzulhijjah 1330 H dan wafat pada 27 Muharram 1420 H –pent.
[11] Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah al-faqih al-fadhil az-zahid al-wari’ Al-‘Allamah fadhilatusy syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin At-tamimi, beliau lahir pada 27 ramadhan 1347 H dan wafat pada 15 syawwal 1421 H –pent.
[12] Beliau telah wafat, rahimahullahu
[13] Tapi ini bukan berarti bahwa tholibil ilmi tidak menghukumi dalam permasalahan-permasalahan yang ada secara mutlak, akan tetapi maksudnya adalah dia tidak menghukumi secara langsung dalam masalah-masalah yang sedang terjadi, terlebih lagi kalau masalah itu ada kesamar-samarannya, adapun dalam masalah yang sudah jelaa yang tidak tersamarkan maka tidak harus untuk rujuk kepada para ulama’.
[14] Diriwayatkan oleh Muslim 93.
[15] Diriwayatkan oleh Bukhari (48) dan Muslim (218).