Selasa, 23 Februari 2016

MEMUDAHKAN SEORANG YANG MENGALAMI KESULITAN KARENA TERLILIT HUTANG

Kitābul Jāmi' | Bab Al-Birru (Kebaikan) Wa Ash-Shilah (Silaturahim)

Oleh:Ustadz Firanda Andirja, MA

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Ikhwan dan akhwat yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita melanjutkan pembahasan kita dari hadits yang sebelumnya, pada bagian yang ke-2.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan,

وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

"Barangsiapa yang memudahkan seorang yang sedang mengalami kesulitan karena terlilit hutang maka Allāh akan memudahkan dia di dunia maupun di akhirat."

Kita tahu bahwasanya seseorang meminjam uang itu adalah hal yang diperbolehkan selama bukan merupakan kebiasaannya karena seseorang terkadang mengalami kesulitan dan dia terpaksa meminjam uang.

Oleh karenanya seorang (hendaknya) tidaklah meminjam uang kecuali dalam kondisi-kondisi terdesak.

Dalam hadits disebutkan bahwa Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam berlindung dari bahaya hutang ini.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah berdo'a,

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ. اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ

"Ya Allāh , aku berlindung kepada Engkau dari adzab kubur. Dan aku berlindung kepada Engkau dari fitnah Al-Masīh Ad-Dajjāl. Dan aku berlindung kepada Engkau dari fitnah kehidupan dan fitnah kematian. Ya Allāh, aku berlindung kepada Engkau dari dosa dan hutang."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Seseorang bertanya kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dengan berkata,

مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ مِنْ الْمَغْرَمِ

"Ya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, sering sekali engkau berlindung kepada Allāh dari hutang, kenapa demikian?"

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan,

إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَفَأَخْلَفَ 

"Seseorang kalau sudah berhutang, jika dia akan berkata maka dia akan berdusta, jika dia berjanji maka dia akan menyelisihi."

Oleh karenanya, terkadang hutang sering menjerumuskan orang ke dalam dosa-dosa yang lainnya yaitu jika dia berkata dia berdusta.

Kemudian jika dia berjanji akan membayar hutang, ternyata dia tidak membayar hutangnya.

Apalagi kalau seseorang terlilit hutang yang banyak kemudian datang para penagih hutang-hutang maka dia akan dalam kondisi yang sangat sulit.

Jika dia mengalami kesulitan seperti ini, lantas ada seorang mu'min menolongnya di dunia, maka Allāh akan menolongnya di dunia dan di akhirat.

Menghilangkan beban hutang bisa dengan beberapa model;

■ PERTAMA

Misal seseorang memiliki hutang kepada kita, kemudian tiba jatuh tempo untuk dia membayar hutang. Kemudian dia datang kepada kita dengan mengatakan: "Mohon maaf saya belum bisa membayar hutang saya."

Kemudian kita katakan: "Tidak mengapa, ditunda bulan depan."

Kata para ulama, kita menunda pembayaran hutang dia ini sudah termasuk ke dalam hadits ini, karena memberikan keringanan kepada dia.

Dan ini yang disebutkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla:

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ 

"Jika dia memiliki kesulitan maka tundalah sampai tiba waktu dia mudah untuk membayar."
(QS Al-Baqarah 280)

Ini model yang pertama, yang termasuk dalam hadits ini yaitu jika dia punya hutang sama kita maka kita beri penundaan membayar pada waktu yang lain sehingga dia mendapatkan waktu yang lapang dan kesempatan untuk bisa membayar hutangnya.

■ KEDUA

Diantara bentuk menghilangkan kesulitan seorang yang terlilit hutang yaitu kita menyuruh dia untuk tidak membayar hutang semuanya.

Misal, dia hutang kepada kita 10 juta, maka kita katakan,
"Sudah antum bayar 5 juta atau 3 juta saja."
Maka ini memberi keringanan kepada dia.

Dan ingat, sikap kita dengan mengurangi hutang ini juga akan dibalas oleh Allāh di dunia maupun di akhirat.

Allāh akan mencatat amal kita dan akan memberi balasan di dunia dan di akhirat.

■ KETIGA

Yang terbaik adalah menghilangkan seluruh hutangnya, kita lunaskan hutangnya.

Allāh berkata,

وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

"Dan engkau bersedekah maka itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahuinya."
(QS Al-Baqarah 280)

⇒ Artinya, menunda membayar hutang itu baik dan akan lebih baik lagi kalau kau lunaskan, "Ya sudah, saya ikhlashkan", istilah kita.

Dan ini lebih baik di dunia dan di akhirat.

Oleh karenanya telah datang hadits-hadits "spesial" tentang masalah ini yaitu bagi orang yang memberi keringanan kepada orang yang terlilit hutang.

Karena terlilit hutang membuat seseorang pusing, sulit untuk tidur memikirkan bagaimana cara membayar hutang, sementara para penagih menagih terus.

Ini (tatkala terlilit hutang) membuat seorang menderita.

Ada hadits-hadits yang khusus membahas tentang masalah ini, contohnya,

• ⑴ Sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam,

وأحب الأعمال إلى الله سرور تدخله في قلب مسلم

"Dan amalan yang paling dicintai oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla yaitu rasa gembira yang engkau masukkan ke dalam hati seorang Muslim."
(HR Bukhari Muslim)

Dalam riwayat lain, hadits selanjutnya kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:

أَوُتَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا 

"Atau engkau lunasi hutangnya."

Inilah di antara amalan yang sangat dicintai oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, yaitu engkau melunasi hutang orang tersebut.

• ⑵ Dalam hadits yang lain juga Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan (bercerita), Beliau berkata:

تَلَقَّتِ المَلاَئِكَةُ رُوحَ رَجُلٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، فقَالُوا: أَعَمِلْتَ مِنَ الخَيْرِ شَيْئًا؟ قَالَ لا قالوا تذكر قال كُنْتُ أداين الناس آمُرُ فتيانِي أَنْ يُنْظِرُوا وَيَتَجَاوَزُوا عَنِ المُوسِرِ، قَالَ: قَالَ الله : فَتَجَاوَزُوا عَنْهُ

Para malaikat bertemu dengan ruh seorang dari sebelum kalian.

⇒ Tatkala pada hari kiamat dihadirkan ruh seorang dari orang-orang sebelum kalian).

Maka para mailakat berkata, "Apakah engkau pernah melakukan kebaikan walaupun sedikit?"

Orang ini mengatakan: "Saya tidak pernah melakukan kebaikan."
Malaikat berkata: "Coba diingat, mungkin engkau pernah melakukan kebaikan."
Maka diapun ingat suatu kebaikan yang pernah dia lakukan.

⇒ Artinya, orang ini tidak pernah atau jarang melakukan kebaikan, tetapi dia ingat, dia berusaha mengingat-ingat apa kebaikan yang dia pernah lakukan waktu dia masih hidup, ternyata ada kebaikan yang pernah dia lakukan.

Dia mengatakan, "Saya dahulu memberi hutangan kepada orang-orang, namun saya menyuruh anak buahku untuk menunda orang yang sulit untuk membayar."

⇒ Nanti saja dilain waktu, kalau memang tidak bisa membayar sekarang.

"Dan untuk memaafkan orang yang mudah untuk membayar hutang."

⇒ Ada orang yang sudah ditunda kemudian suatu saat dia datang dan mampu untuk membayar tetapi dikatakan padanya, "Ya sudah, tidak usah membayar."

Subhānallāh, ini dia;
√ ⑴ Dia tunda orang yang kesulitan
√ ⑵ Dan kalau ada orang yang mau untuk membayar dia berkata "Ya sudah, saya maafkan, tidak usah membayar."

Maka Allāh berkata, "Ampuni dosa-dosanya"

⇒ Sebagaimana dia memaafkan orang yang bisa membayar hutang, dia maafkan (diikhlashkan, tidak usah membayar), maka kata Allāh, "Ampunilah dosa-dosanya."
(HR. Muslim No. 2917)

• ⑶ Dan hadits yang lain dari Abū Hurairah radhiyallāhu Ta'āla 'anhu, dari Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah berkata,

كَانَ تَاجِرٌ يُدَايِنُ النَّاسَ فَإِذَا رَأَى مُعْسِرًا قَالَ لِفِتْيَانِهِ تَجَاوَزُوا عَنْهُ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَتَجَاوَزَ عَنَّا فَتَجَاوَزَ اللَّهُ عَنْهُ

Ada seorang pedagang yang sering memberi hutangan kepada orang-orang. Jika dia melihat ada seorang yang sulit untuk membayar hutang.

Maka dia berkata kepada anak buahnya, "Maafkan dia (tidak usah dia bayar). Semoga Allāh, dengan saya memaafkan dia, Allāh akan memaafkan saya."

Maka kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, "Maka Allāhpun mengampuni dosa-dosanya."
(HR Bukhari dan Muslim)

Oleh karenanya, jika seseorang memberi keringanan kepada orang yang berhutang maka semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla akan menghapuskan (memaafkan) dosa-dosanya.

Semoga Allāh menjauhkan kita dari kesulitan hutang dan semoga Allāh memudahkan kita untuk membantu orang yang berhutang.

السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
__________________________

Selasa, 16 Februari 2016

Hukuman Yang Pantas Bagi Pelaku LGBT.

Dijatuhkan Dari Bangunan Yang Tinggi, Lalu Dilempari Batu, Itulah Hukuman Bagi Gay / Homosex..

Yang di terapkan  di Negeri dengan Sistem Syariat Islam !
Yaitu di buang dari Tempat yang Tinggi dan di Lempari Batu sampai mati, sesuai beberapa petunjuk Dalil yang Shohih. penjelasannya berikut ini :


Karena kekejian dan kejelekan perilaku homoseksual telah mencapai puncak keburukan, sampai-sampai hewan pun menolaknya. Hampir-hampir kita tidak mendapatkan seekor hewan jantan pun yang mengawini hewan jantan lain. Akan tetapi keanehan itu justru terdapat pada manusia yang telah rusak akalnya dan menggunakan akal tersebut untuk berbuat kejelekan.

Dalam Al-Qur'an Allah menyebut zina dengan kata faahisyah (tanpa alif lam), sedangkan homoseksual dengan al-faahisyah (dengan alif lam), (jka ditinjau dari bahsa Arab) tentunya perbedaan dua kta tersebut sangat besar.

Kata faahisyah tanpa alif dan lam dalam bentuk nakirah yang dipakai untuk makna perzinaan menunjukkan bahwa zina merupakan salah satu perbuatan keji dari sekian banyak perbuatan keji. Akan tetapi, untuk perbuatan homoseksual dipakai kata al-faahisyah dengan alif dan lam yang menunjukkan bahwa perbuatan itu mencakup kekejian seluruh perbuatan keji.

Maka dari itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.


مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ

"Mengapa kalian mengerjakan perbuatan faahisyah itu yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelum kalian" [QS.Al-A'raf/7: 80]

Mereka disebut juga sebagai orang-orang yang melampaui batas :

إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ

"Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kalian ini adalah kaum yang melapaui batas" [QS.Al-A'raf/7 : 81]. Artinya, mereka melampaui batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Allah.

Allah menamakan mereka sebagai kaum perusak dan orang yang zhalim .

قَالَ رَبِّ انْصُرْنِي عَلَى الْقَوْمِ الْمُفْسِدِينَ ﴿٣٠﴾ وَلَمَّا جَاءَتْ رُسُلُنَا إِبْرَاهِيمَ بِالْبُشْرَىٰ قَالُوا إِنَّا مُهْلِكُو أَهْلِ هَٰذِهِ الْقَرْيَةِ ۖ إِنَّ أَهْلَهَا كَانُوا ظَالِمِينَ

"Luth berdo'a. 'Ya Tuhanku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab) atas kaum yang berbuat kerusakan itu'. Dan tatkala utusan Kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim membawa kabar gembira, mereka mengatakan, 'Sesungguhnya kami akan menghancurkan penduduk (Sodom) ini. Sesunguhnya penduduknya adalah orang-orang yang zhalim" [QS. Al-Ankabut/29: 30-31]

Terdapat beberapa hadis yang menjelaskan hukuman pelaku homo,

Pertama, mereka mendapatkan Laknat dan Azab dari ALLAH :

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ

"Ingatlah Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya, 'Sesungguhnya, kalian telah melakukan al-fahisyah, yang belum pernah dilakukan seorang pun di alam ini.'" (QS. Al-Ankabut:28)

فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ

"Tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi." (QS. Hud: 82).

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


لَعَنَ اللَّهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ ، لَعَنَ اللَّهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ ، ثَلاثًا

Allah melaknat manusia yang melakukan perbuatan homo seperti kaum Luth… Allah melaknat manusia yang melakukan perbuatan homo seperti kaum Luth… 3 kali. –(HR. imam Ahmad 2915 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Rasullullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.


مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ

"Barangsiapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah kedua pelakunya" [HR. imam Tirmidzi : 1456, Abu Dawud : 4462, Ibnu Majah : 2561 dan Ahmad : 2727]

Dari Jabir Radhiyallahu 'anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.


إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِى عَمَلُ قَوْمِ لُوطٍ

"Sesungguhnya yang paling aku takuti (menimpa) umatku adalah perbuatan kaum Luth" –[HR imam Ibnu Majah : 2563, 1457. Tirmidzi berkata : Hadits ini hasan Gharib, Hakim berkata, Hadits shahih isnad]

Kedua, dihukum bunuh, baik yang jadi subjek maupun objek.

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ

"Siapa menjumpai orang yang melakukan perbuatan homo seperti kelakuan kaum Luth maka bunuhlah pelaku dan objeknya!" (HR. imam Ahmad 2784, Abu Daud 4462, dan disahihkan al-Albani).

Para Ulama pengikut madzhab Hambali menukil ijma' (kesepakatan) para sahabat yang mengatakan bahwahukuman homoseks adalah dibunuh. Mereka berdalil dengan hadits: "Barangsiapa yang kalian dapatkan melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah yang menyetubuhi dan yang disetubuhi".

Mereka juga berdalil dengan Sikap Ali Radhiyallahu 'anhu yang menghukum rajam orang yang melakukan homoseksual. Imam Syafi'i berkata : "Dengan ini, kita berpendapat merajam orang yang melakukan perbuatan homoseksual, baik dia seorang muhsan atau bukan".

Dan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Khalid bin Walid bahwa pernah ada di pinggiran kota Arab ; seorang laki-laki yang dinikahi sebagaimana dinikahinya seorang perempuan. Maka dia menulis surat kepada Abu Bakar Shiddik Radhiyallahu 'anhu. Abu Bakar lalu bermusyawarah dengan para sahabatnya.

Orang yang paling keras pendapatnya adalah Ali Radhiyallahu 'anhu. Dia berkata, "Tidaklah melakukan perbuatan ini kecuali hanya satu ummat dan kalian telah mengetahui apa yang telah Allah lakukan kepada mereka. Aku berpendapat agar dia dibakar dengan api". Kemudian Abu Bakar mengirim surat kepada Khalid bin Walid untuk membakarnya.

Ulama, Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, "Para sahabat telah menerapkan hukum bunuh terhadap pelaku homoseks. Mereka hanya berselisih pendapat bagaimana cara membunuhnya"
Beliau menyebutkan riwayat dari Khalid bin Walid Radhiyallahu 'anhu.

Ketika beliau diberi tugas oleh Khalifah Abu Bakr Radhiyallahu 'anhu untuk memberangus pengikut nabi-nabi palsu, di pelosok jazirah arab, Khalid menjumpai ada seorang lelaki yang menikah dengan lelaki. Kemudian beliau mengirim surat kepada Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Mari Kita simak penuturan Ibnul Qoyim,


فاستشار أبو بكر الصديق الصحابة رضي الله عنهم فكان على بن أبي طالب أشدهم قولا فيه فقال ما فعل هذ الا أمة من الأمم واحدة وقد علمتم ما فعل الله بها أرى أن يحرق بالنار فكتب أبو بكر الى خالد فحرقه

Abu Bakr as-Shiddiq bermusyawarah dengan para sahabat Radhiyallahu 'anhum. Ali bin Abi Thalib yang paling keras pendapatnya. Beliau mengatakan,


"Kejadian ini hanya pernah dilakukan oleh satu umat, dan kalian telah mengetahui apa yang Allah lakukan untuk mereka. Saya mengusulkan agar mereka dibakar."

Selanjutnya Abu Bakr mengirim surat kepada Khalid, lalu beliau membakar pelaku pernikahan homo itu.

Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhuma berkata, "Dipertontonkan dari bangunan yang paling tinggi lalu dilemparkan (ke bawah) diikuti lemparan batu".

Dengan demikian hukuman bagi pelaku homoseks adalah bisa dengan cara dibakar, dirajam dengan batu, atau bisa dengan di-lempar dari bangunan yang paling tinggi yang diikuti lemparan batu, atau dipenggal lehernya. Ada pula yang mengatakan ditimpakan tembok kepadanya.

Imam Ibnul Qoyim melanjutkan pendapat Ibnu Abbas,


وقال عبد الله بن عباس ان ينظر أعلا ما في القرية فيرمى اللوطى منها منكسا ثم يتبع بالحجارة وأخذ ابن عباس هذا الحد من عقوبة الله للوطية قوم لوط

Sementara Ibnu Abbas mengatakan,

"Lihat tempat yang paling tinggi di kampung itu. Lalu pelaku homo dilemparkan dalam kondisi terjungkir. Kemudian langsung disusul dengan dilempari batu."

Ibnu Abbas berpendapat demikian, karena inilah hukuman yang Allah berikan untuk pelaku homo dari kaumnya Luth. –(kitab al-Jawab al-Kafi, hlm. 120)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,


وَقَدْ وَرَدَ فِي الْحَدِيثِ الْمَرْوِيِّ فِي السُّنَنِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ مَرْفُوعًا "مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعَمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ".
وَذَهَبَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ فِي قَوْلٍ عَنْهُ وَجَمَاعَةٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ إِلَى أَنَّ اللَّائِطَ يُقْتَلُ، سَوَاءٌ كَانَ مُحْصَنًا أَوْ غَيْرَ مُحْصَنٍ، عَمَلًا بِهَذَا الْحَدِيثِ.
وَذَهَبَ الْإِمَامُ أَبُو حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ إِلَى أَنَّهُ يُلْقَى مِنْ شَاهِقٍ، ويُتبَع بِالْحِجَارَةِ، كَمَا فُعِلَ اللَّهُ بِقَوْمِ لُوطٍ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

"Dan telah disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Sunnah dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma secara marfu' (sampai kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda),


مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعَمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ

"Siapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth, kaka bunuhlah kedua pelakunya."

Mazhab Al-Imam Asy-Syafi'i dalam satu pendapat yang diriwayatkan dari beliau dan sekelompok ulama (mazhab lainnya) bahwa pelaku hubungan sejenis harus dihukum mati (oleh Pemerintah), sama saja sudah pernah menikah atau belum, sebagai pengamalan terhadap hadits ini.

Adapun Mazhab Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah hukumannya adalah dilempar dari tempat yang tinggi lalu disusul dengan lemparan batu, sebagaimana yang Allah lakukan kepada kaum Luth, wallaahu subhanahu wa ta'ala a'lam bish showaab." [Tafsir Ibnu Katsir, 3/342]

Bahkan hukuman mati terhadap pelaku hubungan sejenis adalah kesepakatan seluruh sahabat Nabi Muhammad shallallahu'alaihi wa sallam. Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata,


وَأَطْبَقَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى قَتْلِهِ، لَمْ يَخْتَلِفْ مِنْهُمْ فِيهِ رَجُلَانِ، وَإِنَّمَا اخْتَلَفَتْ أَقْوَالُهُمْ فِي صِفَةِ قَتْلِهِ، فَظَنَّ النَّاسُ أَنَّ ذَلِكَ اخْتِلَافًا مِنْهُمْ فِي قَتْلِهِ، فَحَكَاهَا مَسْأَلَةَ نِزَاعٍ بَيْنَ الصَّحَابَةِ، وَهِيَ بَيْنَهُمْ مَسْأَلَةُ إِجْمَاعٍ لَا مَسْأَلَةُ نِزَاعٍ.

"Para sahabat Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam menerapkan hukuman mati atas pelaku hubungan sejenis, tidak ada dua orang sahabat yang berbeda pendapat dalam permasalahan ini, hanya saja mereka berbeda pendapat tentang cara membunuhnya, lalu sebagian orang mengira bahwa para sahabat berbeda pendapat dalam permasalahan hukuman mati atas pelakunya, kemudian mereka menukilnya sebagai permasalahan khilaf di antara sahabat, padahal permasalahannya adalah ijma' (kesepakatan) sahabat bukan permasalahan khilaf." –[kitab Al-Jawaabul Kaafi, hal. 170]

Maka jelaslah bahwa para sahabat, sebaik-baik generasi umat ini, yang dibina langsung oleh Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam, yang paling mengerti hukum-hukum Islam, seluruhnya sepakat bahwa perbuatan itu hukumnya haram dan pelakunya harus diberikan hukuman maksimal, yaitu hukuman mati…!

Demikian Penjelasannya. Semoga bermanfaat.

Wallahu Subhanahu Wa Ta'Ala A'lam Bish Showab

Minggu, 14 Februari 2016

KEUTAMAAN PARA SAHABAT YANG IKUT PERANG BADAR

Allah Azza wa Jalla berfirman : 

وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ ۖ فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ 

Sungguh Allah telah menolong kalian dalam peperangan Badar, padahal kalian adalah (ketika itu) lemah. Karena itu, bertakwalah kepada Allah, supaya kalian mensyukuri-Nya. [Ali Imrân/3:123]

Ketika menjelaskan makna ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan : "Yaitu saat terjadi perang Badar yang bertepatan dengan hari Jum'at tanggal 17 Ramadhan tahun 2 Hijrah. Hari itu disebut juga Yaumul furqân (hari pembedaan antara yang haq dan yang batil-red). Pada hari itu Allah Azza wa Jalla memuliakan Islam dan kaum Muslimin serta menghancurkan kesyirikan serta pendukungnya, padahal jumlah kaum Muslimin yang ikut serta ketika itu sedikit…" . Allah Azza wa Jalla memuliakan rasul-Nya dan memenangkan wahyu-Nya; Allah Azza wa Jalla ceriakan wajah rasul-Nya serta pengikutnya; Allah Azza wa Jalla sengsarakan setan dan pengekornya. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla mengingatkan bahwa Allah Azza wa Jalla telah menolong kamu dalam peperangan Badar, maksudnya jumlah kalian sedikit, supaya mereka menyadari bahwa kemenangan itu semata-mata anugerah dari Allah Azza wa Jalla bukan karena kuantitas ataupun persiapan yang matang. Oleh karena itu dalam ayat lain, Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَيَوْمَ حُنَيْنٍ ۙ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا 

Dan (Ingatlah) pada peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (kalian), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepada kalian sedikitpun. [at-Taubah/9:25]

Itulah sekilas tentang peristiwa Perang Badar yang Allah Azza wa Jalla abadikan dalam al-Qur'ân. Ayat ini juga dibawakan oleh Imam Bukhâri dalam kitab shahîh beliau rahimahullah tentang perang Badar.[1] 

Keutamaan Para Sahabat Yang Ikut Serta Dalam Perang Badar.
1. Mereka Termasuk Umat Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Yang Terbaik.
Imam Bukhâri membawakan sebuah riwayat dari Rifâ'ah, salah seorang Sahabat yang ikut serta dalam perang Badar. Rifâ'ah Radhiyallahu anhu mengatakan bahwa Jibril Alaihissallam mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan bertanya : "Bagaimana kalian memandang orang-orang yang ikut sserta dalam perang Badar?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Mereka termasuk kaum Muslimin yang terbaik." atau kalimat yang seperti itu. Jibril Alaihissallam mengatakan : "Begitu juga para malaikat yang ikut dalam Perang Badar." [HR Bukhâri, Kitâbul Maghâzi, 9/56, no. 3992]

Sementara, ada juga di antara para Sahabat yang mengatakan lebih suka ikut serta dalam Bai'atul Aqabah daripada perang Badar. Ibnu Hajar rahimahullah ketika menjelaskan perkataan (tentang hal ini-red) dari salah seorang Sahabat yang bernama Rafi'(orang tua Rifâ'ah Radhiyallahu anhuma), mengatakan : "Yang nampak, Râfi bin Mâlik Radhiyallahu anhu tidak mendengar penjelasan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang keutamaan para Sahabat yang ikut andil dalam Perang Badar dibandingkan dengan para Sahabat lainnya. Sehingga, beliau Radhiyallahu anhu mengucapkan perkataan itu berdasarkan ijtihâd beliau Radhiyallahu anhu. Râfi Radhiyallahu anhu memandang bahwa Bai'atul Aqabah merupakan titik awal pertolongan Islam dan merupakan penyebab hijrah, sehingga memungkinkan untuk bersiap-siap melakukan peperangan.[2] 

2. Dosa-Dosa Mereka Diampuni.
Enam tahun setelah peristiwa Perang Badar, ada sebuah peristiwa yang sempat membuat Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu geram dan meminta agar diidzinkan membunuh orang dianggap pengkhianat oleh Umar Radhiyallahu anhu. Namun permintaan ini ditolak oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan perkataan Umar Radhiyallahu anhu diingkari oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam . Kisah ini diceritakan oleh Ali bin Abi Thâlih Radhiyallahu anhu. Beliau Radhiyallahu anhu mengatakan : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus kami yaitu aku, Zubair dan Miqdâd. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada kami : "Pergilah kalian ke daerah Raudhah Khakh! Di sana ada seorang wanita yang sedang membawa sepucuk surat. ambillah surat tersebut !" Lalu kami berangkat, kuda kami berlari kencang membawa kami. Lalu bertemulah kami dengan wanita (yang dimaksudkan oleh Rasulullah) itu. Kami berkata kepada wanita itu : "Keluarkanlah surat (yang sedang engkau bawa-pent) !" Perempuan itu mengelak : "Aku tidak membawa surat." Kami berkata lagi : "Keluarkanlah surat itu atau kamu harus menanggalkan pakaianmu!" Akhirnya ia mengeluarkan surat itu dari sela-sela kepangan rambutnya. Kemudian kami membawa surat itu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ternyata surat itu dari Hâthib bin Abu Balta'ah untuk orang-orang musyrik di kota Mekah. Dia memberitahukan beberapa rencana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam . Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada Hâthib : "Wahai Hâthib apa ini ?" Hâthib menjawab : "Jangan terburu (menghukumi telah kafir[3] ), wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku dahulu adalah seorang yang akrab dengan orang-orang Quraisy." Sufyân (salah seoang yang membawakan riwayat ini-pent) menjelaskan: "Ia pernah bersekutu dengan mereka meskipun dia bukan berasal dari Quraisy." (Hathib bin Abi Balta'ah melanjutkan pembelaan dirinya-pent) : "Para Muhajirin yang ikut bersamamu mempunyai kerabat yang dapat melindungi keluarga mereka (di Mekah). Dan karena aku tidak mempunyai nasab di tengah-tengah mereka, aku ingin memiliki jasa untuk mereka sehingga dengan demikian mereka mau melindungi keluargaku. Aku melakukan ini bukan karena kekufuran, bukan karena murtad, bukan pula karena aku rela dengan kekufuran setelah memeluk Islam." Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Dia benar." Umar Radhiyallahu anhu mengatakan: "Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, biarkanlah aku memenggal leher orang munafik ini!" Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : "Sesungguhnya dia telah ikut serta dalam perang Badar dan kamu tidak tahu barangkali Allah telah melihat kepada para Sahabat yang ikut serta dalam Perang Badar lalu berfirman : "Perbuatlah sesuka kalian karena sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian !" Kemudian Allah Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya : 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ ۙ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي ۚ تُسِرُّونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا أَخْفَيْتُمْ وَمَا أَعْلَنْتُمْ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ

Waihai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu. Mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Rabbmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang sementara Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nampakkan. Barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus. [al-Mumtahanah/60:1][4] 

Penyusun kitab Tuhfatul Ahwadzi mengatakan : "Tarajjiy (ungkapan semoga atau barangkali) dalam firman Allah Azza wa Jalla dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam itu untuk suatu yang pasti terjadi " [5] 

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: "Ada kesulitan dalam memahami perkataan: "Berbuatlah sekehendak kalian!"; dzâhir ucapan ini menunjukkan kebolehan melakukan apa saja, dan ini bertentangan dengan ikatan syari'at. Anggapan ini dibantah dengan mengatakan bahwa maksud perkataan itu adalah pemberitahuan tentang suatu yang telah lewat artinya semua perbuatan yang telah kalian lakukan itu telah diampuni. Ini dikuatkan dengan (gaya pengungkapannya-pent), seandainya itu untuk perbuatan-perbuatan di masa yang akan datang, tentu Allah Azza wa Jalla tidak menggunakan kata kerja bentuk lampau (yaitu Aku telah ampuni-pent) dan tentu Allah Azza wa Jalla mengatakan : "Aku akan ampuni kalian." Pendapat ini dibantah lagi, seandainya ini untuk masa yang telah lewat tentu ungkapan ini tidak bisa dijadikan dalil bagi kisah Hâthib. Karena ucapan ini diucapkankan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Umar Radhiyallahu anhu sebagai pengingkaran beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap perkataan Umar Radhiyallahu anhu dalam masalah Hâthib Radhiyallahu anhu, dan kisah ini terjadi enam tahun setelah perang Badar. Ini menunjukkan bahwa maksud hadits di atas adalah pengampunan di masa yang akan datang. Pengungkapannya dengan menggunakan kata kerja bentuk lampau sebagai bentuk penekanan bahwa itu benar-benar akan terealisasi. 

Ada juga yang mengatakan: "Kata kerja bentuk perintah, "Berbuatlah sekehendak kalian!" itu adalah bentuk pemuliaan. Maksudnya mereka tidak akan disiksa akibat perbuatan yang mereka lakukan setelah perang Badar. Ini merupakan keistimewaan bagi mereka karena mereka telah mengalami kondisi sulit yang menyebabkan dosa-dosa mereka terhapuskan dan berhak mendapatkan pengampunan dari Allah Azza wa Jalla.[6] 

Para Ulama sepakat bahwa kabar gembira yang disebutkan ini berkaitan dengan hukum-hukum akhirat, bukan hukum-hukum dunia seperti pelaksanaan had dan lain sebagainya.[7] Sebagaimana yang terjadi pada Qudâmah bin Mazh'ûn, salah seorang Sahabat yang ikut serta dalam Perang Badar kemudian minum khamer pada masa pemerintahan Umar Radhiyallahu anhu sehingga Qudâmah dikenai hukuman dunia.

3. Mereka Termasuk Penghuni Surga.
Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu menceritakan bahwa Haritsah bin Suraqah gugur dalam Perang Badar. Kemudian, ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kembali ke Madinah, ibu Haritsah datang menghadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengatakan: "Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , anda sudah tahu kedudukan Haritsah dalam diriku. Kalau ia berada dalam surga, saya pasti bisa sabar dan akan tabah, tetapi kalau tidak, maka engkau akan melihat apa akan saya perbuat!" 

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : "Celakalah engkau, apakah surga itu hanya satu ? Sesungguhnya surga itu banyak dan sesungguhnya Haritsah itu berada di surga Firdaus." [HR Bukhâri, al-Fathu 9/45, no. 3982]

Dalam riwayat Imam Ahmad dengan sanad yang sesuai dengan syarat Imam Muslim dari hadits Jâbir, ditegaskan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 

لَنْ يَدْخُلَ النَّارَ أَحَدٌ شَهِدَ بَدْرًا 

Yang ikut serta dalam Perang Badar tidak akan masuk neraka [8] 

Inilah beberapa keistimewaan para Sahabat yang ikut serta dalam Perang Badar. Keistimewaan-keistimewaan ini disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam . Maka, hendaklah kita berhati-hati dan menjaga lisan kita agar tidak mengomentari para Sahabat dengan komentar-komentar yang buruk, apalagi mereka yang ikut serta dalam Perang Badar. Cukuplah pengingkaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap perkataan Umar Radhiyallahu anhu sebagai peringatan bagi kita. 

Referensi :
- Fathul Bâri, Dâr Tîbah, Cet. Pertama tahun 1426 H/2005 M
- Tafsir Qur'ânil 'Azhîm, karya Abul Fidâ' Ismâil Ibnu Katsîr, Maktabah Dârul Faiha dan Maktabah Dârus salâm, Cet. Kedua, tahun 1417 H/1998 M
- Tuhfatul Ahwaziy, Dârul Fikr

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XIII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Al-Fath, 9/14
[2]. Al-Fath, 9/57-58
[3]. Tuhfatul Ahwazy, 9/200
[4]. HR Bukhâri, no. 3983 dan 4274, Muslim serta yang lainnya
[5]. Lihat tuhfatul Ahwadzy, 9/201
[6]. Al-Fath, 9/46
[7]. Al-Fath, 9/47
[8]. Al-Fath, 9/46

Sabtu, 13 Februari 2016

Kesombongan Menghalangi Hidayah

Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam mengabarkan bahwa kesombongan menghalangi seseorang untuk masuk ke dalam surga.

Pembaca yang budiman, a'azzaniyallahu wa iyyakum, Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam mengabarkan dalam sebuah hadits bahwa tidak akan masuk surga orang yang ada di dalam hatinya terdapat kesombongan.

Beliau Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda: "tidak akan masuk surga, orang yang ada di dalam hatinya sebesar biji sawi kesombongan".

Lalu ada seorang lelaki dari sahabat RasulullahShallallahu'alaihi Wasallam berkata: "wahai Rasulullah, salah seorang dari kami ingin agar bajunya bagus, demikian pula sandalnya bagus, apakah itu termasuk kesombongan wahai Rasulullah?". Maka Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallambersabda: 'Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan. Adapun kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia" (HR. Muslim, no.91).

Dalam hadits ini RasulullahShallallahu'alaihi Wasallam mengabarkan bahwa kesombongan menghalangi seseorang untuk masuk ke dalam surga. Dan Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam juga menjelaskan hakikat kesombongan, bahwa kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh manusia.
Ketika suatu kebenaran telah sampai kepada seseorang, berupa Al Qur'an dan hadits Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam, kemudian ia menolaknya karena kelebihan yang ia miliki atau kedudukan yang ia miliki. Maka ini menunjukkan adanya kesombongan dalam dirinya.

Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallammengatakan, sombong itu menolak kebenaran, dan kebenaran itu adalah apa yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, berupa Al Qur'an dan hadits NabiShallallahu'alaihi Wasallam. Betapa banyak kesombongan yang menyebabkan seseorang terhalang dari kebenaran.
Lihatlah iblis la'nathullah, ia tidak mau sujud kepada Nabi Adam 'alaihissalam karena kesombongan yang ada dalam hatinya. Allah Ta'ala berfirman: "ia enggan dan sombong sehingga ia pun termasuk orang-orang kafir" (QS. Al Baqarah: 34).
Lihatlah Fir'aun, ia merasa sombong dengan kelebihannya, ia merasa sombong dengan kedudukan yang ia miliki. Sehingga ia menolak dakwah yang disampaikan Nabi Musa 'alaihisshalatu was salam. "Kami utus Musa dan Harun kepada Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya, dengan (membawa) tanda-tanda (mukjizat-mukjizat) Kami, maka mereka menyombongkan diri dan mereka adalah orang-orang yang berdosa" (QS. Yunus: 75).
Maka lihatlah wahai saudaraku, orang yang bersombong diri biasanya ia tidak bisa mendapatkan hidayah dari Allah Subhaanahu wa Ta'ala.

Dan Subhaanallah… dalam hadits ini seorang sahabat bertanya kepada NabiShallallahu'alaihi Wasallam, "wahai Rasulullah, salah seorang dari kami ingin agar bajunya bagus, demikian pula sandalnya bagus, apakah itu termasuk kesombongan?". Maka Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam seakan mengatakan, "itu bukan kesombongan, Allah itu indah dan mencintai keindahan".
Artinya pakaian yang bagus bukan termasuk kesombongan sama sekali, bahkan itu suatu hal yang dicintai oleh Allah karena menunjukkan keindahan sebagai suatu nikmat yang diberikan oleh Allah. Bahkan memperlihatkan kenikmatan adalah bentuk rasa syukur kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda: "Sesungguhnya Allah suka melihat tampaknya bekas nikmat Allah pada diri hamba-Nya" (HR. Tirmidzi, no.2819.
Ia berkata: "hasan", dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami').

Akan tetapi kesombongan itu ketika seseorang menolak kebenaran atau ia menganggap remeh orang lain. Baik karena orang yang ia remehkan itu miskin atau ia lebih rendah derajatnya dalam masalah ilmu dan amalan shalih. Saudaraku, dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda: "cukuplah bagi seseorang itu keburukan, ia menganggap remeh Muslim yang lain" (HR. Muslim, no.2564).

Terkadang misalnya kita orang yang memiliki kekayaan, dan punya kelebihan. Ketika kita melihat orang miskin yang tidak punya kekayaan, kita pandang dia dengan pandangan yang remeh sekali. Ini lah bentuk meremehkan orang. Atau misalnya orang yang memiliki kedudukan, mungkin Bupati, presiden, atau camat, ketika melihat orang biasa atau rakyat jelata ia merasa dirinya punya kelebihan, lalu ia pun bersombong diri. Atau misalnya kita diberi kelebihan berupa amalan shalih, terkadang ketika melihat orang yang amalan shalihnya kurang, kita merasa memiliki kelebihan dan melecehkan dia. Terkadang juga kita merasa punya kelebihan ilmu dan harta banyak sedekah baik dengan ilmunya atau hartanya, punya titel yang tinggi, ketika melihat orang yang lebih rendah titelnya lebih sedikit ilmunya lebih sedikit amal dan sedekah nya, dalam diri kita terasa ada sesuatu perasaan lebih baik dari dia. Inilah sebenarnya benih-benih kesombongan.

Terlebih ketika ada orang yang menasehati atau memberikan saran kepada kita adalah orang yang lebih muda lebih miskin dari kita atau orang yang tidak lebih berilmu dari kita.
Terkadang kesombongan dan keangkuhan muncul di hati kita sehingga kita enggan untuk menerima nasehat-nasehatnya. Ini juga merupakan fenomena kesombongan.
Dan bukankah seorang Mukmin yang sejati itu senantiasa menerima nasehat?
AllahTa'ala berfirman (yang artinya): "Berilah peringatan! Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman" (QS. Adz Dzariyat: 55).

Dan subhaanallah, ini sangat menakutkan sekali. Karena Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda: "tidak akan masuk surga, orang yang ada di dalam hatinya sebesar biji sawi kesombongan". Hanya sebesar biji sawi dari kesombongan, ternyata menyebabkan kita tidak masuk surga.

Ikhwati fillah rahimaniy wa rahimakumullah, sudah menjadi kewajiban kita untuk menyadari bahwa apa yang Allah berikan kepada kita berupa kelebihan-kelebihan baik itu kekayaan, kedudukan, hakikatnya adalah pemberian dari Allah Subhanahu wa ta'ala. Orang kaya hendaknya sadar, kekayaan itu datangnya dari Allah. Orang yang mempunyai kedudukan hendaknya sadar, bahwa kedudukan itu adalah amanah di sisi Allah yang akan dimintai pertanggung-jawabannya. Bukan untuk disombongkan sama sekali.
Orang yang berilmu segera sadar bahwa ilmunya itu bukan untuk disombongkan, tapi untuk menjadikan ia lebih tawadhu dan lebih takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Orang yang beramal shalih, banyaknya amal shalih, bukan untuk dibanggakan dan disombongkan. Akan tetapi untuk membuat ia lebih dekat kepada Allah.

Maka, saudaraku a'azzaniyallah waiyyakum, orang yang sombong itu pada hakikatnya tidak menyadari jati dirinya, tidak menyadari siapa dia sebenarnya. Bahwa dia hakikatnya adalah seorang hamba, hamba yang tidak punya dan tidak memiliki apa-apa. Dia faqir kepada Allah, faqir kepada rahmat-Nya dan karunia-Nya.
Lalu untuk apa ia menyombongkan diri dengan segala kelebihannya sementara pada hakikatnya ia tidak memiliki apapun.
Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Wahai umat manusia! Kalian adalah fakir kepada Allah. Adapun Allah, maka Dia Maha Kaya lagi Maha Terpuji" (QS. Fathir: 15).

Saudaraku, terkadang penting sekali untuk melihat bagaimana pemberian Allah kepada kita dan kekuasaan Allah yang berikan kepada kita. Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan alam semesta yang begitu luar biasa, keindahan alam yang luar biasa, semua itu milik Allah. Allah menciptakan tubuh kita dengan bentuk yang indah, Allah Subhanahu wa Ta'ala sediakan bagi kita berbagai macam harta dan kebutuhan, jika seorang hamba menyadari semua ini saya yakin ia akan ber-tawadhu' (rendah diri). Dan tawadhu' itu adalah akhlak yang sangat agung. Allah Ta'ala berfirman (yang artinya): "Ibadurrahman adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati (tawadhu') dan apabila orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik." (QS. Al Furqaan: 63). Dan Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallambersabda: "tidaklah salah seorang di antara kalian ber-tawadhu kecuali Allah akan meninggikannya derajatnya" (HR. Muslim, no.2588).

Bahkan manusia sendiri pun tidak suka kepada orang yang sombong. Ketika kita melihat ada orang yang angkuh, pasti kita tidak suka. Tapi ketika kita melihat orang yang tawadhu, yang tidak menonjolkan kelebihannya di hadapan orang, bahkan ia merasa takut kalau Allah mengadzabnya sekonyong-konyong, itu adalah orang yang Allah jadikan kecintaan kepada dia di hati-hati para hamba karena sikap tawadhu'-nya tersebut.

Maka dari itu saudaraku, jika kita diberi Allah Subhanahu wa Ta'ala kelebihan, berhati-hatilah. Segera introspeksi diri, segera periksa hati kita. Kalau AllahSubhanahu wa Ta'ala memberikan kepada kita kekayaan, kedudukan, atau kelebihan dalam beramal shalih, segera periksa hati kita jangan sampai itu menimbulkan kesombongan yang menyebabkan kita terhalang masuk ke dalam surga.

Washalatu wassalamu 'ala nabiyyina Muhammadin wa 'ala alihi wa shahbihi ajmain.

***

Ust. Badrusalam, Lc., dinukil dari buletin Al Hikmah edisi 3-27, yang diterbitkan Radio Rodja

Artikel Muslim.or.id

Selasa, 02 Februari 2016

BERUNTUNGLAH MENJADI ORANG TAK DIKENAL

Banyak kisah para salaf yang bermunajat memuja Rab mereka, menjadikan tetesan air mata sebagai kalimat doa.
Ada pula yang berderma tanpa berharap satu pun lirik mata.
Mereka lebih senang tak dikenal dan disanjug.
Walaupun mereka pemilik amalan yang agung.

Berbeda dengan pandangan khalayak masa kini.
Bekerja dalam diam dinilai tidak berkontribusi.
Popularitas merupakan sebuah harga.
Penghargaan dan penghormatan adalah kebanggaan.
Pujian adalah harapan.

Salah seorang ulama besar generasi tabiut tabi'in, Abdullah bin al-Mubarak, mengatakan tidak dikenal dan tidak disanjung adalah kehidupan.
Menjadi biasa di mata manusia adalah harapan.

Salah seorang murid beliau, Hasan bin Rabi', bercerita, "Suatu hari, aku bersama Ibnul Mubarak menuju tempat minum umum. Orang-orang (mengantri) minum dari tempat tersebut. Lalu Ibnul Mubarak mendekat ke tempat peminuman umum itu, tidak ada orang yang mengenalinya. Mereka memepet-mepet bahkan mendorong-dorongnya.

Ketika keluar dari desak-desakan tersebut, Ibnul Mubarak berkata, 'Yang seperti inilah baru namanya hidup. Ketika orang tidak mengenalmu dan tidak mengagung-agungkanmu'." (Shifatu Shafwah, 4/135).

Mungkin Anda adalah seorang aktivis yang dihargai di rantau. Menjadi pembicara di mimbar dan memimpin jamaah shalat. Mewakili universitas atau bahkan delegasi negara. Saat pulang, Anda dianggap biasa. Tidak memiliki keistimewaan di masyarakat. Maka nikmatilah keadaan tersebut. Karena itulah hakikat hidup.

Bila masa Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhu keluar dari rumahnya. Lalu orang-orang mengikutinya. Lalu beliau bertanya, "Apakah kalian ada keperluan?" Mereka menjawab, "Tidak ada. Kami hanya ingin berjalan bersamamu". Ibnu Mas'ud menegur mereka, "Pulanglah (jangan ikuti aku). Yang demikian itu kehinaan bagi yang mengikuti dan fitnah (ujian ketenaran) bagi yang diikuti". (Shifatu Shafwah, 1/406).

Diikuti masa dan ditempeli teman kesana kemari dapat mengeraskan hati. Manusia bisa merasa bernilai luar biasa, padahal di sisi Allah dia bukanlah siapa-siapa.

Jangan berobsesi menjadi terkenal karena ilmu dan amal. Kalau bisa memiliki peranan dan tidak dikenal, maka itu lebih bernilai. Bukanlah manusia tempat kita berharap balasan. Akan tetapi apa yang ada di sisi Allah ﷻ lah yang terbaik.

Sumber:
– al-Jalil, Abdul Aziz bin Nashir. 1994. Aina Nahnu min Akhlaq as-Salaf. Riyadh: Dar at-Thayyibah.

Oleh Nurfitri Hadi
Sumber Artikel : KisahMuslim .com