Kamis, 28 Juli 2016

Sering share ilmu bukan untuk "Sok Alim" tetapi berharap pahala dakwah.

Sering Share Ilmu Bukan Untuk “Sok Alim” Tetapi Berharap Pahala Dakwah

Tetap semangat berdakwah, mungkin tidak disangka, satu share ilmu dan faidah ternyata bisa memberikan hidayah kepada seseorang, walau hanya sekedar menekan “share”. Tentunya dengan niat yang ikhlas

Tidak mesti jadi ustadz, hanya menunjukkan dan mengajak ke jalan Allah, insyaAllah mendapatkan pahala sebagaimana pelakunya.
Demikian juga share ilmu baik di dunia nyata maupun dunia maya. Semoga mendapat pahala MLM sampai hari kiamat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

“Barangsiapa yang menunjukkan kepada sebuah kebaikan maka baginya seperti pahala pelakunya (HR. Muslim)

Imam An-Nawawi rahimahullahmenjelaskan,

المراد أن له ثوابا كما أن لفاعله ثوابا …

دل بالقول، واللسان، والإشارة، والكتابة

“Maksudnya adalah baginya pahala sebagaimana pahala yang menerjakan…ia menunjukkan dengan perkataan, lisan, ISYARAT dan tulisan.” (Syarah Shahih Muslim)

Bukannya merasa “sok alim dan sok ustadz”, tetapi ini yang diharapkan

Terkadang terbetik bisikan “kamu juga banyak maksiat, jangan sok alim dan sok suci”

tetapi teringat perkataan ulama “Kalau menunggu suci sekali, tidak akan ada yang berdakwah”

Ibnu Hazm rahimahullah berkata,

ولو لم ينه عن الشر إلا من ليس فيه منه شيء ولا أمر بالخير إلا من استوعبه؛ لما نهى أحد عن شر ولا أمر بخير بعد النبي صلى الله عليه وسلم

“Seandainya yang melarang dari dosa harus orang yang tidak terlepas dosa dan yang memerintahkan kebaikan harus orang yang sudah melakukan kebaikan semua, maka tidak ada lagi yang melarang dari keburukan dan mengajak kebaikan kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Akhlaq was Siyar hal. 252-253)

Jika harus menunggu jadi orang suci berdakwah, dakwah tak akan pernah ada

kita banyak-banyak berdoa  dan memperhatikan:
1. Semoga Ikhlas ketika share ilmu

2. Berniat yang paling pertama mengamalkannya (terkadang kita PeDe share sesuatu setelah kita amalkan) dan memohon kepada Allah agar kita bisa mengamalkannya

3. Jauhkan riya dan tendensi dunia serta ketenaran
seandainya bukan karena amanah ilmiah, ingin rasanya menulis sesuatu tanpa mencantumkan nama penulisnya. Sebagai bentuk amanah ilmiah, cantumkan sumber tulisannya jika ada.

4. Tidak melupakan dakwah di dunia nyata, karena itulah dakwah yang lebih baik dan lebih prioritas, di keluarga dan sahabat di sekitar kita. Walaupun dakwah dunia maya juga boleh dan terkadang efektif

5. Tidak lupa berdoa agar dakwah kita berkah dan bisa diterima oleh manusia dengan mudah

Tetap semangat share ilmu di dunia nyata ataupun dunia maya dan tetap berdakwah, tentunya dengan memohon pertolongan Allah dan berhias dengan keikhlasan.

@Kereta Api, perjalanan Cileungsi-Jogja

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

Minggu, 24 Juli 2016

Wasiat Penting dalam Menghadapi Berbagai Fitnah

WASIAT PENTING DALAM MENGHADAPI BERBAGAI FITNAH
Al-Ustadz Abu Abdirrahman Abdullah bin Amr Al Barowy.

بسم الله الرحمن الرحيم

Ya akhy, mungkin sedikit tidaknya Antum telah mendengar bagaimana fitnah dan perselisihan yang akhir-akhir ini telah terjadi di Indonesia, maka dibangun atas dasar kecintaan ana kepada Antum karena Allah, ana wasiatkan antum kepada hal-hal sebagai berikut ;

1) Sesungguhnya adanya fitnah seperti ini merupakan Takdir dari Allah Robbul Alamin yang kita berharap hikmah yng besar dibelakangnya, dalam Firman-Nya ;

الم (١) أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ (٢) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكاذِبِينَ (٣)

"Apakah manusia dibiarkan begitu saja mengucapkan kami telah beriman sementara mereka tidak diuji lagi sunnguh kami telah memfitnah orang-orang sebelum mereka sehingga kami benar-benar tahu siapa orang-orang yang jujur dalam keimanannya dan siapa yang dusta". (QS. Al-Ankabut : 1-3)

2) Sesungguhnya Da'wah Salafiyyah adalah da'wah yang haq oleh karenanya da'wah ini sangat dibenci oleh syaithon-syaithon dari kalangan manusia dan jin mereka berusaha dengan gigih untuk bisa merusak da'wah ini dengan berbagai macam makar dan tipu daya sehingga bisa memecah belah barisan Ahlussunnah, disebuntukan dalam sebuah hadits :

وعن جابر رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: إن الشيطان قد يئس أن يعبده المصلون في جزيرة العرب ولكن في التحريش بينهم رواه مسلم.

"Sesungguhnya Syaithon telah berputus asa untuk menjadikan manusia penyembah mereka di Jazirah Arab akan tetapi mereka berusaha membuat kericuhan perselisihan diantara mereka", (HR. Muslim) -Nas'alullahas salamah min hadza-

3) Sesungguhnya adanya perselisihan ini bukanlah hal yang baru-baru saja terjadi, sungguh telah terjadi perselisihan diantara para sahabat Rasulullah alaihish sholatu was salam sampai pada tarap perang diantara mereka -ridhwanullahi 'alaihim ajmain- maka hendaknya kita banyak-banyak mengambil ibroh dari peristiwa tersebut "Inna fii dzalika la aayatin li ulil albaab"

4) Merupakan Manhaj Ahlussunnah dalam menghadapi fitnah khilafiyyah untuk mengembalikannya kepada kitab dan sunnah 'ala fahmi salafil ummah, sebagaimana dalam Firman-Nya ;

((فَإِنْ تَنازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ ))

"Jika kalian berselisih pendapat dalam suatu urusan maka kmbalikanlah ia kepada Allah dan Rosul-Nya". (QS. An-Nisa : 59)

5) Mengembalikan perkara fitnah ini kepada para ulama ahlus sunnah, inilah jalan keselamatan biarkan lah mereka yang menyelesaikan perkara ini dan hendaknya kita berhati-hati dari sikap mendahului ulama karena itu adalah sikap ke-kurang ajaran kepada kehormatan mereka, dalam Firman-Nya :

((فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ))

"Tanyalah kepada orang yang lebih tahu (para ulama) jika kalian tidak mengetahuinya". (QS. An-Nahl : 43)
Dalam hadits :

وعن عبادة بن الصامت رضي الله عنه، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:
"ليس من أمتي من لم يجِلّ كبيرنا، ويرحم صغيرنا، ويعرف لعالمناحقه"
رواه الإمام أحمد ٥/ ٣٢٣، وصححه الألباني في صحيح الترغيب والترهيب ١/ ٤٤.

"Bukan termasuk dari kami orang-orang yang tidak mengetahui dan mengenal hak orang-orang yang berilmu". (HR. Ahmad dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam shahih Targhib wat Tarhib)

6) Sibukkanlah diri-diri kita dengan ilmu dan amal karena sesungguhnya dengan ilmu akan terbantahkan segala syubhat yang ada, dan dengan amal serta kesabaran akan luluh lantahlah segala syahwat yang menghinggapi karenya para ulama kita mewasiatkan untuk banyak-banyak beribadah dan bertaqarrub kepada-Nya terkhusus saat fitnah tengah bergejolak. Dalam sebuah hadits :

«بادروا بالأعمال فتنا كقطع الليل المظلم، يصبح الرجل مؤمنا ويمسي كافرا، أو يمسي مؤمنا ويصبح كافرا، يبيع دينه بعرض من الدنيا»
رواه مسلم، كتاب الإيمان، باب الحث على المبادرة بالأعمال قبل تظاهر الفتن، ١/ ١١٠، برقم ١١٨، من حديث أبي هريرة رضي الله عنه.

"Bersegeralah kalian beramal karena fitnah-fitnah yang ada bagaikan potongan-potongan malam yang gelap gulita. Dimana seseorang di pagi hari dalam keadaan beriman namun di sore harinya sudah menjadi kafir, di sore harinya beriman namun di pagi harinya menjadi kafir ia menjual agamanya dengan harta dunia". (HR. Muslim)

7) Berhati-hatilah dari sikap ketergesa-gesaan dan terburu-buru dalam bersikap dan menghukumi, akan tetapi hendaknya bersikap tenang dalam segala sesuatunya karena sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

فعن أنس – رضي الله عنه – يرفعه:
«التأني من الله والعجلة من الشيطان»
أخرجه أبو يعلى في مسنده، ٣/ ١٠٥٤، والبيهقي في السنن الكبرى، ١٠/ ١٠٤٠، وقال الألباني في سلسلة الأحاديث الصحيحة، ٤/ ٤٠٤: " هذا إسناد حسن رجاله ثقات ".

"Sikap tenang itu dari Allah sementara sikap tergesa-gesa itu dari syaithon". (HR. Abu Ya'la dan Al-Baihaqy. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah dengan sanad Hasan)

8) Ketahuilah sesungguhnnya merendahkan, menghinakan, mencela, menjatuhkan, melecehkan, dan menuduh dengan hal yang bukan-bukan terhadap derajat dan martabat seorang 'alim merupakan dosa besar yang akan dimintai pertanggung jawabannya kelak dihadapan Robbul 'alamin. Maka waspadalah dari hal ini semua, tahanlah lisan-lisan kita untuk berbicara yang akan mengundang murka Allah Ta'ala sesungguhnya Rasul shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda ;

وعن أبي هريرة رضي الله عنه أنه سمع النبي صلى الله عليه وسلم يقول: "إن العبد ليتكلم بالكلمة ما يتبين فيها يزل بها إلى النار أبعد مما بين المشرق و المغرب". متفق عليه

"Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan suatu kalimat yang ia tidak mencari kejelasan akan itu, maka dengan sebab satu kalimat yang ia lontarkan ternyata menggelincirkan ia ke dalam neraka yang lebih jauh dari jarak timur dan barat" (HR. Bukhari Muslim) -wal iyadzu billah-

9) Terakhir, banyak-banyaklah berdo'a kepada Allah Azza wa Jalla semoga menyelamatkan kita dari larut dengan fitnah-fitnah yang ada dan menjaga agama kita agar tetap istiqomah hingga ajal menjemput kita dimana pada hari itu tidak lagi bermanfa'at harta dan anak-anak kecuali siapa yang menghadap kepada Allah dengan hati yang selamat… Aamiin.. Aamiin.. Aamiin Yaa Mujibas Sa'iliin.

Dari saudara yang mencintaimu karena Allah Al-Ustadz Abu Abdirrahman Abdullah bin Amr Al Barowy.

Semoga Allah memaafkan dan mengampuni segala dosa-dosanya

Kamis, 14 Juli 2016

SEBELUM WAKTU KITA USAI.

SEBELUM WAKTU KITA USAI.....

Allah Ta'ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Artinya, "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa menyiapkan bekalnya untuk hari esok (Hari Kiamat). Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala hal yang engkau kerjakan."
(Qs. Al-Hasyr: 18)

Sesungguhnya modal utama seorang muslim dalam hidup ini adalah waktu, karena di situlah kehidupan manusia. Dia lebih berharga dari harta bahkan lebih mahal nilainya dari harta.

Hal ini dapat kita lihat bersama-sama ketika seseorang yang sedang menghadapi sakaratul maut, lalu dia meletakkan seluruh kekayaannya supaya dengan harta tersebut umurnya bisa bertambah satu hari, maka apakah yang dilakukannya tersebut mampu menambah umurnya ? Jawabannya tentulah tidak, karena ajal telah ditentukan.

Pada saat itu harta tidak lagi berguna, sehingga barulah kita menyadari betapa pentingnya waktu tersebut ketika sakratul maut telah menjemput.

Seseorang yang tidak mengerti dengan nilai dari waktu akan timbul penyesalan dari dalam dirinya ketika ia berada dalam beberapa keadaan, diantaranya :

1⃣ Ketika manusia menghadapi sakaratul maut

Ketika masa ini telah datang, maka barulah manusia menyadari betapa penting dan tingginya nilai waktu tersebut, karena tidak lama lagi dia akan meninggalkan dunia yang fana ini dan akan menuju kampung akhirat, disaat ini terlintasmeningkatkan /fikiran manusia alangkah baiknya kalau sekiranya Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi tangguh umurnya beberapa saat saja supaya dia bisa beramal sebanyak-banyaknya dan memperbaiki amal perbuatannya sebelum ajal menjemputnya.

2⃣ Ketika telah berada di Akhirat

Semua apa yang dijanjikan Allah Subhanahu wa Ta'ala di dunia maka di akhirat Allah akan menepati janjinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala akan membalas amal-amal yang dilakukan manusia dan juga pada saat itu Allah 'Azza wa Jalla akan masukkan orang-orang yang berhak untuk masuk surga ke dalam surganya Allah Ta'ala, dan orang-orang yang berhak untuk masuk ke dalam neraka, niscaya Allah 'Azza wa Jalla masukkan ke dalam neraka. Di negeri akhirat ini para penghuni neraka bercita-cita untuk kembali ke dunia supaya mereka bisa melaksanakan ibadah dan amal sholeh. Namun apalah daya nasi telah jadi bubur, hidup di dunia hanya sekali dan apabila sudah meninggalkan dunia mustahil untuk kembali, waktu untuk beramal telah habis.

Penyesalan akan menjadi perkara yang sia-sia ketika kita berada di dalam keadaan di atas, dimana penyesalan tidak hanya milik orang-orang kafir yang tidak mau untuk beriman dan beramal sholeh tetapi juga menjadi milik orang-orang yang beriman dan beramal sholeh yaitu ketika balasan dari amalan perbuatan mereka telah diperlihatkan, mereka berharap alangkah bagusnya kalau seandainya dahulu di dunia mereka mengerjakan amal sholeh lebih giat dan lebih banyak lagi.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dengan mengkhabarkan kepada kita tentang penyesalan orang-orang kafir di akhirat nanti :

"(Demikianlah keadaan orang-orang kafir), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: ya Allah ya Rabbku: kembalikanlah aku ke dunia".
(QS. al-Mu'minun: 99)

Pada ayat berikutnya Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan alasan kenapa mereka ingin kembali ke dunia :

"agar aku bisa beramal Shaleh untuk memperbaiki apa yang telah aku tinggalkan."
(QS. al-Mu'minun: 100)

Bahkan hal ini diperkuat dalam surat yang lain dimana Allah Ta'ala berfirman:

"Dan (alangkah ngerinya), jikalau sekiranya kamu melihat ketika orang-orang yang berdosa menengadahkan kepalanya di hadapan Robb mereka sambil mengatakan: Duhai Robbku, telah kami saksikan azab-Mu dan telah kami dengar azab-Mu, maka kembalikanlah kami ke dunia untuk beramal Sholeh karena sesungguhnya kami benar-benar telah meyakininya."
(QS. as-Sajadah: 12)

salman ibnu syamsuddin:
Namun semua ungkapan tersebut adalah penyesalan yang tiada gunanya lagi. Karena itu, apabila kita ingin menyesalinya, maka sesalilah dari sekarang selama waktu masih ada, selama kesempatan untuk beramal masih ada, selama umur masih ada dan jangan pernah kita tunda-tunda.

Lalu, bagaimana seharusnya cara mengelola waktu yang benar?

Pengelolaan waktu pastinya berbeda setiap orang, namun ada cara pengelolaan waktu secara umum yang insya Allah dapat diterapkan setiap orang.

➡ Siapkanlah buku agenda, catatan, atau yang sejenisnya untuk menyusun jadwal harian. Catatlah jadwal kegiatan harian dan evaluasilah. Sudahkah rencana itu dikerjakan? Jika tidak, mengapa tidak dikerjakan? Apakah karena faktor kemalasan atau faktor lain yang tidak bisa kita hindari?

➡ Bagilah waktumu dalam tiga pembagian besar : pagi (jam 03.00-12.00), siang (jam 12.00-18.00), dan malam (jam 18.00-03.00).

➡ Pagi hari (jam 03.00) dapat kita gunakan untuk shalat tahajjud, menghafal Al-Qur'an, bermunajat kepada Allah, dan mengevaluasi diri. Saat waktu shubuh tiba, kita bisa segera shalat kemudian mandi dan mempersiapkan aktifitas di hari itu.
Jam 05.30-06.30 bisa digunakan untuk mempelajari ulang ilmu-ilmu agama. Semoga bisa menjadi bekal menjalani hari. Selanjutnya hingga siang, kita bisa menyelesaikan berbagai urusan.

➡ Pagi hingga siang hari biasanya merupakan waktu yang padat aktifitas, maka pandailah dalam mengelola waktu. Saat berjalan kaki, jangan lupa sembari berdzikir. Jika sedang istirahat atau ada waktu luang sekitar 15 menit, bukalah Al-Qur'an, buku hadits yang ringkas, atau buku agama lainnya. Waktu luang yang singkat tersebut juga bisa kita manfaatkan dengan mendengarkan kaset murottal Al-Qur'an atau rekaman ta`lim. Semoga Allah memberi taufik kepada kita untuk dapat memanfaatkan waktu dengan baik.

➡ Pada waktu sore, sempatkanlah untuk menghadiri majelis ta'lim. Bagaimanapun juga jiwa membutuhkan makanan dan jika jiwa tak memperoleh makanan tentu dia akan sakit merana dan bisa mati tanpa kita duga!

➡ Pada malam hari, setelah menyelesaikan pekerjaan yang perlu diselesaikan, ulangilah kembali pelajaran ta`lim yang tadi sore diperoleh. Sesungguhnya ilmu dicari untuk diamalkan, bukan hanya untuk menambah tumpukan catatan. Jangan lupa mengevaluasi diri (muhasabah) sebelum tidur. Perbanyaklah istighfar dan dzikir kepada Allah.

Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. Aamiin.

____
✒ Penyusun : Abu Syamil Humaidy hafizhahullah

•═══════◎❅◎❦۩❁۩❦◎❅◎═══════•
@MuliaDenganSunnah
https://goo.gl/X2h0P7

Web : www.AsySyamil.com — Di Masjid Al Manzilatul Khairiyah

Selasa, 12 Juli 2016

Futur Setelah Ramadhan, Tanda Amal Tak Diterima?

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al'Utsaimin rahimahullah

السؤال:
هل الفتور في عمل الصالحات بعد رمضان دليل على عدم القبول، أنا أحس بفتور وأخشى ألا يكون الله قد تقبل مني؟
الجواب:

لا، ليس دليلاً على أن الله لم يقبل منك، لكنه دليل على ضعف الهمة وعدم الرغبة، ولذلك ينبغي للإنسان أن يصبر نفسه وأن يحملها على العمل الصالح؛ لأن رمضان مدرسة في الواقع، ثلاثون يوماً، أو تسعة وعشرون يوماً، تمضي وأنت متلبس بالعبادات المتنوعة، لا بد أن يؤثر على قلبك وعلى مسيرك، فاغتنم هذه الفرصة.

أما أن نقول: إن من عاد إلى المعاصي بعد رمضان، فإنه علامة على عدم القبول، فلا نستطيع أن نقول هكذا.

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al'Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:
Apakah futur(lesu) beramal shalih setelah Ramadhan adalah tanda tidak diterimanya amal?
Saya merasa futur dan saya takut Allah tidak menerima amalanku.

Jawab:
Bukan. Futur bukanlah tanda Allah tidak menerima amalmu. Akan tetapi futur adalah tanda lemahnya keinginan dan semangat.
Oleh karena itu sepantasnya seseorang menyabarkan dirinya serta membawa diri untuk tetap beramal shalih.
Karena Ramadhan madrasah yang nyata, 30 atau 29 hari berlalu sementara engkau berpakaian dengan beragam ibadah. Pastinya hal ini berpengaruh pada hatimu dan perjalanan ibadahmu. Ambil kesempatan emas ini.

Adapun jika kita katakan: barangsiapa yang kembali bermaksiat setelah Ramadhan maka sesungguhnya ini adalah tanda tidak diterimanya amal. Maka kami tidak sanggup mengatakan demikian.

http://zadgroup.net/bnothemen/upload/ftawamp3/mm_042_15.mp3

Minggu, 10 Juli 2016

KONSEP SILATURAHMI DALAM AL-QURAN DAN SUNNAH

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari manusia ditakdirkan untuk hidup bersosial, yaitu selalu hidup dalam keadaan saling membutuhkan. Islam sangat memperhatikan hal ini dalam banyak pembahasan fiqih tentang tatacara bermuamalah salah satunya adalah pembahasan tentang akhlak manusia dengan sesamanya.
Di dalam pembahasan tentang akhlak tersebut, penulis ingin membahas salah satu kajian akhlak yang berhubungan dengan muamalah seorang manusia dengan yang lainnya, yaitu silaturahmi. Karena tanpa kita sadari, sesungguhnya silaturahmi sangat penting dalam kehidupan bersosial. Banyak sekali ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits yang membahas tentang hal ini. Oleh sebab itu penulis ingin mencoba memandang kajian tersebut dari sudut pandang al-Quran dan Hadits, yang mana keduanya adalah sumber hukum yang paling utama bagi seluruh umat muslim. Mudah-mudahan dengan adanya makalah yang sederhana ini, dapat memberikan pencerahan dan pegangan dalam kehidupan bermuamalah.
SILATURAHMI DALAM AL-QURAN DAN HADITS
A. Pengertian Silaturahmi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007 : 1065) silaturahim atau silaturahmi bermakna tali persahabatan atau persaudaraan. Dalam perspektif bahasa Arab, Ahmad Warson dan Muhammad Fairuz (2007 : 810) mengungkap bahwa silaturahmi itu sebagai terjemahan Indonesia dari bahasa Arab صلة الرحم . Dilihat dari aspek tarkib, lafadz صلة الرحم merupakan tarkib idhofi, yaitu tarkib (susunan) yang terdiri dari mudhof (صلة) dan mudhof ilaih (الرحم). Untuk memahami makna silaturahmi, maka kami terlebih dahulu akan menjelaskan tentang makna صلة dan الرحم , kemudian makna silaturahmi.
1. Makna Shillah
Lafadz صلة merupakan mashdar dari وصل , Ahmad Warson (2002 : 1562-1563) mengartikan bahwa صلة adalah perhubungan, hubungan, pemberian dan karunia.
2. Makna Rahim
Ahmad Warson (2002 : 483) mengartikan, رحم adalah rahim, peranakan dan kerabat. Al-Raghib (2008 : 215 ) mengkaitkan kata rahim dengan rahim al-mar`ah (rahim seorang perempuan) yaitu tempat bayi di perut ibu. Yang bayi itu punya sifat disayangi pada saat dalam perut dan menyayangi orang lain setelah keluar dari perut ibunya. Dan kata rahim diartikan "kerabat" karena kerabat itu keluar dari satu rahim yang sama. Al-Raghib (2008 : 216) juga mengutip sabda Nabi, yang isinya menyebutkan, ketika Allah Swt menciptakan rahim, Ia berfirman, "Aku al-Rahman dan engkau al-Rahim, aku ambil namamu dari namaku, siapa yang menghubungkan padamu Aku menghubungkannya dan siapa yang memutuskan denganmu Aku memutuskannya". Ini memberi isyarat bahwa rahmah-rahim mengandung makna al-Riqqatu (belas-kasihan) dan al-Ihsân (kedermawanan, kemurahan hati).
3. Makna Silaturahmi
Berdasarkan dua pengertian dua diatas, maka makna silaturahmi secara harfiah adalah menyambungkan kasih-sayang atau kekerabatan yang menghendaki kebaikan. Secara istilah makna silaturahmi, antara lain dapat dipahami dari apa yang dikemukakan Al-maraghi menyebutkan, "Yaitu menyambungkan kebaikan dan menolak sesuatu yang merugikan dengan sekemampuan". Sementara itu imam as-Shon'ani (1992 : 4 : 295) mendefinisikan bahwa silaturahmi adalah kiasan tentang berbuat baik kepada kerabat yang memiliki hubungan nasab dan kerabat bersikap lembut, menyayangi dan memperhatikan kondisi mereka.
B. Pembagian Silaturahmi
As-Shon'ani (1992 : 4 : 298) mengutip pendapat imam al-Qurthubi yang menjelaskan bahwa silaturahmi yang mesti disambungkan itu terbagi kepada dua bagian, yaitu silaturahmi umum dan silaturahmi khusus. Silaturahmi umum yaitu rahim dalam agama, wajib disambungkan dengan cara saling menaehati, berlaku adil, menunaikan hak-hak yang wajib dan yang sunnah. Sedangkan sulaturahmi khusus yaitu dengan cara memberi nafakah kepada kerabat.
C. Silaturahmi dalam pandangan Al-Quran
Sejauh pengamatan penulis terhadap ayat-ayat al-Quran, penulis tidak menemukan satu ayat pun yang memerintahkan silaturahmi dengan bentuk fi'il amr dari lafadz وصل yang kami temukan bukab fi'il amr, melainkan bentuk fi'il madhi yang terdapat dalam surat al-Qoshos ayat 51 dan fi'il mudhore yang diulang sepuluh kali pada enam surat (Abdul Baqi, tt : 919). Meskipun demikian, bukan berarti al-Quran tidak memerintahkan silaturahmi, tetapi silaturahmi dalam al-Quran digunakan dengan lafadz yang lain.
Bila kita mencermati kembali makna rahim, kita temukan bahwa makna rahim itu adalah kerabat, sebagaimana diungkap oleh ar-Roghib dan Ahmad Warson. Di dalam al-Quran dijumpai beberapa ayat yang memerintahkan untuk memberikan hak kepada kerabat. Hal tersebut mengindikasikan bahwa silaturahmi diperintahkan dalam al-Quran walaupun menggunakan redaksi lain. Ayat-ayat yang dimaksud antara lain adalah sebagai berikut :
a. Surat an-Nahl ayat 90
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku 'adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
Pada ayat tersebut terdapat perintah memberi bantuan kepada kerabat dekat, terkait dengan makna tersebut, Ats-tsa'labi (tt: 2: 321), As-Sulami (2001: 1:372), 'izz bin Abdussalam (1996: 1: 577), Fahrurrozi (tt: 1: 2747), dan Ahmad bin Muhammad bin Mahdi (2002: 24:73) mereka menafsirkan bahwa ungkapan tersebut bermakna perintah untuk silaturahmi.
b. Surat al-Isro ayat 26
وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Pada ayat ini terdapat perintah Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, menurut Baidhowi (tt: 1: 441), Al-Khozin (1979: 4: 157) bahwa makna kerabat tersebut adalah perintah untuk menyambungkan silaturahmi.
c. Surat ar-Rum ayat 38
فَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ ذَلِكَ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Maka berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridaan Allah. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
As-Sam'ani (1997: 4: 215)mencatat bahwa perintah memberikan haq kepada kerabat dekat itu menurut mayoritas mufassir maknanya adalah silaturahmi dengan memberikan hadiah.
Berdasarkan tiga ayat diatas beserta penafsiran para mufasir jelaslah bahwa silaturahmi diperintahkan didalam Quran.
D. Silaturahmi dalam pandangan Hadits
Hadis-hadis yang berkaitan dengan silaturahmi, diantaranya adalah:
1. Orang yang bersilaturahmi akan diperluas rizkinya, dipanjangkan umurnya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ أََحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ, وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ, فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ.
Dari Abu Hurairoh r.a: Rosul bersabda barang siapa yang ingin diluaskan rizkinya, dan di panjangkan umurnya, hendaklah dia menyambungkan silaturahmi (H.R. Bukhori)
Dalam hadits lain, yang di takhrij oleh Ahmad dari Aisyah secara marfu' Nabi pernah bersabda bahwa silaturahmi dan berbuat baik kepada tetangga akan dapat memakmurkan rumah serta menambah umur. Terkait dengan hadis tersebut, Ibnu Hajar (tt: 10: 416) dan As-Son'ani mencamtumkan pendapat Ibnu Tiin yang menyatakan bahwa dzohir hadis tersebut bertentangan dengan surat Al-A'rof ayat 34 yaitu
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ (34)
tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.
Selanjutnya Ibnu Tiin mengkompromikan dua dalil tersebut dari dua aspek, salah satunya yaitu yang dimaksud tambahan umur pada hadis tersebut merupakan kinayah tentang keberkahan umur sebab adanya taufik untuk taat serta makmurnya waktu digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat untuk akhirat serta memeliharanya dari melakukan perbuatan yang sia-sia.
2. Pemutus silaturahmi tidak akan masul surga.
وَعَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَا يَدْخُلُ اَلْجَنَّةَ قَاطِعٌ يَعْنِي: قَاطِعَ رَحِمٍ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Jubair bin Mut'im r.a: Rosul bersabda tidak akan masuk surga orang yang memutus, yaitu: memutuskan silaturahmi (mutafaq 'alaihi)

3. Pemutus silaturahmi akan dipercepat siksaan terhadap dosanya.
وأخرج أبو داود من حديث أبي بكرة يرفعه ما من ذنب أجدر أن يعجل الله لصاحبه العقوبة في الدنيا مع ما ادخر له في الآخرة من قطيعة الرحم
Abu Daud mentakhrij dari hadis Abu Bakroh yang marfu' tidak ada satu dosa yang lebih pantas dipercepat oleh Allah siksaan bagi pelakunya didunia disamping disediakan baginya siksaan di akhirat dari melainkan pemutus silaturahmi
4. Amal pemutus silaturahmi tidak diterima oleh Allah.
وأخرج البخاري في الأدب المفرد من حديث أبي هريرة يرفعه إن أعمال أمتي تعرض عشية الخميس ليلة الجمعة فلا يقبل عمل قاطع رحم
Bukhori mentakhrij dalam Adabul Mufrod dari hadis Abu Hurairoh yang marfu' sesungguhnya amal-amal umatku akan disetorkan pada waktu kamis sore malam jumat maka tidak akan diterima amalan pemutus silaturahmi
5. Rahmat tidak akan turun bagi pemutus silaturahmi.
وأخرج فيه من حديث ابن أبي أوفى إن الرحمة لا تنزل على قوم فيهم قاطع رحم
Bukhori mentakhrij dalam Adabul Mufrod dari hadis Abu Aufa sesungguhnya rahmat tidak akan turun kepada suatu kaum yang didalamnya ada pemutus silaturahmi
6. Pintu langit akan tertutup bagi pemutus silaturahmi.
وأخرج الطبراني من حديث ابن مسعود إن أبواب السماء مغلقة دون قاطع الرحم
Thobroni mentakhrij dari hadis ibnu mas'ud sesungguhnya pintu-pintu langit tertutup bagi pemutus silaturahmi
PENUTUP

A. Kesimpulan
Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan hubungan antar sesama manusia. Hal itu digambarkan dengan adanya berbagai syariat tentang hubungan manusia baik yang menyangkut hubungan keluarga maupun masyarakat. Untuk mempererat hubungan antar keluarga, Islam mensyariatkan silaturahmi. Dalam pandangan al-Quran dan hadis, silaturahmi memiliki kedudukan yang sangat penting. Al-Quran menggambarkan bahwa silaturahmi merupakan salahsatu bentuk pelaksanaan ibadah seorang hamba kepada Rabb-nya. Dan hadis melukiskan bahwa orang yang senantiasa silaturahmi akan dipanjangkan umurnya serta diperluas rizkinya.
Selain itu banyak keterangan yang menjelaskan bahwa orang yang memutuskan hubungan silaturahmi tidak akan masuk surga, amalny tidak akan diterima, serta masih banyak ancaman yang lainnya. Oleh karena itu, sebagai muslim kita harus senantiasa memelihara selaturahmi demi keselamatan dunia akhirat.

B. Saran
Setelah kita memahami konsep silaturahmi, baik dari segi pengertian, pembagian, serta keterangan al-Quran dan Hadis mudah-mudahan kita bisa mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dan juga bisa menyebarluaskannya kepada segenap umat Islam di bumi Allah.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Baqi, M.F. (tt). Mu'jam Mufahros li Alfadzil Quran. Bandung : Diponegoro
Al-Asfahani, R. (2008). Mu'jam Mufrodat li Alfadzil Quran. Lebanon : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah
Al-Baidhowi, (tt). Tafsir al-Baidhowi.
Al-Khozin, (1979). Lubab at-Ta'wil fi Ma'ani at-Tanzil. Beirut: Dar al-Fikr.
As-Sam'ani, (1997). Tafsir al-Quran. Riyad: Dar al-Wathon.
As-Shon'ani, (1992). Subul as-Salam. Beirut: Dar al-Fikr.
As-sulami, (2001). Haqoiq at-Tafsir. Beirut : Dar al-Kutub al-Islamiyah.
Fakhrurrozi, (tt). Tafsir al-Fahr ar-Rozi. Dar Ihya at-Turots al-Aroby.
Hajar, I. (2004). Fathul Bari bi Syarhi Shohih al-Bukhori. Kairo : Dar al-Hadits
Iz-Zuddin, (1996). Tafsir Izz ibn Abd as-Salam Tafsir al-Quran. Beirut: Dar Ibn Hazm.
Mahdi, A. M. (2002). Al-Bahr al-Mudid. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah.
Redaksi, T. (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
Warson, A. ( 2002). Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia. Surabaya : Pustaka progresif
Warson, A dan Fairuz, M (2007). Kamus Al-Munawir Indonesia-Arab. Surabaya : Pustaka progresif
Tsa'labi, (tt). Al-Jawahir al-Hasan Fi at-Tafsir al-Quran. Beirut : Muassasah al-A'lami

Rizki Abdurahman.

Sabtu, 09 Juli 2016

Mudik Lebaran dalam Perspektif Islam.

Oleh
Ustadz Abu Ahmad Zaenal Abidin

Wahai, manusia. Hiasilah hubungan dengan kerabatmu untuk mencari ridha Allah. Dengan bersilaturahmi, keberkahan umur dan rizki akan diraih dan derajat mulia akan tercapai di sisi Allah. Ketauhilah, silaturahmi dengan sanak kerabat dan famili merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah.

Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan ditambah umurnya, maka hendaklah melakukan silaturrahmi”.[1]

Silaturrahmi yang hakiki bukanlah menyambung hubungan baik terhadap orang-orang yang telah berbuat baik terhadap kita. Namun, silaturrahmi yang sebenarnya ialah menyambung hubungan dengan orang-orang yang telah memutuskan tali silaturahmi dengan kita.

Dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ الْوَاصِلَ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنَّ الْوَاصِلَ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا

“Sesungguhnya bukanlah orang yang menyambung silaturahmi adalah orang yang membalas kebaikan, namun orang yang menyambung silaturahmi adalah orang yang menyambung hubungan dengan orang yang telah memutuskan silaturahmi”. [2]

TRADISI MUDIK LEBARAN DALAM TINJUAN ISLAM
Sebagian besar kaum Muslimin di negeri kita mengira, bahwa mudik lebaran ada kaitannya dengan ajaran Islam, karena terkait dengan ibadah bulan Ramadhan. Sehingga banyak yang lebih antusias menyambut mudik lebaran daripada mengejar pahala puasa dan lailatul qadr. Dengan berbagai macam persiapan, baik tenaga, finansial, kendaraan, pakaian dan oleh-oleh perkotaan. Ditambah lagi dengan gengsi bercampur pamer, mewarnai gaya mudik. Kadang dengan terpaksa harus menguras kocek secara berlebihan, bahkan sampai harus berhutang. Pada hari lebaran, lembaga pegadaian menjadi sebuah tempat yang paling ramai dipadati pengunjung yang ingin berhutang.

Padahal yang benar mudik tidak ada kaitannya dengan ajaran Islam karena tidak ada satu perintahpun baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah, setelah menjalankan ibadah Ramadhan harus melakukan acara silaturahmi untuk kangen-kangenan dan maaf-maafan, karena silaturahmi bisa dilakukan kapan saja sesuai kebutuhan dan kondisi.

Apabila yang dimaksud mudik lebaran sebagai bentuk kegiatan untuk memanfaatkan momentum dan kesempatan untuk menjernihkan suasana keruh dan hubungan yang retak sementara tidak ada kesempatan yang baik kecuali hanya waktu lebaran maka demikian itu boleh-boleh saja namun bila sudah menjadi suatu yang lazim dan dipaksakan serta diyakini sebagai bentuk kebiasaan yang memiliki kaitan dengan ajaran Islam atau disebut dengan istilah tradisi Islami maka demikian itu bisa menjadi bidah dan menciptakan tradisi yang batil dalam ajaran Islam. Sebab seluruh macam tradisi dan kebiasaan yang tidak bersandar pada petunjuk syareat merupakan perkara bidah dan tertolak sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, patuh dan taat walaupun dipimpin budak habasyi, karena siapa yang masih hidup dari kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang memberi petunjuk, berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Waspadalah terhadap perkara-perkara baru (bid’ah) karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat”. [Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah].

SILATURAHMI YANG SESUAI DENGAN SUNNAH
Makna silaturahmi secara bahasa adalah dari lafadz rahmah yang berarti lembut dan kasih sayang.

Abu Ishak berkata: “Dikatakan paling dekat rahimnya adalah orang yang paling dekat kasih sayangnya dan paling dekat hubungan kekerabatannya”. [3]

Imam Al Allamah Ar Raghib Al Asfahani berkata bahwa Ar Rahim berasal dari rahmah yang berarti lembut yang memberi konsekwensi berbuat baik kepada orang yang disayangi.[4]

Oleh sebab itu salaturrahmi merupakan bentuk hubungan dekat antara bapak dan anaknya atau seseorang dengan kerabatnya dengan kasih saying yang dekat, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ

“Dan bertakwalah kepada Allah, yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan peliharalah hubungan silaturahim”. [an Nisa’:1]

Silaturahmi dan berbuat baik kepada orang tua dan sanak kerabat merupakan urusan yang sangat penting, kewajiban yang sangat agung, dan amal salih yang memiliki kedudukan mulia dalam agama Islam serta merupakan aktifitas ibadah yang sangat mulia dan berpahala besar sehingga banyak sekali nash baik dari Al-Qur’an dan Sunnah yang memberi motivasi untuk silaturahmi dan mengancam bagi siapa saja yang memutuskannya dengan ancaman berat.

Allah Azza wa Jalla berfirman :

الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

“(Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi”. [al Baqarah : 27]

Ayat di atas terdapat anjuran agar setiap muslim melakukan silaturrahmi dengan kerabat dan sanak famili.

Abu Ja’far Ibnu Jarir At Thabary berkata: “Pada ayat di atas Allah menganjurkan agar menyambung hubungan dengan sanak kerabat dan orang yang mempunyai hubungan rahim dan tidak memutuskannya”.[5]

Oleh sebab itu, hendaknya setiap muslim hendaknya melakukan silaturrahmi dengan sanak kerabat baik dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan baik sekandung maupun hanya saudara sebapak atau seibu, atau sepersusuan, semuanya hendaklah saling menyayangi, menghormati dan menyambung hubungan hubungan kerabat baik pada saat berdekatan maupun berjauhan.

Dari Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الرَّحِمُ شَجْنَةٌ مِنَ اللهِ مَنْ وَصَلَهَا وَصَلَهُ اللهُ وَمَنْ قَطَعَهَا قَطَعَهُ اللهُ

“Rahim adalah syajnah (bagian dari limpahan rahmat) [6] dari Allah, barangsiapa yang menyambungnya maka Allah akan menyambungnya dan barangsiapa yang memutuskannya maka Allah akan memutuskannya”. [7]

Hubungan persaudaraan khususnya antara saudara laki-laki dan saudara perempuan memiliki sentuhan yang sangat unik yaitu sentuhan batin yang sangat lembut serta kesetiaan yang sangat dalam dan semakin hari semakin bertambah subur walaupun berjauhan jarak tempatnya.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الْخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْهُ قَامَتْ الرَّحِمُ قَالَتْ هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ بِكَ مِنْ الْقَطِيعَةِ قَالَ نَعَمْ أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ قَالَتْ بَلَى يَا رَبِّ قَالَ فَذَاكِ لَكِ

“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk dan setelah usai darinya maka rahim berdiri lalu berkata: Ini adalah tempat orang berlindung dari pemutusan silaturramhi. Maka Allah berfirman: Ya. Bukankah kamu merasa senang Aku akan menyambung hubungan dengan orang yang menyambungmu dan memutuskan hubungan dengan orang memutuskan denganmu? Ia menjawab: Ya. Allah berfirman: Demikian itu menjadi hakmu”.[8]

Barangsiapa yang memutuskan hubungan silaturrahmi tanpa alasan syar’i maka berhak mendapatkan sanksi berat dan kutukan dari Allah serta diancam tidak masuk surga.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ ۙ أُولَٰئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ

“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi. Orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam)”. [ar-Ra’d : 25].

Dari Jubair bin Muth’im bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ

“Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan kerabat.”.[9]

KESALAHAN-KESALAHAN PADA SAAT LEBARAN
Hari raya adalah salah satu syiar kemuliaan kaum muslimin. Pada hari itu mereka berkumpul jiwa-jiwa menjadi bersih dan persatuan terbentuk serta pengaruh kejelekan dan kesengsaraan hilang, sehingga tidak tampak pada waktu itu kecuali kebahagiaan. Namun hal ini sering terjadi kekeliruan-kekeliruan dalam merayakannya. Diantaranya.

1. Meniru orang kafir dalam berpakaian. Kita mulai melihat sebagai fenomena aneh pada masyarakat kita khususnya pada hari raya. Mereka mengenakan pakaian yang aneh-aneh ala orang kafir. Seorang muslim dan muslimah seharusnya memiliki semangat untuk menjaga agama, kehormatan dan fitrahnya. Jangan tergoda untuk ikut-ikutan mereka meniru-niru kebiasaan orang-orang yang tidak menjaga kehormatan.

2. Sebagian orang menjadikan hari raya sebagai syiar melaksanakan kemaksiatan, sehingga secara terang-terangan ia melakukan perbuatan yang diharamkan. Misalnya dengan mendengarkan musik dan memakan makanan yang diharamkan Allah.

3. Dalam berziarah (kunjungan) tidak memperhatikan etika islami. Contohnya bercampurnya laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, saling berjabat tangan antara laki-laki yang bukan mahram

4. Berlebih-lebihan dalam membuat makanan dan minuman yang tidak berfaedah, sehingga banyak yang terbuang, padahal kaum muslimin yang membutuhkan.

5. Hari Raya merupakan kesempatan yang sangat baik untuk menyatukan hati kaum muslimin, baik yang ada hubungan kerabat atau tidak. Juga kesempatan untuk mensucikan jiwa dan menyatukan hati, namun pada kenyataannya, penyakit hati masih tetap saja bercokol.

6. Menganggap bahwa silaturahmi hanya dikerjakan pada saat hari raya saja.

7. Menganggap bahwa pada hari raya sebagai saat yang tepat untuk ziarah kubur.

8. Saling berkunjung untuk saling maaf-memaafkan diantara para kerabat dan sanak famili dengan keyakinan saat itulah yang paling afdhal.[10]

SILATURAHMI YANG PALING UTAMA ADALAH BIRRUL WALIDAIN
Allah mewajibkan seorang anak untuk taat, berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tuannya. Bahkan Allah menghubungkan perintah beribadah kepadaNya dengan berbuat baik kepada kedua orang tua, sebagaimana firman Allah:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلآ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَتَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا

“Dan Rabb-mu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”, dan janganlah kamu membentak mereka. Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.[al Isra` : 23]

Birrul walidain adalah berbuat baik kepada kedua orang tua, baik berupa bantuan materi, doa, kunjungan, perhatian, kasih sayang, dan menjaga nama baik pada saat hidup atau setelah wafat. Orang tua merupakan kerabat terdekat, yang banyak mempunyai jasa dan kasih sayang yang besar sepanjang masa, sehingga tidak aneh kalau hak-haknya juga besar. Allah berfirman :

وَوَصَّيْنَا اْلإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَىَّ الْمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepadaKu-lah kembalimu”. [Luqman : 14 ].

KEUTAMAAN BIRUL WALIDAIN
Di dalam Al Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak disebutkan secara berulang-ulang, agar seorang anak berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Kebaikan dan pengorbanan orang tua tidak terhitung jumlahnya, baik berupa jiwa raga dan kekuatan, tidak berkeluh kesah dan tidak meminta balasan dari anaknya.

Adapun anak, ia harus selalu diberi wasiat dan diingatkan agar senantiasa mengingat terhadap jasa orang tua, yang selama ini telah mencurahkan jiwa dan raga serta seluruh hidupnya untuk membesarkan dan mendidiknya.

Seorang ibu, selama mengandung mengalami banyak beban berat. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Ibu lebih banyak menderita dalam membesarkan dan mengasuh anaknya. Penderitaan ketika hamil, tidak ada yang bisa merasakan payahnya, kecuali kaum ibu juga.

Imam Bukhari di dalam Adabul Mufrad, dari Abu Burdah, bahwa ia menyaksikan Ibnu Umar dan ada seorang laki-laki dari Yaman sedang melakukan thawaf -sambil menggendong ibunya di belakang punggungnya-, ia berkata: ‘Sesungguhnya saya menjadi tunggangannya yang tunduk, jikalau tunggangan lain terkadang susah dikendalikan, aku tidaklah demikian’. Lalu ia bertanya kepada Ibnu ‘Umar: ‘Wahai Ibnu Umar, apakah dengan ini saya sudah membayar jasanya?. Beliau menjawab:”Sama sekali belum, walaupun satu kali sengalan nafasnya (saat melahirkanmu)” [11]

Dari Al Miqdam bin Ma’dikarib, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللهَ يُوْصِيْكُمْ بِأُمَّهَاتِكُمْ ثم يُوْصِيْكُمْ بِأُمَّهَاتِكُمْ ثم يُوْصِيْكُمْ بِآبَائِكُمْ ثُمَّ يُوْصِيْكُمْ بِاْلأَقْرَبِ فَالْأَقْرَبِ

“Sesungguhnya Allah berwasiat agar kalian berbuat baik kepada ibu-ibumu, lalu Allah berwasiat agar berbuat baik kepada ibu-ibumu, kemudian Allah berwasiat kepada bapak-bapakmu, dan kemudian Allah berwasiat kepada kalian agar berbuat baik kepada sanak kerabatmu”.[12]

Begitulah, anak adalah bagian hidup dan belahan hati orang tua. Kasih sayangnya mengalir di dalam darah daging keduanya. Seorang anak selalu merepotkan dan menyita perhatian kedua orang tuanya. Tatkala kedua orang tua tetap berbahagia dengan keadaan putra-putrinya, akan tetapi betapa cepatnya seorang anak melalaikan semua jasa orang tuanya, dan hanya sibuk mengurus isteri dan ana-anaknya. Padahal berbuat baik kepada kedua orang tua merupakan keputusan mutlak dari Allah, dan merupakan ibadah yang menempati urutan ke dua setelah ibadah kepada Allah.

Mari kita segera mulai dengan berbuat baik, menghormati dan memuliakan mereka berdua. Karena birrul walidain memiliki keutamaan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07-08/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
________
Footnote
[1]. Lihat sahih Abu Daud (1486), sahih Adabul Mufrad (56) Sahih Muslim bab Al Birru Wassilah hadits ke 20.
[2]. Lihat SahihAdabul Mufrad (68) bab laisal wasil bil mukafi’
[3]. Lihat Lisanul Arab (5/174) bab Dzal wa Ra’.
[4]. Lihat Mufradatul Qur;an Hal (346)
[5]. Lihat Tafsir Ath Thabary juz 1/144. dan tafsir Ibnu Katsir Juz 1/ 83
[6]. Lihat Syarah Adabul Mufrad karya Husain Ibnu Uwadah Al Awayasyah. Juz 1/72.
[7]. Lihat Silsilah hadits sahihah no (925) , Adabul Mufrad no (55) dan sahih Musdlim bab Al Birru wa Silah hadits ke 17.
[8]. HR Imam Bukhari dalam sahihnya dalam kitabut tafsir (4830) dan Imam Muslim dalam kitabul Birri (6465).
[9]. HR Imam Bukhari dalam sahihnya dalam kitabul Adad bab Istmul Qathi’ (5984), Muslim dalam sahihnya kitabul birry bab Silaturrahim (6467) dan Abu Daud Dalam sunannya (1696).
[10]. Lihat Ahkamul Idain wa Asyr Dzulhijjah karya DR. Abdullah bin Muhammad Ath Thayyar
[11]. Adabul Mufrad, hadits no. 11, Bab Jazaul Walidain. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani.
[12]. Shahih Adabul Mufrad, 60; Sunan Ibnu Majah, 23, Kitabul Adab dan Shilisilah Hadits Shahihah, 1666

Sumber: https://almanhaj.or.id/2830-mudik-lebaran-dan-tradisi-yang-keliru.html

Senin, 04 Juli 2016

TATA CARA PUASA ENAM HARI BULAN SYAWWAL

Puasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan masyru' (disyari'atkan). Pendapat yang menyatakan bid'ah atau haditsnya lemah, merupakan pendapat bathil [Majmu' Fatawa, Abdul 'Aziz bin Abdillah bin Baz, 15/389]. Imam Abu Hanifah, Syafi'i dan Ahmad menyatakan istihbab pelaksanaannya [Taudhihul Ahkam, 3/533].

Adapun Imam Malik, beliau rahimahullah menilainya makruh. Agar, orang tidak memandangnya wajib. Lantaran kedekatan jaraknya dengan Ramadhan. Namun, alasan ini sangat lemah, bertentangan dengan Sunnah shahihah.

Alasan yang diketengahan ini tidak tepat, jika dihadapkan pada pengkajian dan penelitian dalil, yang akan menyimpulkan pendapat tersebut lemah. Alasan terbaik untuk mendudukkan yang menjadi penyebab sehingga beliau berpendapat demikian, yaitu apa yang dikatakan oleh Abu 'Amr Ibnu 'Abdil Barr, seorang ulama yang tergolong muhaqqiq (peneliti) dalam madzhab Malikiyah dan pensyarah kitab Muwatha.

Abu 'Amr Ibnu 'Abdil Barr berkata,"Sesungguhnya hadits ini belum sampai kepada Malik. Andai telah sampai, niscaya beliau akan berpendapat dengannya." Beliau mengatakan dalam Iqna', disunnahkan berpuasa enam hari di bulan Syawal, meskipun dilaksanakan dengan terpisah-pisah. Keutamaan tidak akan tetap diraih bila berpuasa di selain bulan Syawal.

Seseorang yang berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah berpuasa Ramadhan, seolah-olah ia berpuasa setahun penuh. Penjelasannya, kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Bulan Ramadhan laksana sepuluh bulan. Sementara enam hari bagai dua bulan. Maka hitungannya menjadi setahun penuh. Sehingga dapat diraih pahala ibadah setahun penuh tanpa kesulitan, sebagai kemurahan dari Allah dan kenikmatan bagi para hambaNya.

Dari Tsauban Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ فَشَهْرٌ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ فَذَلِكَ تَمَامُ صِيَامِ السَّنَةِ

"Barangsiapa berpuasa Ramadhan, satu bulan seperti sepuluh bulan dan berpuasa enam hari setelah hari Idul Fitri, maka itu merupakan kesempurnaan puasa setahun penuh".[Hadits shahih, riwayat Ahmad, 5/280; an Nasaa-i, 2860; dan Ibnu Majah, 1715. Lihat pula Shahih Fiqhis Sunnah, 2/134].

BILAMANA PELAKSANAANNYA?
Syaikh Abdul Aziz bin Baz, di dalam Majmu' Fatawa wal Maqalat Mutanawwi'ah (15\391) menyatakan, puasa enam hari di bulan Syawal memiliki dasar dari Rasulullah. Pelaksanaannya, boleh dengan berurutan ataupun terpisah-pisah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan pelaksanaannya secara mutlak, dan tidak menyebutkan caranya dilakukan dengan berurutan atau terpisah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam" :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

"Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian mengiringinya dengan puasa enam hari pada bulan Syawwal, maka ia seperti puasa satu tahun" [HR Muslim].

Beliau rahimahullah juga berpendapat, seluruh bulan Syawwal merupakan waktu untuk puasa enam hari. Terdapat riwayat dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda : Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian melanjutkannya enam hari dari bulan Syawwal, maka ia seperti puasa satu tahun [ash Shiyam, bab Istihbabish-Shaumi Sittati Ayyam min Syawwal, 1164].

Hari pelaksanaannya tidak tertentu dalam bulan Syawwal. Seorang mu`min boleh memilih kapan saja mau melakukannya, (baik) di awal bulan, pertengahan bulan atau di akhir bulan. Jika mau, (boleh) melakukannya secara terpisah atau beriringan. Jadi, perkara ini fleksibel, alhamdulillah. Jika menyegerakan dan melakukannya secara berurutan di awal bulan, maka itu afdhal. Sebab menunjukkan bersegera melakukan kebaikan [Majmu' Fatawa wal Maqalat Mutanawwi'ah, 15\390].

Para ulama menganjurkan (istihbab) pelaksanaan puasa enam hari dikerjakan setelah langsung hari 'Idhul Fitri. Tujuannya, sebagai cerminan menyegerakan dalam melaksanakan kebaikan. Ini untuk menunjukkan bukti kecintaan kepada Allah, sebagai bukti tidak ada kebosanan beribadah (berpuasa) pada dirinya, untuk menghindari faktor-faktor yang bisa menghalanginya berpuasa, jika ditunda-tunda.

Syaikh 'Abdul Qadir bin Syaibah al Hamd menjelaskan : "Dalam hadits ini (yaitu hadits tentang puasa enam hari pada bulan Syawwal), tidak ada nash yang menyebutkan pelaksanaannya secara berurutan ataupun terpisah-pisah. Begitu pula, tidak ada nash yang menyatakan pelaksanaannya langsung setelah hari raya 'Idul Fithri. Berdasarkan hal ini, siapa saja yang melakukan puasa tersebut setelah hari Raya 'Idul Fithri secara langsung atau sebelum akhir Syawal, baik melaksanakan dengan beriringan atau terpisah-pisah, maka diharapkan ia mendapatkan apa yang dijanjikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab, itu semua menunjukkan ia telah berpuasa enam hari pada bulan Syawwal setelah puasa bulan Ramadhan. Apalagi, terdapat kata sambung berbentuk tsumma, yang menunjukkan arti tarakhi (bisa dengan ditunda)" [Fiqhul Islam, 3/232].

Demikian penjelasan singkat mengenai cara berpuasa enam hari pada bulan Syawwal setelah puasa bulan Ramadhan. Mudah-mudahan dapat memotivasi diri kita, untuk selalu mencintai sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang tidak lain akan mendekatkan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Wallahu a'lam bish-shawab.

BAGAIMANA JIKA MASIH MENANGGUNG PUASA RAMADHAN?
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah, apakah boleh mendahulukan puasa sunnah (termasuk puasa enam hari di bulan Syawwal) sebelum melakukan puasa qadha Ramadhan.

Imam Abu Hanifah, Imam asy Syafi'i dan Imam Ahmad, berpendapat bolehnya melakukan itu. Mereka mengqiyaskannya dengan shalat thathawu' sebelum pelaksanaan shalat fardhu.

Adapun pendapat yang masyhur dalam madzhab Ahmad, diharamkannya mengerjakan puasa sunnah dan tidak sah, selama masih mempunyai tanggungan puasa wajib.

Syaikh Bin Baz rahimahullah menetapkan, berdasarkan aturan syari'at (masyru') mendahulukan puasa qadha Ramadhan terlebih dahulu, ketimbang puasa enam hari dan puasa sunnah lainnya. Hal ini merujuk sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

"Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian diiringi dengan puasa enam hari pada bulan Syawwal, maka ia seperti puasa satu tahun".

Barangsiapa mengutamakan puasa enam hari daripada berpuasa qadha, berarti belum mengiringkannya dengan puasa Ramadhan. Ia hanya mengiringkannya dengan sebagian puasa di bulan Ramadhan. Mengqadha puasa hukumnya wajib. Sedangkan puasa enam hari hukumnya sunnah. Perkara yang wajib lebih utama untuk diperhatikan terlebih dahulu [Fiqhul Islam, 3/232].

Pendapat ini pun beliau tegaskan, saat ada seorang wanita yang mengalami nifas pada bulan Ramadhan dan mempunyai tekad yang kuat untuk berpuasa pada bulan Syawwal. Beliau tetap berpendapat, menurut aturan syari'at, hendaknya Anda memulai dengan puasa qadha terlebih dahulu. Sebab, dalam hadits, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan puasa enam hari (Syawwal) usai melakukan puasa Ramadhan. Jadi perkara wajib lebih diutamakan daripada perkara sunnah [Fiqhul Islam, 3/232].

Sementara itu Abu Malik, penulis kitab Shahih Fiqhis Sunnah berpendapat, masih memungkinkan bolehnya melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal, meskipun masih memiliki tanggungan puasa Ramadhan. Dasar argumentasi yang digunakan, yaitu kandungan hadits Tsauban di atas yang bersifat mutlak [Shahih Fiqhis Sunnah, 2/134].

Wallahu a'lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun X/1427/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
_________________________
Sumber Artikel : https://almanhaj.or.id/2835-tata-cara-puasa-enam-hari-bulan-syawwal.html

Sabtu, 02 Juli 2016

KEMUNGKARAN-KEMUNGKARAN YANG BISA TERJADI PADA HARI RAYA

Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Atsari

Ketahuilah wahai saudaraku muslim -semoga Allah memberi taufik kepadaku dan kepadamu- sesungguhnya kebahagiaan yang ada pada hari-hari raya kadang-kadang membuat manusia lupa atau sengaja melupakan perkara-perkara agama mereka dan hukum-hukum yang ada dalam Islam. Sehingga engkau melihat mereka banyak berbuat kemaksiatan dan kemungkaran-kemungkaran dalam keadaan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya !! Semua inilah yang mendorongku untuk menambahkan pembahasan yang bermanfaat ini dalam tulisanku, agar menjadi peringatan bagi kaum muslimin dari perkara yang mereka lupakan dan mengingatkan mereka atas apa yang mereka telah lalai darinya[1].

Diantara Kemungkaran Itu Adalah :

1.Berhias Dengan Mencukur Jenggot.
Perkara ini banyak dilakukan manusia. Padahal mencukur jenggot merupakan perbuatan yang diharamkan dalam agama Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits yang shahih yang berisi perintah untuk memanjangkan jenggot agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir yang kita diperintah untuk menyelisihi mereka. Selain berkaitan dengan hal itu, memanjangkan jenggot termasuk fithrah (bagi laki-laki) yang tidak boleh kita rubah. Dalil-dalil tentang keharaman mencukur jenggot terdapat dalam kitab-kitab Imam Madzhab yang empat[2] yang telah dikenal.

2. Berjabat Tangan Dengan Wanita Yang Bukan Mahram.
Ini merupakan bencana yang banyak menimpa kaum muslimin, tidak ada yang selamat darinya kecuali orang yang dirahmati Allah. Perbuatan ini haram berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

َلأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ رَجُلٍ بِمَخِيْطٍ مِنْ حَدِيْدٍ، خَيْرٌ لَهُ مَنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ

"Artinya : Seseorang ditusukkan jarum besi pada kepalanya adalah lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya" [Hadits Shahih, Lihta takhrijnya secara panjang lebar dalam "Juz'u Ittiba' is Sunnah No. 15 oleh Adl-Dliya Al-Maqdisi -dengan tahqiqku]

Keharaman perbuatan ini diterangkan juga dalam kitab-kitab empat Imam Madzhab yang terkenal [Lihat 'Syarhu An Nawawi ala Muslim 13/10, Hasyiyah Ibnu Abidin 5/235, Aridlah Al-Ahwadzi 7/95 dan Adlwau; Bayan 6/603]

3. Tasyabbuh (Meniru) Orang-Orang Kafir Dan Orang-Orang Barat Dalam Berpakaian Dan Mendengarkan Alat-Alat Musik Serta Perbuatan Mungkar Lainnya.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.

مَنْ تَشَبَهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

"Artinya : Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka" [3]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda.

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ، يَأْتِيهِمْ يَعْنِي -الْفَقِيرَ- لِحَاجَةٍ فَيَقُولُونَ: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا، فَيُبَيِّتُهُمُ اللهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ وَيَمْسَخُ آخَرِيْـنَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Artinya : Benar-benar akan ada pada umatku beberapa kaum yang mereka menghalalkan zina, sutera (bagi laki-laki ,-pent), khamr dan alat-alat musik. Dan benar-benar akan turun beberapa kaum menuju kaki gunung untuk melepaskan gembalaan mereka sambil beristirahat, kemudian mereka didatangi seorang fasik untuk suatu keperluan. Kemudian mereka berkata : 'Kembalilah kepada kami besok!' Lalu Allah membinasakan dan menimpakan gunung itu pada mereka dan sebagian mereka dirubah oleh Allah menjadi kera-kera dan babi-bai hingg hari kiamat" [4]

4. Masuk Dan Bercengkerama Dengan Wanita-Wanita Yang Bukan Mahram.
Hal ini dilarang oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sabda beliau.

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: اَلْحَمْوُ الْمَوْتُ

"Artinya : Hati-hatilah kalian masuk untuk menemui para wanita". Maka berkata salah seorang pria Anshar : "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang Al-Hamwu" Beliau berkata : "Al-Hamwu adalah maut" [Hadits Riwayat Bukhari 5232, Muslim 2172 dari 'Uqbah bin Amir]

Al- Allamah Az-Zamakhsyari berkata dalam menerangkan "Al-Hamwu"
"Al-Hamwu bentuk jamaknya adalah Ahmaa' adalah kerabat dekat suami seperti ayah[5], saudara laki-laki, pamannya dan selain mereka… Dan sabda beliau : "Al-Hamwu adalah maut" maknanya ia dikelilingi oleh kejelekan dan kerusakan yang telah mencapai puncaknya sehingga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyerupakannya dengan maut, karena hal itu merupakan sumber segala bencana dan kebinasaan. Yang demikian karena Al-Hamwu lebih berbahaya daripada orang lain yang tidak dikenal. Sebab kerabat dekat yang bukan mahram terkadang tidak ada kekhawatiran atasnya atau merasa aman terhadap mereka, lain halnya dengan orang yang bukan kerabat. Dan bisa jadi pernyataan "Al-Hamwu adalah mau" merupakan do'a kejelekan…" ["Al-Faiq fi Gharibil Hadits" 9 1/318, Lihat "An-Nihayah 1/448, Gharibul Hadits 3/351 dan Syarhus Sunnah 9/26,27]

5. Wanita-Wanita Yang Bertabarruj (Berdandan Memamerkan Kecantikan) Kemudian Keluar Ke Pasar-Pasar Atau Tempat Lainnya.
Ini merupakan perbuatan yang diharamkan dalam syari'at Allah. Allah Ta'ala berfirman :

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ

"Artinya : Hendaklah mereka (wanita-wanita) tinggal di rumah-rumah mereka dan jangan bertabarruj ala jahiliyah dulu dan hendaklah mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat" [Al-Ahzab : 33]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا: قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ، يَضْرِبُوْنَ بِهَا الـنَّاسَ. وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ، مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ، رُءُوْسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ. لاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا، وَإِنْ كَانَ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا.

"Artinya : Dua golongan manusia termasuk penduduk neraka yang belum pernah aku melihatnya : …….. dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, berlenggak-lenggok[6], kepala-kepala mereka bagaikan punuk-punuk unta[7]. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapatkan bau surga. Padahal bau suurga dapat tercium dari perjalanan sekian dan sekian" [Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dalam "Shahihnya" 2128, 2856 dan 52, Ahmad 2/223 dan 236 dari Abu Hurairah]

6. Mengkhususkan Ziarah Kubur Pada Hari Raya : Membagi-bagikan manisan dan makanan di pekuburan, duduk di atas kuburan, bercampur baur antara pria dan wanita, bergurau dan meratapi orang-orang yang telah meninggal, dan kemungkaran-kemungkaran lainnya.[Lihat perincian yang lain tentang bid'ah yang dilakukan di kuburan dalam kitab "Ahkamul Janaiz" 258-267 oleh Syaikh kami Al-Albani Rahimahullah]

7. Boros Dalam Membelanjakan Harta Yang Tidak Ada Manfaatnya Dan Tidak Ada Kebaikan Padanya.

Allah berfirman.

وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

"Artinya : Janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan" [Al-An'am : 141]

وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ

"Artinya : Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang berbuat boros itu adalah saudaranya syaitan" [Al-Isra : 26-27]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ جَسَدِهِ فِيمَا أَبْلَاهُ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا وَضَعَهُ

"Artinya : Tidak akan berpindah kedua kaki anak Adam pada hari kiamat dari sisi Rabb-nya hingga ditanya tentang … dan hartanya dari mana ia perolah dan ke mana ia infakkan" [8]

8. Kebanyakan Manusia Meninggalkan Shalat Berjama'ah Di Masjid Tanpa Alasan Syar'i Atau Mengerjakan Shalat Ied Tetapi Tidak Shalat Lima Waktu. Demi Allah, Sesungguhnya Ini Adalah Salah Satu Bencana Yang Amat Besar.

9. Berdatangannya Sebagian Besar Orang-Orang Awam Ke Kuburan Setelah Fajar Hari Raya ; Mereka meninggalkan shalat Ied, dirancukan dengan bid'ah mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya. [Al-Madkhal 1/286 oleh Ibnu Hajj, Al-Ibda hal.135 oleh Ali Mahfudh dan Sunnanul Iedain hal.39 oleh Al-Syauqani]

Sebagian mereka meletakkan pada kuburan itu pelepah kurma[9] dan ranting-ranting pohon !!

Semua ini tidak ada asalnya dalam sunnah.

10, Tidak Adanya Kasih Sayang Terhadap Fakir Miskin.
Sehingga anak-anak orang kaya memperlihatkan kebahagiaan dan kegembiraan dengan bebagai jenis makanan yang mereka pamerkan di hadapan orang-orang fakir dan anak-anak mereka tanpa perasaan kasihan atau keinginan untuk membantu dan merasa bertanggung jawab. Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لاَيُوْ مِن احد كُمْ حتَّى يحبُ لأخيه ما بحب لنفْسه

"Artinya : Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya" [Hadits Riwayat Bukhari 13 dan Muslim 45, An-Nasa'i 8/115 dan Al-Baghawi 3474 meriwayatkan dengan tambahan ; "dari kebaikan" dan isnadnya Shahih]

11. Bid'ah-bid'ah yang dilakukan oleh kebanyakan orang yang dianggap syaikh dengan pengakuan bertaqqarub kepada Allah Ta'ala, padahal tidak ada asalnya sama sekali dalam agama Allah.

Bid'ah itu banyak sekali[10]. Aku hanya menyebutkan satu saja di antaranya, yaitu kebanyakan para khatib dan pemberi nasehat menyerukan untuk menghidupkan malam hari Id (dengan ibadah) dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Tidak hanya sebatas itu yang mereka perbuat, bahkan mereka menyandarkan hadits palsu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu hadits yang berbunyi.

مَنْ أَحْيَا لَيْلَةَ الْفِطْرِ، وَلَيْلَةَ اْلأَضْحَى، لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ، يَوْمَ تَمُوْتُ الْقُلُوْبُ

"Artinya : Barangsiapa yang menghidupkan malam Idul Fithri dan Idul Adha maka hatinya tidak akan mati pada hari yang semua hati akan mati" [Hadits ini palsu (maudlu'), diterangkan oleh ustazd kami Al-Albani dalam "Silsilah Al-Ahadits Adl-Dlaifah" 520-521]

Hadits ini tidak boleh sama sekali disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

[Disalin dari Kitab Ahkaamu Al-Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali Hasan bin Ali Abdul Hamid, Al-Atsari, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]
_______
Footnote.
[1]. Kemungkinan-kemungkinan yang disebutkan secara umum dilakukan pada waktu haru raya ataupun di luar hari raya, akan tetapi kemungkaran itu lebih besar dan bertambah dilakukan pada hari-hari raya.
[2]. Lihat Fathul Bari 10/351, Al-Ikhtiyar Al-Ilmiyah 6, Al-Muhalla 2/220, Ghidza'ul Albab 1/376 dan selainnya. Al-Akh Syaikh Muhammad bin Ismail telah meneliti dalam kitabnya "Adillah Tahrim Halqil Lihyah" hadits-hadits yang ada dalam masalah ini, kemudian ia menyebutkan penjelasan ulama tentangnya, dan juga nukilan-nukilan dari kitab-kitab madzhab yang jadi sandaran. Lihatlah kitab yang berharga itu. dan lihat juga "Majallah Al-Azhar" 7/328. Aku telah menulis risalah berjudul "Hukum Ad-Dien Fil Lihyah wat tadkhin" -Alhamdulillah- Kitab itu telah dicetak beberapa kali.
[3]. Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad 2/50 dan 92 dari Ibnu Umar dan isnadnya Hasan. Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi dalam Musykil Al Atsar 1/88 dari Hassan bin Athiyah, Abu Nu'aim dalam Akhbar Ashbahan 1/129 dari Anas, meskipun ada pembicaraan padanya, tetapi dengan jalan-jalan tadi, hadits ini derajatnya Shahih, insya Allah.
[4]. Hadits Riwayat Bukhari 5590 secara muallaq dan bersambung menurut Abu Daud 4039, Al-Baihaqi 10/221 dan selainnya. berkata Al-Hafidzh dalam Hadyu As-Sari 59 : Al-Hasan bin Sufyan menyambungnya dalam Musnadnya, dan Al-Isma'ili, Ath-Thabrani dalam Al-Kabir. Abu Nua'im dari empat jalan, dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya dan selain mereka. Aku katakan : Dalam hadits ini ada lafadh-lafadh yang asing, aku akan menjelaskannya dengan berurutan.
[5]. Dia dikecualikan berdasarkan nash Al-Qur'anul Karim, lihat "Al-Mughni" 6/570
[6]. Menyimpang dari taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan keharusan mereka untuk menjaga kemaluan, "An-Nihayah" 4/382
[7]. Berkata Al-Qadli 'Iyadh dalam Masyariqul Anwar 1/79 : Al-Bukht adalah unta yang gemuk yang memiliki dua punuk. Maknanya -wallahu a'lam- wanita-wanita itu menggelung rambut mereka hingga kelihatan besar dan tidak menundukkan pandangan mata mereka.
[8]. Hadits Riwayat Tirmidzi 2416, Al-Khatib dalam Tarikh-nya 12/440 dari Ibnu Mas'ud, padanya ada kelemahan. Akan tetapi ada pendukungnya dari Abi Zur'ah di sisi Ad-Darimi Dzail Tarikh Baghdad 2/163. Dan dari Mu'adz di sisi Al-Khatib 11/441. Maka hadits ini Hasan.
[9]. Lihat Ahkamul Jazaiz hal. 253, Ma'alimus Sunan 1/27 dan ta'liq Syaikh Ahmad Syakir atas Sunan Tirmidzi 1/103
[10]. Lihat beberapa di antaranya dalam kitab A'yadul Islam 58 pasal Bida'ul Iedain

Sumber: https://almanhaj.or.id/1178-kemungkaran-kemungkaran-yang-bisa-terjadi-pada-hari-raya.html