Kamis, 30 Juni 2016

BOLEHKAH ZAKAT FITRAH DENGAN UANG, ?

Bolekah zakat fitrah dengan uang ?
Oleh: Ustadz Ammi Nur Baits

Assalamu 'alaikum.
Ustadz, bagaimana jika saya membayar zakat fitrah dengan uang, bukan dengan makanan pokok? Apakah hal ini diperbolehkan dalam Islam?
Jazakallahu khairan.

Jawaban:

Wa'alaikumussalam.

Masalah ini termasuk kajian yang banyak menjadi tema pembahasan di beberapa kalangan dan kelompok yang memiliki semangat dalam dunia Islam. Tak heran, jika kemudian pembahasan ini meninggalkan perbedaan pendapat.

Sebagian melarang pembayaran zakat fitrah dengan uang secara mutlak, sebagian memperbolehkan zakat fitrah dengan uang tetapi dengan bersyarat, dan sebagian lain memperbolehkan zakat fitrah dengan uang tanpa syarat. Yang menjadi masalah adalah sikap yang dilakukan orang awam.

Umumnya, pemilihan pendapat yang paling kuat menurut mereka, lebih banyak didasari logika sederhana dan jauh dari ketundukan terhadap dalil. Jauhnya seseorang dari ilmu agama menyebabkan dirinya begitu mudah mengambil keputusan dalam peribadahan yang mereka lakukan. Seringnya, orang terjerumus ke dalam qiyas (analogi), padahal sudah ada dalil yang tegas.

Uraian ini bukanlah dalam rangka menghakimi dan memberi kata putus untuk perselisihan pendapat tersebut. Namun, ulasan ini tidak lebih dari sebatas bentuk upaya untuk mewujudkan penjagaan terhadap sunah Nabi dan dalam rangka menerapkan firman Allah, yang artinya,

"Jika kalian berselisih pendapat dalam masalah apa pun maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir." (Q.s. An-Nisa':59)

Allah menegaskan bahwa siapa saja yang mengaku beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka setiap ada masalah, dia wajib mengembalikan permasalahan tersebut kepada Alquran dan As-Sunnah. Siapa saja yang tidak bersikap demikian, berarti ada masalah terhadap imannya kepada Allah dan hari akhir.

Pada penjelasan ini, terlebih dahulu akan disebutkan perselisihan pendapat ulama, kemudian di-tarjih (dipilihnya pendapat yang lebih kuat). Pada kesempatan ini, Penulis akan lebih banyak mengambil faidah dari risalah Ahkam Zakat Fitri, karya Nida' Abu Ahmad.

Perselisihan ulama "zakat fitrah dengan uang"

Terdapat dua pendapat ulama dalam masalah ini (zakat fitrah dengan uang). Pendapat pertama, memperbolehkan pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) menggunakan mata uang. Pendapat kedua, melarang pembayaran zakat fitri menggunakan mata uang. Permasalahannya kembali kepada status zakat fitri. Apakah status zakat fitri (zakat fitrah) itu sebagaimana zakat harta ataukah statusnya sebagai zakat badan?

Jika statusnya sebagaimana zakat harta maka prosedur pembayarannya sebagaimana zakat harta perdagangan. Pembayaran zakat perdagangan tidak menggunakan benda yang diperdagangkan, namun menggunakan uang yang senilai dengan zakat yang dibayarkan. Sebagaimana juga zakat emas dan perak, pembayarannya tidak harus menggunakan emas atau perak, namun boleh menggunakan mata uang yang senilai.

Sebaliknya, jika status zakat fitri (zakat fitrah) ini sebagaimana zakat badan maka prosedur pembayarannya mengikuti prosedur pembayaran kafarah untuk semua jenis pelanggaran. Penyebab adanya kafarah ini adalah adanya pelanggaran yang dilakukan oleh badan, bukan kewajiban karena harta. Pembayaran kafarah harus menggunakan sesuatu yang telah ditetapkan, dan tidak boleh menggunakan selain yang ditetapkan.

Jika seseorang membayar kafarah dengan selain ketentuan yang ditetapkan maka kewajibannya untuk membayar kafarah belum gugur dan harus diulangi. Misalnya, seseorang melakukan pelanggaran berupa hubungan suami-istri di siang hari bulan Ramadan, tanpa alasan yang dibenarkan.

Kafarah untuk pelanggaran ini adalah membebaskan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin, dengan urutan sebagaimana yang disebutkan. Seseorang tidak boleh membayar kafarah dengan menyedekahkan uang seharga budak, jika dia tidak menemukan budak.

Demikian pula, dia tidak boleh berpuasa tiga bulan namun putus-putus (tidak berturut-turut). Juga, tidak boleh memberi uang Rp. 5.000 kepada 60 fakir miskin. Mengapa demikian? Karena kafarah harus dibayarkan persis sebagaimana yang ditetapkan.

Di manakah posisi zakat fitri (zakat fitrah)?

Sebagaimana yang dijelaskan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah bahwasanya zakat fitri (zakat fitrah) itu mengikuti prosedur kafarah karena zakat fitri (zakat fitrah) adalah zakat badan, bukan zakat harta. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa zakat fitri adalah zakat badan –bukan zakat harta– adalah pernyataan Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma tentang zakat fitri.

Ibnu Umar radhiallahu 'anhu mengatakan, "Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mewajibkan zakat fitri, … bagi kaum muslimin, budak maupun orang merdeka, laki-laki maupun wanita, anak kecil maupun orang dewasa …." (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)

Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu mengatakan, "Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mewajibkan zakat fitri (zakat fitrah), sebagai penyuci orang yang berpuasa dari perbuatan yang menggugurkan pahala puasa dan perbuatan atau ucapan jorok …."(H.r. Abu Daud; dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)

Dua riwayat ini menunjukkan bahwasanya zakat fitri berstatus sebagai zakat badan, bukan zakat harta. Berikut ini adalah beberapa alasannya:

(1) Adanya kewajiban zakat bagi anak-anak, budak, dan wanita. Padahal, mereka adalah orang-orang yang umumnya tidak memiliki harta. Terutama budak; seluruh jasad dan hartanya adalah milik tuannya. Jika zakat fitri merupakan kewajiban karena harta maka tidak mungkin orang yang sama sekali tidak memiliki harta diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya.

(2) Salah satu fungsi zakat adalah penyuci orang yang berpuasa dari perbuatan yang menggugurkan pahala puasa serta perbuatan atau ucapan jorok. Fungsi ini menunjukkan bahwa zakat fitri berstatus sebagaimana kafarah untuk kekurangan puasa seseorang.

Apa konsekuensi hukum jika zakat fitri (zakat fitrah) berstatus sebagaimana kafarah?

Ada dua konsekuensi hukum ketika status zakat fitri itu sebagaimana kafarah:

Harus dibayarkan dengan sesuatu yang telah ditetapkan yaitu bahan makanan.

(2) Harus diberikan kepada orang yang membutuhkan untuk menutupi hajat hidup mereka, yaitu fakir miskin. Dengan demikian, zakat fitri tidak boleh diberikan kepada amil, mualaf, budak, masjid, dan golongan lainnya. (lihat Majmu' Fatawa Syaikhul Islam, 25:73)
Sebagai tambahan wacana, berikut ini kami sebutkan perselisihan ulama dalam masalah ini.

Pendapat yang membolehkan pembayaran zakat fitri dengan uang

Ulama yang berpendapat demikian adalah Umar bin Abdul Aziz, Al-Hasan Al-Bashri, Atha', Ats-Tsauri, dan Abu Hanifah.

Diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri, bahwa beliau mengatakan, "Tidak mengapa memberikan zakat fitri dengan dirham."

Diriwayatkan dari Abu Ishaq; beliau mengatakan, "Aku menjumpai mereka (Al-Hasan dan Umar bin Abdul Aziz) sementara mereka sedang menunaikan zakat Ramadan (zakat fitri) dengan beberapa dirham yang senilai bahan makanan."

Diriwayatkan dari Atha' bin Abi Rabah, bahwa beliau menunaikan zakat fitri dengan waraq (dirham dari perak).

Pendapat yang melarang pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) dengan uang

Pendapat ini merupakan pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama. Mereka mewajibkan pembayaran zakat fitri menggunakan bahan makanan dan melarang membayar zakat dengan mata uang. Di antara ulama yang berpegang pada pendapat ini adalah Imam Malik, Imam Asy-Syafi'i, dan Imam Ahmad. Bahkan, Imam Malik dan Imam Ahmad secara tegas menganggap tidak sah jika membayar zakat fitri mengunakan mata uang. Berikut ini nukilan perkataan mereka.

Perkataan Imam Malik

Imam Malik mengatakan, "Tidak sah jika seseorang membayar zakat fitri dengan mata uang apa pun. Tidak demikian yang diperintahkan Nabi." (Al-Mudawwanah Syahnun)

Imam Malik juga mengatakan, "Wajib menunaikan zakat fitri senilai satu sha' bahan makanan yang umum di negeri tersebut pada tahun itu (tahun pembayaran zakat fitri)." (Ad-Din Al-Khash)

Perkataan Imam Asy-Syafi'i

Imam Asy-Syafi'i mengatakan, "Penunaian zakat fitri wajib dalam bentuk satu sha' dari umumnya bahan makanan di negeri tersebut pada tahun tersebut." (Ad-Din Al-Khash)

Perkataan Imam Ahmad

Al-Khiraqi mengatakan, "Siapa saja yang menunaikan zakat menggunakan mata uang maka zakatnya tidak sah." (Al-Mughni, Ibnu Qudamah)

Abu Daud mengatakan, "Imam Ahmad ditanya tentang pembayaran zakat mengunakan dirham. Beliau menjawab, "Aku khawatir zakatnya tidak diterima karena menyelisihi sunah Rasūlullāh." (Masail Abdullah bin Imam Ahmad; dinukil dalam Al-Mughni, 2:671)

Dari Abu Thalib, bahwasanya Imam Ahmad kepadaku, "Tidak boleh memberikan zakat fitri dengan nilai mata uang." Kemudian ada orang yang berkomentar kepada Imam Ahmad, "Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz membayar zakat menggunakan mata uang." Imam Ahmad marah dengan mengatakan, "Mereka meninggalkan hadis Nabi dan berpendapat dengan perkataan Fulan.

Padahal Abdullah bin Umar mengatakan, 'Rasūlullāh mewajibkan zakat fitri satu sha' kurma atau satu sha' gandum.' Allāh juga berfirman, 'Taatlah kepada Allāh dan taatlah kepada Rasul.' Ada beberapa orang yang menolak sunah dan mengatakan, 'Fulan ini berkata demikian, Fulan itu berkata demikian." (Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 2:671)

Zahir mazhab Imam Ahmad, beliau berpendapat bahwa pembayaran zakat fitri dengan nilai mata uang itu tidak sah.
Beberapa perkataan ulama lain:

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, "Allāh mewajibkan pembayaran zakat fitri dengan bahan makanan sebagaimana Allāh mewajibkan pembayaran kafarah  dengan bahan makanan." (Majmu' Fatawa)

Taqiyuddin Al-Husaini Asy-Syafi'i, penulis kitab Kifayatul Akhyar (kitab fikih Mazhab Syafi'i) mengatakan, "Syarat sah pembayaran zakat fitri harus berupa biji (bahan makanan); tidak sah menggunakan mata uang, tanpa ada perselisihan dalam masalah ini." (Kifayatul Akhyar, 1:195)

An-Nawawi mengatakan, "Ishaq dan Abu Tsaur berpendapat bahwa tidak boleh membayar zakat fitri menggunakan uang kecuali dalam keadaan darurat." (Al-Majmu')

An-Nawawi mengatakan, "Tidak sah membayar zakat fitri dengan mata uang menurut mazhab kami. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Malik, Ahmad, dan Ibnul Mundzir." (Al-Majmu')

Asy-Syairazi Asy-Syafi'i mengatakan, "Tidak boleh menggunakan nilai mata uang untuk zakat karena kebenaran adalah milik Allāh. Allāh telah mengkaitkan zakat sebagaimana yang Dia tegaskan (dalam firman-Nya), maka tidak boleh mengganti hal itu dengan selainnya. Sebagaimana berkurban, ketika Allāh kaitkan hal ini dengan binatang ternak, maka tidak boleh menggantinya dengan selain binatang ternak." (Al-Majmu')

Ibnu Hazm mengatakan, "Tidak boleh menggunakan uang yang senilai (dengan zakat) sama sekali. Juga, tidak boleh mengeluarkan satu sha' campuran dari beberapa bahan makanan, sebagian gandum dan sebagian kurma. Tidak sah membayar dengan nilai mata uang sama sekali karena semua itu tidak diwajibkan (diajarkan) Rasūlullāh." (Al-Muhalla bi Al-Atsar, 3:860)

Asy-Syaukani berpendapat bahwa tidak boleh menggunakan mata uang kecuali jika tidak memungkinkan membayar zakat dengan bahan makanan." (As-Sailul Jarar, 2:86)

Di antara ulama abad ini yang mewajibkan membayar dengan bahan makanan adalah Syekh Ibnu Baz, Syekh Ibnu Al-Utsaimin, Syekh Abu Bakr Al-Jazairi, dan yang lain.

Mereka mengatakan bahwa zakat fitri tidak boleh dibayarkan dengan selain makanan dan tidak boleh menggantinya dengan mata uang, kecuali dalam keadaan darurat, karena tidak terdapat riwayat bahwa Nabi mengganti bahan makanan dengan mata uang.

Bahkan tidak dinukil dari seorang pun sahabat bahwa mereka membayar zakat fitri dengan mata uang. (Minhajul Muslim, hlm. 251)

Dalil-dalil masing-masing pihak

Dalil ulama yang membolehkan pembayaran zakat fitri dengan uang:

Dalil riwayat yang disampaikan adalah pendapat Umar bin Abdul Aziz dan Al-Hasan Al-Bashri. Sebagian ulama menegaskan bahwa mereka tidak memiliki dalil nash (Alquran, al-hadits, atau perkataan sahabat) dalam masalah ini.

Istihsan (menganggap lebih baik). Mereka menganggap mata uang itu lebih baik dan lebih bermanfaat untuk orang miskin daripada bahan makanan.

Dalil dan alasan ulama yang melarang pembayaran zakat dengan mata uang:

Pertama, riwayat-riwayat yang menegaskan bahwa zakat fitri harus dengan bahan makanan.

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu 'anhu; beliau mengatakan, "Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mewajibkan zakat fitri, berupa satu sha' kurma kering atau gandum kering …." (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)

"Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mewajibkan zakat fitri, … sebagai makanan bagi orang miskin .…" (H.r. Abu Daud; dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)

Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu 'anhu; beliau mengatakan, "Dahulu, kami menunaikan zakat fitri dengan satu sha' bahan makanan, satu sha' gandum, satu sha' kurma, satu sha' keju, atau satu sha' anggur kering." (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)

Abu Sa'id Al-Khudri radhiallahu 'anhu mengatakan, "Dahulu, di zaman Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam , kami menunaikan zakat fitri dengan satu sha' bahan makanan." Kemudian Abu Sa'id mengatakan, "Dan makanan kami dulu adalah gandum, anggur kering (zabib), keju (aqith), dan kurma." (H.r. Al-Bukhari, no. 1439)

Abu Hurairah radhiallahu 'anhu mengatakan, "Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menugaskanku untuk menjaga zakat Ramadan (zakat fitri). Kemudian datanglah seseorang mencuri makanan, lalu aku berhasil menangkapnya …."(H.r. Al-Bukhari, no. 2311).

Kedua, alasan para ulama yang melarang pembayaran zakat fitri dengan mata uang.

1. Zakat fitri adalah ibadah yang telah ditetapkan ketentuannya.

TERMASUK YANG TELAH DITETAPKAN DALAM MASALAH ZAKAT FITRI ADALAH JENIS, TAKARAN, WAKTU PELAKSANAAN, DAN TATA CARA PELAKSANAAN. SESEORANG TIDAK BOLEH MENGELUARKAN ZAKAT FITRI SELAIN JENIS YANG TELAH DITETAPKAN, SEBAGAIMANA TIDAK SAH MEMBAYAR ZAKAT DI LUAR WAKTU YANG DITETAPKAN.

Imam Al-Haramain Al-Juwaini Asy-Syafi'i mengatakan, "Bagi mazhab kami, sandaran yang dipahami bersama dalam masalah dalil, bahwa zakat termasuk bentuk ibadah kepada Allah. Pelaksanaan semua perkara yang merupakan bentuk ibadah itu mengikuti perintah Allāh."

Kemudian beliau membuat permisalan, "Andaikan ada orang yang mengatakan kepada utusannya (wakilnya), 'Beli pakaian!' sementara utusan ini tahu bahwa tujuan majikannya adalah berdagang, kemudian utusan ini melihat ada barang yang lebih manfaat bagi majikannya (daripada pakaian), maka sang utusan ini tidak berhak menyelisihi perintah majikannya.

Meskipun dia melihat hal itu lebih bermanfaat daripada perintah majikannya . (Jika dalam masalah semacam ini saja wajib ditunaikan sebagaimana amanah yang diberikan, pent.) maka perkara yang Allāh wajibkan melalui perintah-Nya tentu lebih layak untuk diikuti."

Harta yang ada di tangan kita semuanya adalah harta Allāh. Posisi manusia hanyalah sebagaimana wakil.

Sementara, wakil tidak berhak untuk bertindak di luar batasan yang diperintahkan. Jika Allāh memerintahkan kita untuk memberikan makanan kepada fakir miskin, namun kita selaku wakil justru memberikan selain makanan, maka sikap ini termasuk bentuk pelanggaran yang layak untuk mendapatkan hukuman.

Dalam masalah ibadah, termasuk zakat, selayaknya kita kembalikan sepenuhnya kepada aturan Allāh. Jangan sekali-kali melibatkan campur tangan akal dalam masalah ibadah karena kewajiban kita adalah taat sepenuhnya.

Oleh karena itu, membayar zakat fitri dengan uang berarti menyelisihi ajaran Allāh dan Rasul-Nya. Sebagaimana telah diketahui bersama, ibadah yang ditunaikan tanpa sesuai dengan tuntunan Allāh dan Rasul-Nya adalah ibadah yang tertolak.

2. Di zaman Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam  dan para sahabat radhiallahu 'anhum sudah ada mata uang dinar dan dirham.

Akan tetapi, yang Nabi praktikkan bersama para sahabat adalah pembayaran zakat fitri menggunakan bahan makanan, bukan menggunakan dinar atau dirham. Padahal beliau adalah orang yang paling memahami kebutuhan umatnya dan yang paling mengasihi fakir miskin. Bahkan, beliaulah paling berbelas kasih kepada seluruh umatnya.

Allāh berfirman tentang beliau, yang artinya, "Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat berbelas kasi lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin."

(Q.s. At-Taubah:128)

SIAPAKAH YANG LEBIH MEMAHAMI CARA UNTUK MEWUJUDKAN BELAS KASIHAN MELEBIHI NABI SHALLALLĀHU 'ALAYHI WA SALLAM?

Disusun oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).

Sumber Artikel :
https://konsultasisyariah.com/7001-zakat-fitrah-dengan-uang.html

Minggu, 26 Juni 2016

KEUTAMAAN LAYLATUL QODR ?…

SIAPAKAH YANG MENDAPATKAN KEUTAMAAN LAYLATUL QODR ?…

Ustadz Abu Riyadl, حفظه الله تعالى

Kapan lailatul qodar?
Di 10 hari terakhir pada bulan ramadhan..

Seringnya terjadi di malam ganjil. Walaupun tidak menutup kemungkinan di malam genap.

Berapa lama rentang waktunya?
lailatul qadar terjadi sepanjang malam, sejak maghrib hingga subuh.
Allah ta'ala berfirman

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ . تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ . سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

"Lailatul qadar itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) Kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS. Al-Qadr: 3 – 5)

Karena lailatul qadar berada pada rentang dari maghrib sampai subuh, maka peristiwa apapun yang terjadi sepanjang rentang itu berarti terjadi pada lailatul qadar.

Sehingga :

1. Orang yang shalat maghrib di malam itu berarti dia shalat maghrib ketika lailatul qadar

2. Orang yang shalat isya di malam itu berarti dia shalat isya ketika lailatul qadar

3. Orang yang shalat tarawih di malam itu berarti dia shalat tarawih ketika lailatul qadar

4. Orang yang sholat sunnah apa saja dimalam itu berarti ia sholat sunnah dimalam lailatulqodar

5. Orang yang membaca Alqur'an dimalam itu maka ia berarti membaca Alqur'an dimalam lailatulqodar.

6. Orang yang sedekah atau wakaf di malam itu berarti dia sedekah atau wakaf ketika lailatul qadar

7. Dll

Sungguh Menakjubkan begitu besar kasih sayang Allah kepada kaum muslimin…

Beramal sekali tapi pahalanya SERIBU (1000) bulan setara dengan 83 tahun lebih

Berapa tahun umur anda ? Apa jika diberi umur 83th pasti bisa beramal selama rentang waktu sepanjang itu?

Rahmat Allah disini bukanlah hanya omong kosong belaka namun ini langsung Allah firmankan dalam Alqur'an surat Al Qodar..

Berfikirlah kawan.. apa saja yang akan engkau siapkan untuk 10 hari terakhir itu.

Kamis, 23 Juni 2016

💎 Mulia Dengan Sunnah 💎:
📮 B. *SYARAT WAJIBNYA ZAKAT UANG*

Setiap mata uang (uang kertas) yang berlaku di negara mana pun, baik berupa rupiah, riyal, dolar, yen, ringgit atau selainnya –baik disimpan maupun tidak– wajib dikeluarkan zakatnya jika telah memenuhi dua syarat sebagaimana zakat emas dan perak. Dua syarat tersebut ialah :

➡Pertama : Telah mencapai nishâb, yaitu senilai nishâb emas (20 dinar/85 gram emas murni), atau senilai nishâb perak (200 dirham/595 gram perak murni).

➡Kedua : Harta senishâb (atau lebih) itu telah berputar selama satu tahun hijriyah sejak dimiliki. Sedangkan kadar zakatnya adalah sebesar 2,5 % (dua setengah persen).

💶 Kewajiban zakat atas uang kertas itu diqiyaskan dengan kewajiban zakat pada emas dan perak. Karena ada kesamaan 'illat (sebab hukum) pada keduanya (uang kertas dengan emas-perak). Illat (sebab hukum) nya adalah sifat sebagai mata uang (an-naqdiyah) dan sebagai harga (ats-tsamaniyyah). 'Illat ini adalah 'illat yang disimpulkan ('illat istinbath) dari berbagai hadits yang mengisyaratkan adanya sifat sebagai mata uang (an-naqdiyah) dan sebagai harga (ats-tsamaniyyah), yang menjadi landasan kewajiban zakat pada emas dan perak. Di antaranya hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

فَهَاتُوا صَدَقَةَ الرِّقَةِ مِنْ كُلِّ أَرْبَعِينَ دِرْهَمًا دِرْهَمٌ

Maka datangkanlah (bayarlah) zakat riqqah (perak yang dicetak sebagai mata uang), yaitu dari setiap 40 dirham (zakatnya) 1 dirham. [HR. Abu Daud I/494 no.1574, At-Tirmidzi III/16 no.620, dan Ahmad I/92 no.711, dari Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhuma].

Penyebutan kata "riqqah" (perak yang dicetak sebagai mata uang) dalam hadits di atas –dan bukan dengan kata fidhdhah (perak)— menunjukkan adanya sifat sebagai mata uang (an-naqdiyah) dan sebagai harga (ats-tsamaniyyah). Dan sifat ini tak hanya terwujud pada perak atau emas yang dijadikan mata uang, tapi juga pada uang kertas yang berlaku sekarang, meski ia tidak ditopang dengan emas atau perak. Maka uang kertas sekarang wajib dizakati, sebagaimana wajibnya zakat pada emas dan perak.

*Oleh karena itu, siapa saja yang mempunyai uang yang telah memenuhi dua syarat di atas, yaitu mencapai nishâb dan telah berputar selama satu tahun hijriyah, maka wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5 % (dua setengah persen) dari total uang yang dimiliki.*

📮 C. *STANDAR NISHAB ZAKAT UANG KERTAS*

Berkenaan dengan nishâb zakat uang, mungkin ada yang bertanya pula, manakah standar yang dipakai, nishâb emas (20 Dinar/85 gram emas murni), ataukah nishâb perak (200 dirham/595 gram perak murni), jika fakta uang kertas yang ada tidak dijamin oleh emas dan perak seperti halnya di Indonesia maupun di kebanyakan negara lain ?

🔖 Sebagian Ulama di zaman sekarang berpendapat bahwa yang jadi patokan dalam zakat mata uang (uang kertas) adalah nishâb perak. Karena inilah yang bisa menggabungkan antara nishâb emas dan perak. Demikian juga, dengan menggunakan nishâb perak akan lebih bermanfaat bagi orang-orang fakir miskin.

🔖Ada pula diantara para Ulama yang berpendapat bahwa yang dijadikan patokan dalam zakat mata uang (uang kertas) adalah nishâb emas.

*Di antara alasan mereka adalah sebagai berikut* :

➡1. Nilai perak telah berubah setelah zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan zaman-zaman sesudahnya. Hal ini berbeda dengan emas yang nilainya terhitung stabil.

➡2. Jika disetarakan dengan nishâb emas, maka itu akan setara atau mendekati nishâb zakat lainnya seperti nishâb pada binatang ternak (onta, sapid an kambing, pent). Nishâb zakat onta adalah 5 ekor, nishâb pada zakat kambing adalah 40 ekor, dan yang semisalnya. [Lihat Shahîh Fiqhis Sunnah II/22].

🔰 Dari dua pendapat di atas, *kami (penulis) lebih cenderung dan memilih pendapat kedua yang menggunakan standar nishâb emas untuk zakat mata uang (uang kertas)* karena alasannya yang begitu kuat. Demikian pula karena mengingat meningkatnya standar biaya hidup dan melonjaknya berbagai kebutuhan. [Lihat al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu karya Wahbah Az-Zuhaili, II/773].

CARA MENGHITUNG DAN MENGELUARKAN ZAKAT UANG

Setelah kita ketahui dan tetapkan bahwa standar nishâb zakat uang adalah nishâb emas, yaitu 20 dinar atau 85 gram emas. Maka cara untuk menghitung dan mengeluarkan zakat uang adalah sebagaimana berikut ini :

🔵 Sebagai contoh permasalahan : Bila sekarang (Oktober 2011) harga emas murni Rp.550.000,-/gram. Maka cara mengetahui nishâb dan kadar zakat mata uang (uang kertas) adalah sebagai berikut:

✅ Nishâb Mata Uang = 85 gram x Rp.550.000,-/gram = Rp.46.750.000,-

💶 Kalau misalkan seseorang punya uang tabungan sebesar Rp. 50.000.000, (Lima Puluh Juta Rupiah), berarti uang yang dimilikinya sudah melebihi nishâb (Rp.46.750.000,-). Kalau uang yang telah mencapai nishâb ini sudah dimilikinya selama satu tahun hijriyah, maka zakatnya yang wajib dikeluarkan adalah = 2,5 % x Rp. 50 juta = Rp. 1.250.000 (Satu Juta Dua Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah).

BOLEHKAH MENGELUARKAN ZAKAT SEBELUM TIBA WAKTUNYA?

Menurut mayoritas Ulama diperbolehkan mengeluarkan kewajiban zakat sebelum tiba waktunya karena termasuk menyegerakan kebaikan. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, ia berkata :

أَنَّ الْعَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْـمُطَّلِبِ سَأَلَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فِيْ تَعْجِيْلِ صَدَقَتِهِ قَبْلَ أَنْ تَحِلَّ، فَرَخَّصَ لَهُ فِيْ ذَلِكَ

Bahwasanya al-'Abbas bin Abdul Muththalib bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang maksudnya untuk menyegerakan pengeluaran zakatnya sebelum waktunya tiba. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi kelonggaran kepadanya untuk melakukan hal itu. [HR. Ahmad I/104 no.822, Abu Dawud I/510 no.1624, At-Tirmidzi III/63 no.678, Ibnu Majah I/572 no.1795, dan yang lainnya. Syaikh al-Albâni menilai hadits ini hasan dalam Irwâ' al-Ghalîl (no. 857) dengan syawahid (riwayat-riwayat penguat) yang ada]

📃 Demikian penjelasan singkat tentang panduan praktis zakat uang kertas serta tata cara menghitung dan mengeluarkannya. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi penulis dan pembacanya, amiin. Wallahu Ta'ala A'lam Bish-Showab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XV/1433H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Sumber: https://almanhaj.or.id/3685-panduan-praktis-zakat-uang-kertas.html

CARA MENGHITUNG DAN MENGELUARKAN ZAKAT UANG*

Mulia Dengan Sunnah

Oleh : Ustadz Muhammad  Wasitho Abu Fawas Lc.MA.

Setelah kita ketahui dan tetapkan bahwa standar nishâb zakat uang adalah nishâb emas, yaitu 20 dinar atau 85 gram emas. Maka cara untuk menghitung dan mengeluarkan zakat uang adalah sebagaimana berikut ini :

Sebagai contoh permasalahan : Bila sekarang (Oktober 2011) harga emas murni Rp.550.000,-/gram. Maka cara mengetahui nishâb dan kadar zakat mata uang (uang kertas) adalah sebagai berikut:

✅ Nishâb Mata Uang = 85 gram x Rp.550.000,-/gram = Rp.46.750.000,-

💶 Kalau misalkan seseorang punya uang tabungan sebesar Rp. 50.000.000, (Lima Puluh Juta Rupiah), berarti uang yang dimilikinya sudah melebihi nishâb (Rp.46.750.000,-). Kalau uang yang telah mencapai nishâb ini sudah dimilikinya selama satu tahun hijriyah, maka zakatnya yang wajib dikeluarkan adalah = 2,5 % x Rp. 50 juta = Rp. 1.250.000 (Satu Juta Dua Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah).

E. BOLEHKAH MENGELUARKAN ZAKAT SEBELUM TIBA WAKTUNYA?

Menurut mayoritas Ulama diperbolehkan mengeluarkan kewajiban zakat sebelum tiba waktunya karena termasuk menyegerakan kebaikan. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, ia berkata :

أَنَّ الْعَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْـمُطَّلِبِ سَأَلَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فِيْ تَعْجِيْلِ صَدَقَتِهِ قَبْلَ أَنْ تَحِلَّ، فَرَخَّصَ لَهُ فِيْ ذَلِكَ

Bahwasanya al-'Abbas bin Abdul Muththalib bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang maksudnya untuk menyegerakan pengeluaran zakatnya sebelum waktunya tiba. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi kelonggaran kepadanya untuk melakukan hal itu. [HR. Ahmad I/104 no.822, Abu Dawud I/510 no.1624, At-Tirmidzi III/63 no.678, Ibnu Majah I/572 no.1795, dan yang lainnya. Syaikh al-Albâni menilai hadits ini hasan dalam Irwâ' al-Ghalîl (no. 857) dengan syawahid (riwayat-riwayat penguat) yang ada]

📃 Demikian penjelasan singkat tentang panduan praktis zakat uang kertas serta tata cara menghitung dan mengeluarkannya. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi penulis dan pembacanya, amiin. Wallahu Ta'ala A'lam Bish-Showab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XV/1433H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Sumber: https://almanhaj.or.id/3685-panduan-praktis-zakat-uang-kertas.html

PANDUAN PRAKTIS ZAKAT UANG KERTAS

Mulia Dengan Sunnah

Oleh
Ustadz Muhammad Wasitho Abu Fawaz Lc, MA

Dalam kitab-kitab fiqih klasik disebutkan bahwa zakat dikenakan pada emas dan perak dalam fungsinya sebagai alat tukar. Dan saat ini hampir tidak ada satu negara pun yang menggunakan emas dan perak sebagai alat tukar. Kini fungsi emas dan perak sebagai alat tukar telah digantikan dengan uang kertas yang secara intrinsik tidak bernilai.

A. ADAKAH KEWAJIBAN ZAKAT PADA UANG KERTAS?

Barangkali ada di antara kaum Muslimin yang bertanya-tanya, apakah uang kertas bisa diperlakukan sama dengan emas dan perak dengan pertimbangan uang tersebut dapat digunakan dan diakui sebagai alat tukar, sehingga ada padanya kewajiban zakat; Atau justru sebaliknya, uang tersebut tidak bisa diperlakukan sama dengan emas dan perak dengan memandang nilai intrinsiknya, sehingga dengan demikian tidak ada kewajiban zakat padanya ?

Dalam masalah ini para Ulama telah membicarakannya dan terjadi perbedaan pendapat di antara mereka menjadi dua pendapat :

➡Pertama : Tidak ada kewajiban zakat pada uang yang dimiliki oleh seseorang kecuali jika diniatkan untuk modal usaha dagang. Jika diperuntukkan sebagai uang nafkah atau disiapkan untuk pernikahan, atau yang semisalnya maka tidak ada zakatnya.

➡Kedua : Ada kewajiban zakat pada setiap mata uang (uang kertas) yang dimiliki atau dikumpulkan oleh seseorang dari hasil keuntungan usaha dagang atau hasil sewa rumah atau hasil gaji atau yang semisalnya, dengan syarat uang itu telah mencapai nishâb dan berputar selama satu tahun hijriyah. Kewajiban zakat ini tanpa membedakan, apakah uang yang dikumpulkan itu diniatkan untuk modal usaha dagang atau untuk nafkah atau untuk pernikahan, atau tujuan lainnya.

Diantara dalil-dalil pendapat kedua ini adalah keumuman firman Allâh Azza wa Jalla :

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ

Hendaklah engkau (wahai Muhammad) mengambil zakat dari harta-harta mereka yang dengannya engkau membersihkan mereka dari dosa dan memperbaiki keadaan mereka, serta bershalawatlah untuk mereka. [at-Taubah/9:103]

Demikian pula berdasarkan keumuman sabda Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Mu'adz bin Jabal z saat beliau mengutusnya ke negeri Yaman :

أَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِيْ أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

Ajarkan kepada mereka bahwasanya Allâh telah mewajibkan atas mereka zakat pada harta-harta yang mereka miliki yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dibagikan kepada orang-orang fakir mereka." [HR. Bukhâri II/544 no. 1425, IV/1580 no.4090, dan Muslim I/50 no. 31, dari Ibnu 'Abbâs Radhiyallahu anhuma]

Dan uang termasuk harta benda yang secara umum terkena kewajiban zakat, karena uang dengan berbagai jenisnya yang beredar pada saat ini dan berlaku secara umum pada muamalah kaum Muslimin, telah menggantikan posisi emas (dinar) dan perak (dirham) yang dipungut zakatnya pada masa Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam . Uang sebagai pengganti emas (dinar) dan perak (dirham) menjadi tolok ukur dalam menilai harga suatu barang sebagaimana halnya dinar dan dirham pada masa itu.

🔰*TARJIH* : Setelah memaparkan dua pendapat Ulama di atas, maka râjih (benar dan kuat) bagi kami adalah pendapat kedua berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan. Yaitu adanya kewajiban zakat pada mata uang apapun yang masih berlaku di Negara mana pun. Pendapat ini yang difatwakan oleh Komite Tetap untuk Urusan fatwa dan Pembahasan Ilmiyyah, KSA yang diketuai oleh Syaikh Abdul 'Aziz bin Baz dalam Fatawa al-Lajnah ad-Daimah (IX/254, 257), Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti' (VI/98-99, 101), dan selainnya.

Rabu, 15 Juni 2016

Ramadhan Bulan Untuk Melatih Kesabaran (Bagian 1)

MELATIH KESABARAN
Ustadz Firanda Andirja, MA

السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Alhamdulillāh, segala puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allāh Subhānahu wa Ta'āla, shalawat dan salam senantiasa semoga tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad Shallallāhu 'alayhi wa sallam.
 
Bulan suci Ramadhān merupakan bulan yang penuh dengan kemuliaan. Bulan yang mengajarkan kita banyak nilai-nilai ibadah. Diantaranya mengajarkan kita untuk bersabar.

Seorang yang berpuasa, dia harus menyabarkan dirinya untuk meninggalkan perkara-perkara yang dia syahwatkan. Dia harus meninggalkan minuman, makanan, bahkan berhubungan dengan istrinya harus dia tinggalkan, semuanya demi Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Latihan ini melatih seorang muslim untuk bersabar tatkala menghadapi hal-hal yang mungkin tidak disukai oleh syahwatnya, atau tidak disukai oleh nafsunya.

Oleh karenanya, jikalau kita ditimpa dengan musibah-musibah yang tidak kita sukai hendaknya kita bersabar.

Dan kita yakin bahwasanya segalanya telah ditakdirkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Bukankah diantara rukun imān yang enam yaitu berimān kepada taqdir, baik taqdir yang baik maupun taqdir yang buruk.

Tatkala seseorang ditimpa dengan musibah, maka hendaknya dia ingat bahwasanya seluruhnya telah ditakdirkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Dan tatkala Allāh menakdirkan musibah baginya, tentunya ada hikmah yang sangat mulia dibalik musibah tersebut.

Allāh Subhānahu wa Ta'āla telah menjanjikan untuk menguji kaum yang beriman, kata Allāh Subhānahu wa Ta'āla :

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

"Dan sungguh Kami akan menguji kalian (orang-orang yang berimān) dengan sedikit ketakutan, dan rasa lapar, dan kekurangan (kekurangan harta, maupun kekurangan jiwa, maupun kekurangan hasil tumbuh-tumbuhan) kemudian kata Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar."

(QS Al Baqarah :155)

Allāh tidak menguji kita dengan ujian yang terlalu berat yang tidak mampu kita hadapi, tapi Allāh Subhānahu wa Ta'āla tidaklah menguji hambanya kecuali yang mampu untuk dipikul oleh sang hamba.

Ikhwān dan Akhwāt yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Tatkala kita ditimpa dengan ujian, tatkala kita ditimpa dengan musibah, maka mari kita ingatlah sosok suri tauladan kita Nabi Muhammad Shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Beliau telah diuji oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla dengan banyak ujian. Ditimpa dengan berbagai macam musibah :

√ Rasa lapar
√ Rasa takut
√ Kekurangan harta
√ Kekurangan jiwa
√ Hilangnya kekasih-kekasih yang beliau cintai

Semuanya pernah dialami oleh Rasūl kita Shallallāhu 'alayhi wa sallam.

⇛Adapun rasa takut, sesungguhnya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah hendak dibunuh, atau hendak ingin dibunuh oleh orang-orang kāfir Quraishy.

Orang-orang Kafir Quraishy mereka mengumpulkan seluruh para pemuda dari berbagai macam kabilah.

Sekitar 50 orang pemuda dari berbagai macam kabilah, dari berbagai macam suku, ingin membunuh Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam secara serentak. Mereka bermaksud mengumpulkan kabilah yang banyak ini, agar jika Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam terbunuh, maka darahnya tersebar di kabilah-kabilah ini. Sehingga kabilah Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam sallam, suku Nabi, tidak bisa menuntut balas dendam.

Akhirnya terkumpulkanlah 50 orang pemuda, yang setiap pemuda tersebut menghunuskan pedang siap untuk menumpahkan darah Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam. Maka datanglah mereka beramai-ramai mengepung rumah Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Ini adalah perkara yang sangat menakutkan, 50 orang pemuda dengan pedang yang terhunus, dan ingin mengeroyok Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam , dan ingin serentak membunuh Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Akan tetapi Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam, menghadapi tantangan tersebut dengan tenang. Sehingga akhirnya Allāh Subhānahu wa Ta'āla menolong Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

(Tafsir Ibnu Katsir, Al Anfal ayat 30)

⇛Rasa takut yang lain yang pernah ditimpa oleh Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam dan shahābatnya, Abū Bakar Radhiyallāhu Ta'āla 'anhu
tatkala Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam dan Abū Bakar ingin pula dibunuh oleh orang-orang kāfir Quraishy.

Bahkan orang-orang kāfir Quraishy memberikan tawaran hadiah yang besar bagi siapa saja yang bisa membunuh Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam atau Abū Bakar Radhiyallāhu Ta'āla 'anhu

Maka Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam dan Abū Bakar harus keluar dari kota Mekkah, berhijrah menuju kota Madīnah.

Dan orang-orang Kāfir Quraishy terus berlomba-lomba untuk bisa membunuh Nabi dan Abū Bakar Radhiyallāhu Ta'āla 'anhu.

Akhirnya, Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam dan Abū Bakar harus sembunyi di sebuah gua, yang dikenal dengan gua Tsur, di jabal Tsur.

Tatkala itu pasukan orang-orang kāfir Quraishy sudah tiba di mulut gua, di jabal Tsur, di gunung Tsur. Maka tatkala itu Abū Bakar Radhiyallāhu Ta'āla 'anhu pun takut, karena orang-orang Quraishy sudah berada di mulut gua.

Apa kata Abu Bakar Radhiyallāhu Ta'āla 'anhu ? "Kalau saja salah seorang diantara mereka melihat kearah kaki mereka maka mereka akan melihat kita".

(HR Bukhari nomor 3380, versi Fathul Bari nomor 3653 dan Muslim nomor 4389, versi Syarh Muslim nomor 2381)

Rasa takut yang meliputi hati Abū Bakar Radhiyallāhu Ta'āla 'anhu, akan tetapi Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menghadapi semuanya dengan tenang, dengan berkata:

"Wahai Abū Bakar, bagaimana menurutmu dengan dua orang yang Allāh adalah ketiganya? Tentunya Allāh akan menolong mereka," kata Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam.

لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا

"Jangan engkau sedih, sesungguhnya Allāh bersama kita."

Lihatlah, inilah rasa takut yang pernah dialami oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam juga pernah diuji dengan rasa lapar. Suatu saat  Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam keluar rumahnya karena lapar, mencari makanan, tiba-tiba Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bertemu dengan Abū Bakar, ternyata Abū Bakar juga keluar karena mencari makan. Tiba-tiba Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam juga bertemu dengan Umar bin Khaththab, ternyata ketiga-tiganya keluar karena kelaparan.

Inilah yang pernah dialami oleh Nabi kita Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Oleh karenanya, 'Āisyah Radhiyallāhu Ta'āla 'anhā pernah mengatakan:

Aisyah radhiallahu 'anhaa:

إِنْ كُنَّا لَنَنْظُرُ إِلَى الْهِلَالِ ثُمَّ الْهِلَالِ ثَلَاثَةَ أَهِلَّةٍ فِي شَهْرَيْنِ وَمَا أُوقِدَتْ فِي أَبْيَاتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَارٌ فَقُلْتُ يَا خَالَةُ مَا كَانَ يُعِيشُكُمْ قَالَتْ الْأَسْوَدَانِ التَّمْرُ وَالْمَاءُ

"Kami melihat hilal, kami melihat hilal, kami melihat hilal, tiga hilal dalam dua bulan, dan tidak ada suatu pun yang dimasak, tidak ada api yang dinyalakan dirumah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam. Rasūlullāh hanya makan butiran kurma dan minum air putih."

(Hadīts Riwayat Bukhāri no 2567 dan Muslim no 2972)

Bagaimana rasa lapar yang dialami oleh Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam ?

Suatu saat, tatkala Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam dalam perang Khandaq, Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam menggali parit bersama para shahābat. Parit yang sulit untuk digali. Kita tahu bagaimana tanah kota Madīnah yang begitu keras.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam harus menggali parit Khandaq yang jaraknya empat meter dan dalamnya empat meter dengan jarak yang jauh sekali dengan panjang sangat jauh.

Tatkala itu para shahābat kelaparan, tidak ada makanan. Maka para shahābat pun mengikatkan sebutir batu di perut-perut mereka untuk menahan rasa lapar yang mereka rasakan.

Merekapun mengadu kepada Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam tentang rasa lapar yang mereka dapati. Kemudian Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam membuka perutnya, ternyata Nabi kita Shallallāhu 'alayhi wa sallam juga sedang mengikat perutnya dengan batu, bahkan dua butir batu. Dia ikatkan diperutnya dalam rangka untuk menahan rasa lapar.

Oleh karenanya, Abdurrahmān bin Auf Radhiyallāhu Ta'āla 'anhu pernah menangis tatkala dihidangkan sebuah roti, sebuah roti yang terbuat dari gandum.

Maka diapun menangis. Orang-orang disekeliling Abdurrahmān bin Auf Radhiyallāhu Ta'āla 'anhu berkata:

و ما يبكيك

"Apa yang membuat engkau menangis wahai Abdurrahmān?"

مَا شَبِعَ آلُ مُحَمَّدٍ مِنْ خُبْزِ الشَّعِيْرِ يَوْمَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ حَتَّى قُبِضَ رَسُوْلُ اللهِ ص البخارى و مسلم

"Sesungguhnya Muhammad Shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak pernah kenyang karena makan roti ini, demikian juga keluarga Muhammad tidak pernah kenyang karena roti ini."

(Hadīts Riwayat Bukhāri dan Muslim, Fathul Bari juz 7, halaman 397)

Inilah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam yang pernah diuji dengan rasa lapar.

Adapun mengenai kesedihan, tentang hilangnya kekasih yang dicintainya, sanak keluarganya, maka sering dialami oleh Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam.

⇛Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam diuji sejak kecil. Telah diuji oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla lahir dalam keadaan tidak berayah. Sungguh perkara yang sangat menyedihkan, tidak memiliki ayah.

⇛Kemudian ibunya meninggal tatkala Beliau berumur enam tahun. Tatkala beliau pulang dari bersafar bersama ibunya dari kota Mekkah ke kota Madīnah , tatkala di suatu tempat yang namanya Abwa', maka sang ibupun (Aminah) kemudian sakit parah, dan sang anak yang masih kecil Muhammad Shallallāhu 'alayhi wa sallam, melihat bagaimana sakitnya sang Ibu, melihat bagaimana ibunya yang sekarat, dan menghadapi sakaratul maut, seluruhnya dilihat oleh dua mata Muhammad Shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Bagaimana kita bisa bayangkan kesedihan seorang anak kecil, melihat ibunya meninggal di hadapan matanya.

___________________________

🌐 www.CintaSedekah.Org
👥 Fb.com/GerakanCintaSedekah
📺 youtu.be/P8zYPGrLy5Q
Download Audio: bit.ly/BiAS-Tmk-Ramadhan1437-UFA-02
📺 Video Source: https://yufid.tv/1754-ramadhan-bulan-untuk-melatih-kesabaran.html

Senin, 13 Juni 2016

Nasehat Buat yang Masih Ragu hatinya untuk Tidak ISBAL

HADIST 1:
Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Ada tiga orang yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat nanti, tidak dipandang, dan tidak disucikan serta bagi mereka siksaan yang pedih."Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebut tiga kali perkataan ini. Lalu Abu Dzar berkata,"Mereka sangat celaka dan merugi. Siapa mereka, Ya Rasulullah?"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Mereka adalah Orang Yang ISBAL, orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu." (HR. Muslim no. 306).
(Isbal adalah Celana atau kain yang dibawah mata kaki)

HADIST 2:
Dari Abu Huroiroh radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Kain yang berada di bawah mata kaki itu berada di neraka." (HR. Bukhari no. 5787)
HADIST 3:
"Pakaian seorang muslim adalah hingga setengah betis. Tidaklah mengapa jika diturunkan antara setengah betis dan dua mata kaki. Jika pakaian tersebut berada di bawah mata kaki maka tempatnya di neraka. Dan apabila pakaian itu diseret dalam keadaan sombong, Allah tidak akan melihat kepadanya (pada hari kiamat nanti)." (HR. Abu Daud no. 4095)
HADIST 4:
"Pada hari Kiamat nanti Allah tidak akan memandang orang yang menyeret kainnya karena sombong" (HR. Bukhari 5788)
SEBELUM KITA LANJUT KE HADIST BERIKUTNYA, KITA STOP DULU DISINI, KARENA Hadist Nomor 3 dan 4 diatas ada kata-kata SOMBONG. Sehingga ada yang beralasan " SAYA KAN TIDAK SOMBONG ?..., jadi ngak apa-apa kalau Isbal, Saya nggak sombong kok"
Baiklah jika anda berdalih anda bukan orang sombong, maka perhatikan Hadist berikut dibawah ini :
HADIST 5:
WASPADALAH KALIAN DARI ISBAL (pakaian dibawah mata kaki). KARENA HAL ITU (ISBAL) TERMASUK KESOMBONGAN, DAN ALLAH TIDAK MENYUKAI KESOMBONGAN (HR.Abu Daud no.4084)
Semoga Bisa DiFahami, bahwasanya ISBAL itu sendiri Termasuk Sebagai KESOMBONGAN, Bagaimana bisa anda Ngaku-ngaku " Saya kan Tidak Sombong ?...". Maka Takutlah akan Firman Allah tentang ayat yang menjelaskan JANGAN KALIAN MENSUCIKAN DIRI KALIAN SENDIRI !!. ALLah Azzawajalla berfirman :
" Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa " (Alquran. An najm:32).
Masih Berani mengatakan " Saya gak Sombong" ?..
Lalu ada sebagian orang yang berdalih dengan hadist tentang Abu Bakar Assiddik rhadiallahuanhu, yang pernah melorot kainnya dibawah mata kaki ketika sholat, berikut ini hadist nya
HADIST 6 :
Dari 'Abdullah bin 'Umar radhiyallahu 'anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang menjulurkan pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan melihat dirinya pada hari kiamat." Lantas Abu Bakr berkata, "Sungguh salah satu ujung celanaku biasa melorot akan tetapi aku selalu memperhatikannya." "Engkau bukan melakukannya karena sombong (HR. Bukhari no. 3655)
Dari hadist diatas tentang Pakaian Abu Bakar Assiddik Rhadiallahu'anhu yang biasanya terkadang melorot pakaiannya hingga melampaui mata kaki. Dalam Kasus ini maka tidaklah Abu Bakar Assiddik Rhadiallahu'anhu melakukannya dengan maksud SENGAJA DILOROTKAN (sengaja dipanjangkan sampai menutup mata kaki), Tapi hal itu terjadi karena Faktor KETIDAK SENGAJAAN, sebagian ulama mengatakan bahwa karena Abu bakar Assiddik Rhadiallahu'anhu bertubuh kurus, jadi terkadang pakaiannya sering melorot. Kemudian begitu pakaiannya melorot, maka dengan segera di tariknya (diperbaiki lagi) agar Tidak menutup mata kakinya, maka Nabi mengatakan : " Yang Demikian itu Tidak termasuk Sombong ".
Pertanyaan untuk anda yang mencari alasan dengan hadist Abu bakar diatas :
1. Apakah Celana/Sarung anda yang menutup mata kaki melorot karena Tidak Sengaja atau Memang Sengaja anda Lorotkan ?
2. Apakah ketika memang tidak sengaja melorot maka apakah anda segera memperbaikinya dengan menariknya kembali keatas ?..sehingga tidak menutup mata kaki ?
3.Apakah Level keimanan anda sudah setara dengan Abu Bakar Assiddik Rhadiallahu'anhu ?
Silakan di introspeksi sendiri dan dijawab sendiri dengan jujur.
HADIST 7 :
Rasulullah Shallallahu'alaihiwassallam pernah memegang tumitnya Hudzaifah, dan bersabda :
.........tidak ada hak bagi sarung (pakaian) dikedua mata kaki (HR At-Thirmidzi III/247 n0.1783, Ibnu Majah. No.3572).
Pada peristiwa ini, Rasulullah Shallallahu'ala
ihiwassallam, tidak berkata : " Kamu sombong atau tidak ?..., kalau gak sombong gak apa-apa deh.."
Sebenarnya masih sangat banyak sekali Hadist tentang Larangan ISBAL, berpuluh-puluh Hadist. Tidak mungkin semuanya dimuat disini. Herannya, masih banyak orang yang meremehkan ISBAL.
Sebagai penutup, sering2lah mengingat hadis berikut ini :
Dari ibnu umar, bahwasanya Rasulullah Shallallahu'ala
ihiwassallam bersabda: " takkala seorang laki-laki sedang meng-isbalkan pakaiannya, tiba-tiba bumi terbelah bersamanya, Maka dia pun berguncang-gunc
ang (meronta-ronta) tenggelam didalam bumi hingga hari kiamat " (HR.Bukhari no.5790)
Ya akhi..ISBAL MENGERIKAN, didalam Hadist dikatakan " termasuk Kesombongan"..bukankah Allah Azzawajalla mengatakan Tidak akan Mencium bau Surga bagi yang ada Sombong didalam Hatinya ?....
Ya Akhi...ISBAL MENGERIKAN.., dihari Kiamat Tidak diajak Bicara oleh Allah, Tidak Dilihat dan tIDAK Dipandang, alias di Cuekin dan diacuhkan. Lalu Dia Tidak Disucikan, lalu diberi siksaan yang sangat pedih, lalu dilemparkan kedalam neraka Jahannam
ITTAQULLAH (Takut Lah kepada ALLAH..), Iman kita tidak senilai mata kaki.., Potong Celana Yuk.., tetap keren kok...
Wallahu'alam

Semua Kelompok Mengaku, Mereka di Atas Al Qur'an Dan As Sunnah

Mulia Dengan Suunah.

Salman ibnu syamsuddin:
بسم اللّٰه الرحمن الرحيم

▪Telah diketahui di zaman kita ini Semua kelompok, semua Aliran, semua sekte, semua mengaku bahwa mereka mengikuti Al Qur'an dan As Sunnah, bahkan sesesat sesatnya kelompok pun mereka mengaku mengikuti Al Qur'an dan As Sunnah.

▪Ya memang benar, kita katakan bahwa sumber Agama Islam Ini adalah Al Qur'an Dan As Sunnah. dan semua Kaum Muslimin sepakat diatasnya, kalau ada yang hanya mengambil salah satu nya saja mereka pasti menyimpang dan tersesat.

▪Tetapi tidak cukup sampai disini saja, sebagai mana yang telah kita sebutkan tadi bahwa sesesat sesatnya kelompok atau aliran atau sekte mereka juga mengikuti Dua Sumber ini yaitu Al Qur'an Dan As Sunnah, dan ketika ditanyakan kepada mereka dengan pemahaman siapa kalian memahami kedua nya❓ Mereka bingung untuk menjawabnya, dan akhirnya mereka mengatakan dengan Tegas❗️ Pokoknya kami Al Qur'an dan As Sunnah,

👉❗Ya kita jawab, tetapi pemahaman siapa❓

▪Ujung ujungnya kita katakan kalian itu mengikuti Al Qur'an Dan Sunnah dengan pemahaman KALIAN masing masing.

❗Al Qur'an dan Sunnah di pahami kelompok masing masing,
❗10 kelompok 10 pemahaman,
❗10 partai 10 pemahaman,
❗10 aliran 10 pemahaman,
❗Pemahaman siapa yang kita ambil❓.

▪Maka yang wajib Bagi kita adalah mengikuti pemahaman Para Sahabat Nabi Sholallohu 'alaihi Wasallam, yaitu orang orang yang sudah di jamin masuk surga Oleh Allah Ta'ala. Sedangkan kita tidak ada yang di jamin masuk surga, tidak ada Nash dan Dalil, ada juga para Shahabat yang di jamin masuk surga, Kaum Muhajirin, Kaum Anshor dan lainnya Rodhiyallohu 'anhum 'Ajma'in.

▪Mereka para Shahabat Rodhiyallohu 'anhum sudah di jamin masuk surga oleh Allah Ta'ala sebagai mana terdapat dalilnya didalam Al Qur'an dan As Sunnah.

▪Keutamaan Para Shahabat adalah orang yang langsung mengambil ilmu dengan Rasulullah Sholallohu 'alaihi Wasallam, mereka bermajlis dengan Rasulullah Sholallohu 'alaihi Wasallam, dibimbing Rasulullah Sholallohu 'alaihi Wasallam, mereka tau tafsir ayat Al Qur'an mereka tau Sebab turunnya Ayat.

‼Dan Kita katakan dengan tegas❗dengan orang orang yang anti, dan tidak suka dengan Shahabat Nabi Sholallohu 'alaihi Wasallam bahkan mencaci maki para Shahabat. Hendaklah kalian bertobat kepada Allah Ta'ala dan tangisilah Dosa dosa Kalian sendiri.

‼Wahai kaum muslimin‼

▪Shahabat Rodhiyallohu 'anhum itu orang yang paling bersemangat dalam mengamalkan Al Qur'an dan As Sunnah, mereka bersemangat mengilmuinya dan mempelajarinya.

▪Para Shahabat adalah orang orang yang mulia yang disebutkan Rasulullah Sholallohu 'alaihi Wasallam dalam Hadits haditsnya.

▪Para Shahabat Rodhiyallohu 'anhum adalah orang yang mengamalkan kedua sumber tadi Yakni Al Qur'an dan As Sunnah.

❗Dan tidak ada, orang yang paling benci dengan Shahabat Nabi Sholallohu 'alaihi Wasallam kecuali dia akan Menyimpang dan bisa menyebabkan kekafiran seperti dari Kalangan Syi'ah Laknatullah 'alaih yang telah mengkafirkan seluruh para Shahabat Nabi Sholallohu 'alaihi Wasallam Kecuali 3 atau 4 orang saja.

▪Apabila ada suatu kelompok❓atau aliran❓ yang merasa tidak suka dan benci dengan Shahabat Shahabat Nabi Sholallohu 'alaihi Wasallam Yang mulia. Hendaklah berhati hati dengan nya, bisa jadi dia adalah Syi'ah, Karena orang orang Syi'ah paling keras permusuhannya, serta bencinya terhadap Shahabat Nabi Sholallohu 'alaihi Wasallam.

Rabu, 08 Juni 2016

Hukum Sutrah

Memurnikan Aqidah, Menebarkan Sunnah

Sutrah artinya segala sesuatu yang berdiri di depan orang yang sedang shalat, dapat berupa tongkat, atau tanah yang disusun, atau semacamnya untuk mencegah orang lewat di depannya

Oleh Ust. Yulian Purnama 

Diantara sunnah yang mulai luntur di tengah kaum muslimin sekarang terkait ibadah shalat adalah menghadap sutrah ketika shalat. Mudah-mudahan penjelasan yang singkat ini dapat memberikan pencerahan kepada umat mengenai sutrah dalam shalat.

Sutrah secara bahasa arab artinya apapun yang dapat menghalangi (lihat Qamus Al Muhith). Jadi sutrah adalah penghalang. Dalam terminologi ilmu fiqih, sutrah artinya segala sesuatu yang berdiri di depan orang yang sedang shalat, dapat berupa tongkat, atau tanah yang disusun, atau semacamnya untuk mencegah orang lewat di depannya (Mausu'ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 3/176-177).

Menghadap sutrah ketika shalat adalah hal yang disyariatkan. Banyak hadits yang mendasari hal ini diantaranya hadits Abu Sa'id Al Khudri bahwa NabiShallallahu'alaihi Wasallam bersabda:

إذا صلَّى أحدُكم فلْيُصلِّ إلى سُترةٍ ولْيدنُ منها

"Jika seseorang mengerjakan shalat maka shalatlah dengan menghadap sutrah dan mendekatlah padanya" (HR. Abu Daud 698, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

juga hadits dari Sabrah bin Ma'bad Al Juhani radhiallahu'anhu, NabiShallallahu'alaihi Wasallam bersabda:

سُتْرَةُ الرَّجُلِ فِي الصَّلَاةِ السَّهْمُ ، وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ ، فَلْيَسْتَتِرْ بِسَهْمٍ

"Sutrah seseorang ketika shalat adalah anak panah. Jika seseorang diantara kalian shalat, hendaknya menjadikan anak panah sebagai sutrah" (HR. Ahmad 15042, dalam Majma Az Zawaid Al Haitsami berkata: "semua perawi Ahmad dalam hadits ini adalah perawi Shahihain").

juga sabda beliau:

لَا تُصَلِّ إِلَّا إِلَى سُتْرَةٍ، وَلَا تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ؛ فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِينَ

"Janganlah shalat kecuali menghadap sutrah, dan jangan biarkan seseorang lewat di depanmu, jika ia enggan dilarang maka perangilah ia, karena sesungguhnya bersamanya ada qarin (setan)" (HR. Ibnu Khuzaimah 800, 820, 841. Al Albani dalamSifatu Shalatin Nabi (115) mengatakan bahwa sanadnya jayyid, ashl hadist ini terdapat dalam Shahih Muslim).

Hukum Menghadap Sutrah Ketika Shalat

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menghadap sutrah ketika shalat dalam 4 pendapat:

Wajib. Ini merupakan pendapat Ibnu Hazm, Asy Syaukani dan pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.Sunnah secara mutlak. Ini merupakan pendapat Syafi'iyyah dan salah satu pendapat Imam MalikSunnah jika dikhawatirkan ada yang lewat. Ini merupakan pendapat Malikiyyah dan Hanafiyyah.Sunnah bagi imam dan munfarid. Ini pendapat Hanabilah (Mausu'ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 24/178,Tamaamul Minnah, 300).

Jika melihat beberapa hadits yang telah lalu tentang sutrah, di sana digunakan lafadz perintah فلْيُصلِّ إلى سُترةٍ (shalatlah menghadap sutrah) dan juga lafadz فَلْيَسْتَتِرْ(bersutrahlah), yang pada asalnya menghasilkan hukum wajib kecuali terdapat qarinah (tanda-tanda) yang memalingkannya dari hukum wajib. Alasan inilah yang dipegang oleh para ulama yang mewajibkan sutrah. Namun tidak wajibnya sutrah adalah pendapat jumhur ulama, bahkan sebagian ulama menukil ijma' akan hal ini. Ibnu Qudamah dalam Al Mughni mengatakan:

وَلَا نَعْلَمُ فِي اسْتِحْبَابِ ذَلِكَ خِلَافًا

"kami tidak mengetahui adanya khilaftentang hukum mustahab (sunnah) mengenai penggunaan sutrah dalam shalat" (Al Mughni, 2/174). Mengenai validitas ijma Ibnu Qudamah dan ulama lain yang mengklaim ijma sunnahnya sutrah perlu dikaji lebih jauh, namun bukan dalam tulisan ini. Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin dalam Syahrul Mumthi'(3/277) menyebutkan beberapa qarinahyang menunjukkan tidak wajibnya shalat menghadap sutrah:

Hadits Abu Sa'id Al Khudriradhiallahu'anhu, NabiShallallahu'alaihi Wasallambersabda:

اذا صلَّى أحدُكُم إلى شيءٍ يستُرُهُ من الناسِ،فأرادَ أحَدٌ أنْ يَجتازَ بين يديْهِ، فليدفَعْهُ، فإنْ أبى فَليُقاتِلهُ، فإنما هو شيطانٌ

"Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara ia dengan sutrah, maka cegahlah. jika ia enggan dicegah maka perangilah ia, karena sesungguhnya ia adalah setan" (HR. Al Bukhari 509)
perkataan Nabi 'jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah' menunjukkan orang yang shalat ketika itu terkadang shalat menghadap sesuatu dan terkadang tidak menghadap pada apa pun. Karena konteks kalimat seperti ini tidak menunjukkan bahwa semua orang di masa itu selalu shalat menghadap sutrah. Bahkan menunjukkan bahwa sebagian orang menghadap ke sutrah dan sebagian lagi tidak menghadap ke sutrah.

Hadits Ibnu 'Abbasradhiallahu'anhuma:

رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم يُصَلِّي بمِنًى إلى غيرِ جِدارٍ

"Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah shalat di Mina tanpa menghadap ke tembok" (HR. Al Bukhari 76, 493, 861)

Hadits Ibnu 'Abbasradhiallahu'anhuma:

أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ صلَّى في فضاءٍ ليسَ بينَ يدَيهِ شيءٌ

"Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah shalat di lapangan terbuka sedangkan di hadapan beliau tidak terdapat apa-apa" (HR. Ahmad 3/297, Al Baihaqi dalam Al Kubra 2/273)

Hukum asal tata cara ibadah adalahbara'atu adz dzimmah (tidak adanya kewajiban).

Mengenai hadits Ibnu 'Abbas :

أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ صلَّى في فضاءٍ ليسَ بينَ يدَيهِ شيءٌ

"Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah shalat di lapangan terbuka sedangkan di hadapan beliau tidak terdapat apa-apa"

ini diperselisihkan keshahihannya, karena di dalamnya terdapat perawi Al Hajjaj bin Arthah yang statusnya "shaduq katsiirul khata' wat tadlis" (shaduq, banyak salah dan banyak melakukan tadlis)dan di dalam sanadnya Al Hajjaj pun melakukan'an'anah. Namun hadits ini memiliki jalan lain dalam Musnad Ahmad (5/11, 104) dari Hammad bin Khalid ia berkata, Ibnu Abi Dzi'bin menuturkan kepadaku, dari Syu'bah dari Ibnu 'Abbas ia berkata:

مَرَرْتُ أَنَا وَالْفَضْلُ عَلَى أَتَانٍ ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ فِي فَضَاءٍ مِنَ الْأَرْضِ ، فَنَزَلْنَا وَدَخَلْنَا مَعَهُ ، فَمَا قَالَ لَنَا فِي ذَلِكَ شَيْئًا

"

"Aku pernah di menunggangi keledai bersama Al Fadhl (bin Abbas) dan melewati Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam yang sedang shalat mengimami orang-orang di lapangan terbuka. Lalu kami turun dan masuk ke dalam shaf, dan beliau tidak berkata apa-apa kepada kami tentang itu"

Semua perawi hadits ini tsiqah kecuali Syu'bah, Ibnu Hajar berkata: "ia shaduq, buruk hafalannya". Juga hadits ini juga memiliki jalan lain yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya (718), dari Abdul Malik bin Syu'aib bin Al Laits, ia berkata: ayahku menuturkan kepadaku, dari kakeknya, dari Yahya bin Ayyub, dari Muhammad bin Umar bin Ali, dari Abbas bin Ubaidillah, dari Al Fadhl bin Abbas beliau berkata

أَتَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ فِي بَادِيَةٍ لَنَا وَمَعَهُ عَبَّاسٌ، «فَصَلَّى فِي صَحْرَاءَ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ سُتْرَةٌ وَحِمَارَةٌ لَنَا، وَكَلْبَةٌ تَعْبَثَانِ بَيْنَ يَدَيْهِ فَمَا بَالَى ذَلِكَ

"Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallampernah pernah datang kepada kami sedangkan kami sedang berada di gurun. Bersama beliau ada 'Abbas. Lalu beliau shalat di padang pasir tanpa menghadap sutrah. Di hadapan beliau ada keledai betina dan anjing betina sedang bermain-main, namun beliau tidak menghiraukannya"

Yahya bin Ayyub dikatakan oleh Ibnu Ma'in: "tsiqah", sedangkan Abu Hatim Ar Razi menyatakan: 'Ia menyandang sifat jujur, ditulis haditsnya namun tidak dapat berhujjah denganya'. Ibnu Hajar mengatakan: 'ia shaduq, terkadang salah'.Insya Allah, statusnya shaduq. Adapun perawi yang lain tsiqah. Namun riwayat ini memiliki illah (cacat), yaitu adanya inqithapada Abbas bin Ubaidillah dari Al Fadhl. Ibnu Hazm dan Asy Syaukani menyatakan bahwa Abbas tidak pernah bertemu dengan pamannya yaitu Al Fadhl (Tamamul Minnah, 1/305). Sehingga riwayat ini tidak bisa menjadi penguat.

Wallahu'alam, dua jalan di atas sudah cukup mengangkat derajat hadits Ibnu 'Abbas tersebut ke derajat hasan li ghairihi. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz dalam Hasyiyah-nya terhadap Bulughul Maram (185) juga oleh Syaikh Syu'aib Al Arnauth dalam ta'liq-nya terhadap Musnad Ahmad (3/431). juga Bahkan Syaikh Ahmad Syakir dalam ta'liq-nya terhadap Musnad Ahmad (365) mengatakan hadits ini shahih. Sehingga ini menjadi dalil yang kuat untuk mengalihkan isyarat wajibnya sutrah kepada hukum sunnah.

Kesimpulan hukum

Selain hadits Ibnu 'Abbas ini, diperkuat juga dengan argumen dari hadits Abu Sa'id Al Khudri sebagaimana penjelasan yang disampaikan Syaikh Al Utsaimin maka wallahu'alam yang rajih hukum menghadap sutrah ketika shalat adalah sunnah, tidak sampai wajib. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh jumhur ulama, termasuk para ulama kibar abad ini semisal Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Syaikh Abdul Aziz Bin Bazrahimahumallah demikian juga Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzanhafizhahumullah.

Namun sunnahnya menghadap sutrah ketika shalat itu berlaku bagi imam danmunfarid (orang yang shalat sendiri) karena para sahabat Nabi mereka shalat bermakmum kepada NabiShallallahu'alaihi Wasallam namun tidak ada seorang pun dari mereka yang membuat sutrah (Syarhul Mumthi', 3/278). Para fuqaha bersepakat bahwa sutrah imam itu sudah mencukupi untuk makmum, baik posisi makmum berada disisi maupun di belakang imam. Dan mereka juga bersepakat bahwa makmum tidak disunnahkan membuat sutrah (Mausu'ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 24/184).

 

[bersambung insya Allah]

Penulis: Yulian Purnama

Artikel Muslim.Or.Id

Ingin pahala jariyah yang terus mengalir? Dukung pelunasan markaz dakwah YPIA di Yogyakarta. Kirim donasi anda ke salah satu rekening di bawah ini:Bank BNI Syariah Yogyakarta atas nama Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari. Nomor rekening: 024 1913 801.Bank Muamalat atas nama Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari Yogyakarta. Nomor rekening: 5350002594Bank Syariah Mandiri atas nama YPIA Yogyakarta. Nomor rekening: 703 157 1329.CIMB Niaga Syariah atasn ama Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari. Nomor rekening: 508.01.00028.00.0.Rekening paypal:donasi@muslim.or.idWestern union an Muhammad Akmalul Khuluk d/a Kauman GM 1/241 RT/RW 049/013 kel. Ngupasan kec. Gondomanan Yogyakarta Indonesia 55122

Print PDF

 Alhamdulillah bermanfaat

 Biasa saja

    

SEBARKAN!

6610100

In this article

Fiqh dan Muamalahfikih shalatfiqihhukum sutrahsutrah

Yulian Purnama

Alumni Ma'had Al Ilmi Yogyakarta, S1 Ilmu Komputer UGM, kontributor web PengusahaMuslim.Com

Join the Conversation

Artikel terkait

Kapan Mengangkat Jari Telunjuk Ketika Tasyahud?

Tata Cara Shalat Gerhana

Shalat Sunnah Rawatib

Dianjurkan Menutup Pintu, Jendela dan Wadah-Wadah di Malam Hari

Bolehkah Memanggil Nama "Abdul Rahman" Dengan "Rahman" Saja? (2)

Tentang KamiYPIADonasiIklanPustaka MuslimArsip ArtikelJadwal Kajian Rutin YogyakartaWebLinks

Tentang Muslim.Or.Id

Muslim.or.id adalah situs yang dikelola oleh mahasiswa dan alumni di Yogyakarta dan sekitarnya. Muslim.or.id berusaha menyebarkan dakwah Islamiyyah Ahlu Sunah wal Jama'ah di jagad maya.

Muslim.or.id
"

Kantor:
Pogung Rejo No. 412, RT 13/RW 51,
Kelurahan Sinduadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman,
Kode pos: 55284
Kontak HP: 085106144862
E-mail: muslim.or.id[at]gmail.com

Kontributor

Ust. Dr. M. Arifin Baderi, Lc. MA.Ust. Dr. Sufyan Basweidan, Lc. MA.Ust. Abdullah Taslim, Lc., MA.Ust. Abdullah Zaen, Lc. MA.Ust. Firanda Andirja, Lc., MA.Ust. Anas Burhanuddin, Lc. MA.Ust. Musyaffa Ad Darini, Lc. MA.Ust. Sa'id Ya'i Ardiansyah, Lc. MA.Ust. Ridho Abdillah, BA. MA.Ust. Kholid Syamhudi, Lc.Ust. Ahmad Zainuddin, Lc.Ust. Aris Munandar, Ss., MPi.Ust. M. Abduh Tuasikal, ST., M.Sc.Ust. Sa'id Abu 'UkkasyahUst. Zaenuddin Abu QushaiyUst. Ari Wahyudi, SSi.Ust. dr. Raehanul BahraenUst. M. Nur Ichwan Muslim, S.T.Ust. Ahmad AnshoriUst. Yani Fachriansyah

Sabtu, 04 Juni 2016

Hadits-Hadits Dhaif Seputar Bulan Ramadhan

By Arief Budiman, Lc. 
3 June 2016

Cukup banyak hadits shahih dari NabiShallallahu'alaihi Wasallam yang menjelaskan keutamaan bulan Ramadhan dan amal-amal shalih di dalamnya. Namun, banyak pula hadits-hadits seputar keutamaan bulan Ramadhan yang dha'if (lemah)1, maka kami pandang perlunya dipaparkan sekilas tentang beberapa hadits dha'if tersebut, yang telah banyak beredar di masyarakat, dan mencakup segala jenisnya.

Hadits dha'if dampak negatifnya cukup besar pada masyarakat, disebabkan adanya keyakinan orang-orang yang mengamalkannya bahwa hadits tersebut benar-benar berasal dari NabiShallallahu'alaihi Wasallam, baik berupa sabda atau perbuatan NabiShallallahu'alaihi Wasallam, padahal kenyataannya Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam tidak pernah mengamalkan atau mengucapkannya. Karena inilah, maka kami anggap perlu menjelaskan hakikat hadits-hadits lemah tersebut, agar kita waspada selalu terhadap syariat yang tidak benar adanya dari Nabi kita Muhammad Shallallahu'alaihi Wasallam. Di antara hadits-hadits dha'if yang cukup masyhur dan sering dibawakan oleh banyak khatib dan penceramah di bulan Ramadhan tersebut adalah beberapa hadits berikut ini:

1. Hadits Anas bin Malik radhiallahu'anhu, beliau berkata:

كانَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ إذا دخلَ رجَبٌ ، قالَ : اللَّهمَّ بارِكْ لَنا في رجَبٍ وشَعبانَ ، وبارِكْ لَنا في رمَضانَ

Adalah Nabi Shallallahu'alaihi Wasallamjika memasuki bulan Rajab, beliau berdoa, "Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya'ban, dan berkahi kami (pula) di bulan Ramadhan".

Hadits ini dha'if (lemah) atau munkar2.

Dikeluarkan oleh al-Imam Ahmad dalamMusnadnya (4/180 nomor 2346), dan lain-lain. Pentahqiq Musnad al-Imam Ahmad, Syaikh Syu'aib al-Arnauth menyatakan bahwa sanadnya dha'if. Dan hadits ini dilemahkan pula oleh al-Imam al-Albani t dalam kitabnya Misykatul Mashabih(1/432) dan Dha'iful Jami' ash-Shaghir(4395).

2. Hadits Mu'adz bin Zuhrah rahimahullah(seorang tabi'i), telah sampai kepadanya kabar bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam ketika berbuka puasa beliau berdoa:

اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت

"Ya Allah, untukmu aku berpuasa dan atas rizki-Mu aku berbuka puasa".

Hadits ini mursal dan dha'if.

Dikeluarkan oleh al-Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya (2358), dan lain-lain.

Hadits ini lemah dengan sebab irsal, yaitu terputusnya sanad antara Mu'adz bin Zuhrah dan Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. Lihat penjelasan terperincinya pada kitab Dha'iful Jami' ash-Shaghir(4349) dan Irwa-ul Ghalil (4/38 nomor 919).

Hadits ini diriwayatkan pula dari sahabat Anas bin Malik radhiallahu'anhu dan Abdullah bin 'Abbas radhiallahu'anhuma. Namun, kedua-duanya pula hadits dha'if.

Al-Imam asy-Syaukani rahimahullahmenjelaskan dalam kitabnya Nailul Authar(8/340-341):

"Hadits Mu'adz (bin Zuhrah) mursal, karena dia tidak bertemu dengan Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam. Dan hadits serupa telah diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam al-Mu'jam al-Kabir dan ad-Daruquthni; dari hadits Ibnu 'Abbas dengan sanad yang dha'if… dan ath-Thabrani (meriwayatkan) dari Anas, beliau berkata, "Adalah Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallamapabila berbuka puasa beliau mengucapkan:

بسم الله اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت

"Dengan nama Allah, ya Allah untukmu aku berpuasa dan atas rizki-Mu aku berbuka puasa".

Namun sanadnya lemah (pula). Karena di dalamnya terdapat Dawud bin az-Zabarqan, dan dia (periwayat) matruk(yang ditinggalkan haditsnya)"3.

Syaikh Abu 'Amr Abdullah Muhammad al-Hammadi berkata:

"Ketahuilah! Semoga Allah memberkahi Anda; bahwa sesungguhnya doa ini telah diriwayatkan dengan berbagai lafazh(redaksi yang mirip antara satu hadits dengan yang lainnya), yang seluruhnya lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah(dalil). Sehingga tidak bisa digunakan untuk beribadah, dan tidak boleh (seseorang) beribadah dengannya, disebabkan kelemahan sanad-sanadnya"4.

Lalu, apa doa berbuka puasa yang dapat kita amalkan?

Doanya adalah:

ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

/Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil 'uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/

"Telah hilang dahaga, telah basah urat-urat, dan telah tetap pahala, insya Allah".

Hadits ini hasan, dikeluarkan oleh Abu Dawud (2357), ad-Daruquthni dalamSunan-nya (2/185 nomor 25), dan lain-lain; dari Abdullah bin Umar. Dan al-Imam ad-Daruquthni mengatakan, "Sanad-nyahasan". Al-Imam asy-Syaukanirahimahullah dalam Nailul Authar (8/341) menjelaskan:

"(Hadits ini) diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa-i, ad-Daruquthni, dan al-Hakim; dari hadits Ibnu Umar

dengan tambahan lafazh:

ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

"Telah hilang dahaga, telah basah urat-urat, dan telah tetap pahala, insya Allah".

Ad-Daruquthni mengatakan, "Sanad-nyahasan".

3. Hadits Abu Hurairah radhiallahu'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:

من أفطر يوما من رمضان من غير رخصة لم يقضه وإن صام الدهر كله

"Barangsiapa berbuka puasa satu hari di bulan Ramadhan tanpa rukhshah (keringanan) yang diizinkan oleh Allah; niscaya ia tidak akan dapat menggantikannya (walaupun dengan berpuasa) sepanjang masa".

Hadits ini dha'if. Hadits ini dikeluarkan dengan lafazh seperti di atas oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya ( 2396). Danlafazh serupa diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (723), an-Nasa-i dalam as-Sunanul Kubra (3265), Ibnu Majah (1672), Ahmad (14/554 nomor 9012), dan lain-lain. Al-Imam al-Albani t menjelaskan dalam kitabnya Tamamul Minnah fit Ta'liqi 'ala Fiqhis Sunnah (halaman 396): "Hadits ini dha'if (lemah), dan al-Bukhari telah mengisyaratkan5 dengan perkataannyayudzkaru (yakni; telah disebutkan). Dan telah dilemahkan pula oleh Ibnu Khuzaimah, al-Mundziri, al-Baghawi, al-Qurthubi, adz-Dzahabi, ad-Damiri sebagaimana yang telah dinukilkan oleh al-Munawi, dan al-Hafizh Ibnu Hajar dan beliau menyebutkan tiga penyakit hadits ini; al-idhthirabal-jahalah, dan al-inqitha'. Silahkan merujuk ke Fat-hul Bari (4/161)…". Lihat pula Dha'if Abi Dawud (2/273-274), dan Dha'if at-Targhib wat-Tarhib(1/152 nomor 605), dan Dha'iful Jami' ash-Shaghir (5462).

4. Hadits Abu Hurairah radhiallahu'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:

يقولُ اللهُ عزَّ وجلَّ : إنَّ أحَبَّ عبادي إلَيَّ أسرَعُهم فِطْرًا

"Allah berfirman: Sesungguhnya di antara hamba-hambu-Ku yang paling Aku cintai adalah yang paling segera berbuka puasa"

Hadits ini dha'if, dengan sebab adanya periwayat dha'if dalamsanadnya. Dikeluarkan oleh at-Tirmidzi (700), Ahmad (12/182 nomor 7241), dan lain-lain. Lihat Dha'iful Jami' ash Shaghir(4041).

Dan cukuplah bagi kita hadits shahih dari sahabat Sahl bin Sa'ad as-Sa'idiradhiallahu'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallambersabda:

لا يزالُ النَّاسُ بخَيرٍ ما عجَّلوا الفِطرَ عجِّلوا الفطرَ

"Manusia akan senantiasa dalam keadaan baik selama mereka menyegerakan berbuka puasa".

Dikeluarkan oleh al-Bukhari (1957), dan Muslim (2/771 nomor 1098).

5. Hadits Anas bin Malik radhiallahu'anhu, beliau berkata:

سُئِلَ النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ أيُّ الصومِ أفضلُ بعدَ رمضانَ قال شعبانُ لتعظيمِ رمضانَ قال فأيُّ الصدقةِ أفضلُ قال الصدقةُ في رمضانَ

Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam ditanya: Puasa apa yang paling utama setelah Ramadhan? Beliau bersabda, "(Puasa) Sya'ban untuk mengagungkan Ramadhan". Kemudian dikatakan kepada beliau: Sedekah apa yang paling utama?Beliau bersabda, "Sedekah di bulan Ramadhan". 

Hadits ini dha'if, dengan sebab adanya periwayat dha'if dan bermasalah dalamsanadnya.

Dikeluarkan oleh at -Tirmidzi (663), dan lain-lain. Lihat penjelasan terperincinya pada kitab Irwa-ul Ghalil (889), danDha'iful Jami' ash-Shaghir (1023).

Dan cukuplah pula bagi kita hadits shahih dari sahabat Abdullah bin 'Abbasradhiallahu'anhuma, beliau berkata:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أجود الناس ، وكان أجود ما يكون في رمضان حين يلقاه جبريل ، وكان يلقاه في كل ليلة من رمضان فيُدارسه القرآن ، فالرسول الله صلى الله عليه وسلم أجودُ بالخير من الريح المرسَلة

Adalah Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam orang yang paling dermawan, dan kedermawanan beliau paling tinggi pada bulan Ramadhan. Sesungguhnya Jibril 'alaihissalam berjumpa dengan beliau pada setiap tahunnya di bulan Ramadhan hingga berakhir, dan beliau membacakan (memperdengarkan) al-Quran kepada Jibril. Maka jika Jibril berjumpa dengannya, Rasulullah`adalah lebih mulia (dermawan) dari angin yang berhembus. Dikeluarkan oleh al-Bukhari (6, 1902, 3220, 3554, 4997), dan Muslim (4/1803 nomor 2308), danlafazh hadits di atas dalam Shahih Muslim.

6. Hadits Abu Hurairah radhiallahu'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:

أول شهر رمضان رحمة ووسطه مغفرة وآخره عتق من النار

"Permulaan bulan Ramadhan adalah rahmat (kasih sayang Allah), pertengahannya adalah maghfirah (ampunan Allah), dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka".

Hadits ini dha'ifun jiddan (lemah sekali), atau munkar6. Tentang hadits ini, al-Imam al-Albani tmenjelaskan dalam kitabnyaSilsilatul Ahaditsi adh-Dha'ifah walMaudhu'ah (4/70 nomor 1569):"Dikeluarkan oleh al-'Uqaili dalam ad-Dhu'afa (172), dan Ibnu 'Adi (1/165), dan al-Khathib dalam al-Mudhih (2/77), dan ad-Dailami (1/1/10-11), dan Ibnu 'Asakir (8/506/1); dari Sallam bin Sawwar, dari Maslamah bin ash-Shalt, dari az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah; beliau berkata, Rasulullah `bersabda… dan kemudian beliau sebutkan haditsnya. Dan al-'Uqaili berkata, "Tidak ada asal-usulnya dari hadits az-Zuhri". Saya (al-Albani) katakan bahwa Sallam bin Sulaiman bin Sawwar, dia menurutkuMunkarul Hadits (haditsnya munkar), sedangkan Maslamah tidak dikenal. Demikianlah yang juga disebutkan oleh adz-Dzahabi. Adapun Maslamah, maka Abu Hatim juga telah berkata tentangnya, "Matrukul Hadits (haditsnya ditinggalkan)", sebagaimana disebutkan pada biografi beliau dalam kitab al-Mizan…". Lihat pula Silsilatul Ahaditsi adh-Dha'ifah wal Maudhu'ah (2/262-264 nomor 871).

7. Hadits Abu Mas'ud al-Ghifariradhiallahu'anhu, beliau berkata:

سمِعتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ذاتَ يومٍ وأهلَّ رمضانُ فقال لو يعلمُ العبادُ ما رمضانُ لتمنَّت أمَّتي أن تكونَ السَّنةُ كلُّها رمضانَ فقال رجلٌ من خزاعةَ يا نبيَّ اللهِ حدِّثْنا فقال إنَّ الجنَّةَ لتُزيَّنَ لرمضانَ من رأسِ الحوْلِ إلى الحوْلِ فإذا كان أوَّلُ يومٍ من رمضانَ هبَّت ريحٌ من تحتِ العرشِ فصفَّقت ورقُ أشجارِ الجنَّةِ فتنظرُ الحورُ العينُ إلى ذلك فيقلن يا ربَّنا اجعلْ لنا من عبادِك في هذا الشَّهرِ أزواجًا نقرُّ بهم وتقرُّ أعينُهم بنا قال فما من عبدٍ يصومُ يومًا من رمضانَ إلَّا زُوِّج زوجةً من الحورِ العينِ في خيمةٍ من درَّةٍ كما نعت اللهُ عزَّ وجلَّ { حُورٌ مَقْصُورَاتٌ فِي الْخِيَامِ } على كلِّ امرأةٍ منهنَّ سبعون حُلَّةً ليس منها حُلَّةٌ على لونِ الأخرَى وتُعطَى سبعين لونًا من الطِّيبِ ليس منه لونٍ على ريحِ الآخرِ لكلِّ امرأةٍ منهنَّ سبعون ألفَ وصيفةٍ لحاجتِها وسبعون ألفَ وصيفٍ مع كلِّ وصيفٍ صفحةٌ من ذهبٍ فيها لونُ طعامٍ يجِدُ لآخرِ لُقمةٍ منها لذَّةً لم يجدْه لأوَّلِه ولكلِّ امرأةٍ منهنَّ سبعون سريرًا من ياقوتةٍ حمراءَ على كلِّ سريرٍ سبعون فراشًا بطائنُها من إستبرقٍ فوق كلِّ فراشٍ سبعون أريكةً ويُعطَى زوجُها مثلَ ذلك على سريرٍ من ياقوتٍ أحمرَ موشَّحًا بالدُّرِّ عليه سُوران من ذهبٍ هذا بكلِّ يومٍ صامه من رمضانَ سوَى ما عمِل من الحسناتِ

Aku mendengar Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pada suatu hari menjelang Ramadhan, beliau bersabda, "Seandainya para hamba tahu apa yang terdapat pada bulan Ramadhan, niscaya umatku berangan-angan agar satu tahun seluruhnya bulan Ramadhan". Lalu seorang dari Khuza'ah berkata, "Wahai Nabi Allah! Kabarilah kepada kami (keutamaan Ramadhan tersebut)!". 

Maka Rasulullah pun bersabda, "Sesungguhnya surga dihiasi untuk (menghadapi) bulan Ramadhan dari permulaan tahun ke tahun (berikutnya). Maka apabila masuk hari pertama di bulan Ramadhan, bertiuplah angin dari bawah 'Arsy, dan berdesirlah dedaunan pohon-pohon surga. Kemudian para bidadari melihatnya , dan mereka berkata, Wahai Rabb kami, jadikanlah untuk kami dari hamba -hamba-Mu yang shalih di bulan ini para suami yang kami berbahagia dengan mereka dan mereka pun berbahagia dengan kami".

Beliau pun kembali bersabda, "Maka tidaklah seorang hamba pun berpuasa satu hari di bulan Ramadhan, melainkan ia pasti akan dinikahkan dengan isteri dari kalangan bidadari di dalam kemah yang terbuat dari mutiara, sebagaimana Allah sifatkan mereka dalam firman-Nya: (Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih, dipingit dalam rumah (kemah). [QS. Ar-Rahman: 72]. Setiap orang dari bidadari-bidadari tersebut memiliki tujuh puluh jubah, yang masing-masingnya berwarna berbeda dari warna jubah yang lainnya. Para bidadari itu pun diberi tujuh puluh jenis parfum, yang masing-masingnya beraroma berbeda dari yang lainnya. Mereka pun memiliki tujuh puluh ribu pelayan, yang masing-masing dari pelayan tersebut membawa nampan dari emas yang di atasnya terdapat makanan yang setiap suapan dari makanan tersebut memiliki kelezatan yang berbeda dari kelezatan suapan-suapan berikutnya. Kemudian para bidadari itu pun memiliki tujuh puluh ranjang terbuat dari permata berwarna merah, yang di atas setiap ranjang tersebut terdapat permadani yang bantalannya terbuat dari sutera . Dan di atas setiap permadani tersebut terdapat dipan-dipan. Demikianlah para suami mereka pun diberi hal yang sama. Mereka berada di atas ranjang yang terbuat dari permata merah yang dihiasi oleh mutiara, dan berpagarkan emas. Ini adalah balasan untuk satu harinya di bulan Ramadhan, belum termasuk pahala lainnya dari amal-amal baik yang ia kerjakan".

Hadits ini maudhu' (palsu)7

Syaikh Abu 'Amr Abdullah Muhammad al-Hammadi berkata8:

"(Hadits ini) dikeluarkan oleh Abu Ya'la dalam Musnad-nya [sebagaimana dalamal-Matholibul 'Aliyah (1/396) (1032)], dan asy-Syasyi dalam Musnad-nya (2/277) (852), dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (3/160) (1886), dan al-Ashbahani dalam at-Targhib wat Tarhib (2/356) (1765), dan Ibnu Abid Dun-ya dalamFadha-ilu Ramadhan (halaman 49) (22), dan al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman(3/313) (3634) dan dalam Fadha-ilul Awqat (halaman 158) (46), dan Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu'at (2/547) (1119); dari jalan Jarir bin Ayyub, dari asy-Sya'bi, dari Nafi' bin Burdah, dari Abdullah bin Mas'ud (atau dari Abu Mas'ud), ia berkata, Aku mendengar Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda di permulaan bulan Ramadhan… kemudian menyebutkan haditsnya".

Hadits ini terkadang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud, dan terkadang dari Abu Mas'ud al-Ghifari. Oleh karena itu, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam kitabnyaal-Matholibul 'Aliyah (1/397) setelah beliau membawakan hadits ini, "Dan Ibnu Mas'ud bukanlah al-Hudzali yang masyhur, akan tetapi dia adalah al-Ghifari, (sahabat) yang lain".

Dan yang menyebabkan hadits ini dihukumi palsu adalah karena di dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Jarir, yaitu Jarir bin Ayyub bin Abi Zur'ah bin 'Amr bin Jarir al-Bajali al-Kufi. Seorang perawi hadits yang dihukumi oleh para ulama hadits; munkarul hadits (haditsnyamunkar), atau dha'iful hadits (haditsnya lemah), atau bahkan pemalsu hadits9.

Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata dalam kitabnya al-Maudhu'at(2/549): "Hadits ini palsu (dipalsukan) atas nama Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam, dan yang tertuduh memalsukannya adalah Jarir bin Ayyub".

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-'Asqalanirahimahullah mengatakan dalam kitabnyaal-Matholibul 'Aliyah (1/397): "Jarir bin Ayyub menyendiri dalam (periwayatan) hadits ini, sedangkan dia sangat lemah sekali".

Dan al-Imam asy-Syaukani rahimahullahmenjelaskan pula dalam kitabnya al-Fawa-idul Majmu'ah (halaman 88): "Diriwayatkan oleh Abu Ya'la dari Ibnu Mas'ud secara marfu' (sampai kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam), dan hadits ini palsu. Penyakitnya adalah Jarir bin Ayyub".

8. Hadits Anas bin Malik radhiallahu'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ تأمَّل خَلْقَ امرأةٍ حتى يتبيَّنَ له حجمُ عظامِها من ورائِها وهو صائمٌ فقد أفطرَ

"Barangsiapa memperhatikan bentuk (rupa) seorang wanita hingga jelas baginya bentuk tulangnya dari balik pakaiannya sedangkan ia sedang berpuasa; maka batal (puasanya)".

Hadits ini maudhu' (palsu)10.

Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu 'Adi dalam kitabnya al-Kamil fi adh-Dhu'afa (3/204), dan melalui jalannya Ibnul Jauzi mengeluarkan dalam kitabnya al-Maudhu'at (2/559), dan lain-lain; dari jalan al-Hasan bin 'Ali al-'Adawi, ia berkata: Telah mengkhabarkan kepada kami Kharasy bin Abdillah seorang pelayan Anas bin Malik, ia berkata: Telah mengkhabarkan kepada kami Anas bin Malik, beliau berkata: Rasulullah ` bersabda… kemudian menyebutkan haditsnya.

Pada sanad hadits ini terdapat dua orang perawi yang bermasalah, yaitu al-Hasan bin 'Ali al-'Adawi, ia seorang pemalsu dan pencuri hadits. Dan orang yang kedua adalah Kharasy bin Abdillah, seorang perawi yang majhul (tidak diketahui keberadaan periwayatannya) dan tidak dikenal.

Al-Imam Ibnul Jauzi t berkata dalam kitabnya al-Maudhu'at (2/559): "Ini adalah hadits palsu, dalam (sanadnya) terdapat dua orang pendusta, yang pertama; al-'Adawi, dan yang kedua; Kharasy".

9. Hadits Salman bin 'Amir adh-Dhabbiradhiallahu'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:

الصائم في عبادة و إن كان راقدا على فراشه

"Orang yang berpuasa dalam (keadaan) beribadah, walaupun ia tidur di atas ranjangnya".

Hadits ini dha'if atau dha'ifun jiddan(lemah sekali)11.

Hadits ini dikeluarkan oleh Tammam dalam Fawa-id-nya (2/49) (1109) dari jalan; Hasyim bin Abi Hurairah al-Himshi, dari Hisyam bin Hassan, dari Ibnu Sirin, dari Salman bin 'Amir adh-Dhabbi, dari Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam.

Sanad hadits ini dha'if, disebabkan adanya beberapa perawi yang majhul dan dha'if, seperti Hasyim bin Abi Hurairah al-Himshi dan Hisyam bin Hassan yang telah disebutkan di atas.

10. Hadits Abu Hurairah radhiallahu'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:

الصومُ نِصفُ الصَّبرِ

"Puasa adalah setengah kesabaran…".

Hadits ini dha'if (lemah)12.

Al-Imam al-Albani rahimahullahmenjelaskan dalam kitabnya Silsilatul Ahaditsi adh-Dha'ifah wal Maudhu'ah(8/281 nomor 3811):

"Dikeluarkan oleh Ibnu Majah (1/531), dan al-Baihaqi dalam asy-Syu'ab (3/292/3577, 3578), dan al-Qadha'i dalam Musnad asy-Syihab (1/13); dari Musa bin 'Ubaidah, dari Jahman, dari Abu Hurairah secara marfu'(sampai Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam). Dan ini sanad yang dha'if, disebabkan Musa bin 'Ubaidah, dan ia telah disepakati atas kelemahannya".

Demikianlah beberapa hadits dari sekian banyak hadits lemah dengan segala jenisnya yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam tentang seputar bulan Ramadhan, namun tidak sah dan tidak benar asalnya dari beliau Shallallahu'alaihi Wasallam.

Al-Imam Abdullah bin al-Mubarakrahimahullah (181 H) telah berkata:

في صحيح الحديث شغل عن سقيمه

"Pada sebuah hadits yang shahih terdapat sesuatu yang menyibukkan dari (beramal dengan) hadits lemah"13.

Mudah-mudahan tulisan ringkas ini bermanfaat, menambah ilmu, iman dan amal shalih kita semua.

Wallahu A'lamu bish Shawab.

***

Penulis: Ust. Arief Budiman, Lc.

Artikel Muslim.or.id