Sabtu, 30 Januari 2016

Kaedah Interaksi Sesama

Oleh Ustadz:
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc

Ada beberapa kaedah yang bisa kami sarikan dari para ulama tentang kaedah berinteraksi atau bergaul atau menyikapi orang lain.

Kaedah pertama dari Imam Al-Ghazali,

وَحُسْنُ الخُلُقِ بِالناس هُوَ أَلاَّ تَحْمِلُ النَّاسَ عَلَى مُرَادِ نَفْسِكَ بَلْ تَحْمِلُ عَلَى مُرَادِهِمْ مَا لَمْ يُخَالِفِ الشَّرْعَ

"Cara berakhak terhadap sesama adalah memperlakukan orang lain bukan distandarkan pada keinginan kita, namun distandarkan pada keinginan mereka selama tidak menyelisihi syari'at." (Ayyuhal Walad, hlm. 63)

Contoh: Apa standar makanan yang diberikan pada tamu kita? Tergantung pada tamu tersebut. Siapa tahu tamu yang kita layani punya pantangan pada makanan tertentu yang tidak cocok dengan daerah kita, maka pantangannya tadi jangan diberi. Sehingga memberikan sajian makan –misalnya- bukan pakai standar kita, namun standar siapa yang kita layani.

 

Kaedah kedua,

تَخْتَلِفُ طَرِيْقَةُ التَّعَامُلِ تَبْعاً لاِخْتِلاَفِ العَلاَقَةِ: الوالد مع ولده, الزوج مع زوجته, الرئيس مع مرؤوسه, والعكس

"Cara interaksi berbeda-beda tergantung pada status hubungan. Sehingga berbeda cara interaksi antara orang tua dan anak, antara suami dan istri, antara kepala negara dan rakyatnya, begitu pula sebaliknya."

 

Kaedah ketiga,

أَنَّ التَّعَامُلَ يَتَغَيَّرُ بِاخْتِلاَفِ الأَفْهَامِ وَالعُقُوْلِ. فَالرَّجُلُ الذَّكِيُّ الفَاهِمُ الوَاعِي تَخْتَلِفُ طَرِيْقَةُ تَعَامُلِهِ عَنِ الشَّخْصِ الآخَرِ المحْدُوْدِ العَقْلِ المحْدُوْدِ الفَهْمِ المحْدُوْدِ العِلْمِ, فَالحَدِيْثُ مَعَهُ يَكُوْنُ مُنَاسِباً لِطَبِيْعَتِهِ وَقُدْرَتِهِ عَلَى الفَهْمِ.

"Berinteraksi melihat pula dari latar belakang pemahaman dan kecerdasan yang tentu berbeda-beda. Beinteraksi dengan orang yang cerdas, mudah paham dan pinar tentu berbeda dengan orang yang logikanya, daya pahamnya dan ilmunya terbatas. Sehingga ketika berbicara pula hendaklah memperhatikan tabi'at dan kemampuan pemahamannya."

 

Kaedah keempat,

يَخْتَلِفُ أُسْلُوْبُ التَّعَامُلِ أَيْضًا بِاخْتِلاَفِ الشَّخْصِيَّةِ. فَطَرِيْقَةُ التَّعَامُلِ مِنْ شَخْصٍ شَكَّاكٍ وَحَسَّاسٍ تَخْتَلِفُ عَنْهَا مَعَ شَخْصٍ سَوِيٍّ, فَالطَّرِيْقَةُ تَخْتَلِفُ بِاخْتِلاَفِ الشَّخْصِيَّاتِ وَالصِّفَاتِ الَّتِي تَكُوْنُ بَارِزَةً فِيْهِمْ.

"Cara berinteraksi pula kadang mesti memandang sifat masing-masing orang. Sifat seseorang ada yang penuh dengan keragu-raguan, ada pula yang begitu sensitif. Seperti itu disikapi berbeda dengan orang yang biasa-biasa saja (berada dalam sifat yang lurus). Sehingga cara interaksi dengannya adalah tergantung apa yang dilihat pada sifat yang nampak pada dirinya

Semoga bernanfaat
Wassalam

Jumat, 15 Januari 2016

Benarkah Masalah Khilafiyah Tidak Perlu Diingkari?

Ust: Muhammad Abduh Tuasikal,

Pernyataan bahwa masalah khilafiyah tidak perlu diingkari tidaklah tepat. Yang tepat kita katakan,

لا إنكار في مسائل الاجتهاد

"Tidak ada pengingkaran dalam masalah ijtihadiyah."

Karena masalah khilafiyah sebenarnya ada dua macam:

1. Masalah yang sudah ada nash (dalil tegas) dari Al Qur'an, hadits dan tidak bisa ditentang, juga terdapat pendukung dari ijma' (kesepakatan para ulama). Jika dalam masalah ini ada orang yang berpendapat keliru yang datang belakangan dan menyelisihi ijma' atau menyelisihi qiyas jalii, maka masalah semacam ini boleh diingkari karena menyelisihi dalil.

2. Masalah yang tidak ada nash (dalil tegas) dari Al Qur'an, hadits, ijma', atauqiyas jalii atau terdapat hadits yang mendukung, akan tetapi diperselisihkan tentang keshahihan hadits tersebut atau hadits tersebut tidak jelas menjelaskan hukum dan bisa dimaknai dengan berbagai pernafsiran. Untuk masalah kedua, perlu adanya ijtihad dan penelitian mendalam tentang hukumnya.

Ibnu Taimiyah berkata, "Masalah ijtihadiyah seperti ini tidak boleh diingkari dengan tangan. Dan tidak boleh seorang pun memaksa untuk mengikuti pendapatnya. Akan tetapi yang dilakukan adalah sampaikanlah hujjah dengan alasan ilmiah. Jika telah terang salah satu dari dua pendapat yang diperselisihkan, ikutilah. Namun untuk pendapat yang lain tidak perlu diingkari (dengan keras)." (Majmu' Al Fatawa, 30: 80)

Contoh Masalah Khilafiyah

Masalah khilafiyah yang sudah ada nash tegas di dalamnya yang masuk dalam kategori pertama di atas yang jelas menyelisihi dalil dan patut diingkari seperti:

1. Mengingkari sifat-sifat Allah yang Allah telah memujinya sendiri dan telah ditetapkan pula oleh Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam. Pengingkaran semacam ini bisa jadi dalam bentuk takwil yaitu memalingkan dari makna sebenarnya yang tidak sejalan dengan Al Qur'an dan hadits.

2. Mengingkari kejadian-kejadian di masa mendatang seperti tanda-tanda kiamat yang telah dikabarkan oleh Nabishallallahu 'alaihi wa sallam. Contohnya mengingkari munculnya Dajjal dan turunnya Nabi Isa di akhir zaman.

3. Bolehnya memanfaatkan riba bank padahal riba telah jelas diharamkan.

4. Membolehkan nikah tanpa wali.

5. Membolehkan alat musik padahal termasuk kemungkaran sebagai disebutkan dalam dalil Al Qur'an dan hadits. Bahkan para ulama empat madzhab telah sepakat akan haramnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

وَلَمْ يَذْكُرْ أَحَدٌ مِنْ أَتْبَاعِ الْأَئِمَّةِ فِي آلَاتِ اللَّهْوِ نِزَاعًا

"Tidak ada satu pun dari empat ulama madzhab yang berselisih pendapat mengenai haramnya alat musik." (Majmu' Al Fatawa, 11: 576-577)

6. Menyatakan tidak dianjurkan shalat istisqo' (minta hujan) padahal telah terdapat dalil dalam Bukhari dan Muslim, juga yang lainnya yang menunjukkan perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallamm dan para sahabatnya untuk melaksanakan shalat tersebut.

7. Pendapat yang menyatakan tidak dianjurkannya puasa enam hari di bulan Syawal setelah melaksanakan puasa Ramadhan.

Masalah yang masih masuk ranah ijtihad yang boleh kita toleran dalam masalah ini seperti:

1. Perselisihan mengenai apakah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Allah di dunia.

2. Perselisihan apakah si mayit bisa mendengar pembicaraan orang yang masih hidup ataukah tidak.

3. Batalnya wudhu karena menyentuh kemaluan, menyentuh wanita atau sebab makan daging unta.

4. Qunut shubuh yang dibacakan setiap harinya.

5. Qunut witir apakah dibaca sebelum ruku' atau sesudahnya.

Syaikh Sholeh Al Munajjid berkata, "Masalah ini dan semisalnya yang tidak ada nash tegas di dalamnya yang menjelaskan hukumnya, maka tidak perlu diingkari dengan keras jika ada yang menyelisihi selama ia mengikuti salah satu ulama terkemuka dan ia yakin itu benar. Akan tetapi tidak boleh seorang pun mengambil suatu pendapat ulama seenak hawa nafsunya saja. Karena jika melakukan seperti ini, ia berarti telah mengumpulkan seluruh kejelekan.

Jika dikatakan tidak perlu mengingkari dengan keras pada orang yang menyelisihi dalam masalah ijtihadiyah, bukan berarti masalah tersebut tidak perlu dibahas atau tidak perlu dijelaskan manakah pendapat yang lebih kuat (rojih). Bahkan ulama dahulu hingga saat ini telah membahas masalah ijtihadiyah semacam ini. Jika telah jelas manakah pendapat yang benar, maka hendaklah kita rujuk padanya." (Fatawa Al Islam Sual wal Jawab no. 70491)

Penjelasan Para Ulama

Ibnu Taimiyah berkata, "Jika ada yang mengatakan bahwa masalah khilaf tidak perlu diingkari, maka itu tidaklah benar jika melihat dari sisi ucapan yang dihukumi atau amalan. Jika ada ucapan yang menyelisihi ajaran Rasul atau menyelisihi ijma' (kesepakatan para ulama), maka wajib mengingkarinya. Jika masalah tersebut tidak disepakati, maka boleh mengingkari untuk menjelaskan bahwa pendapat tersebut lemah dan menyebutkan pendapat yang benar dari ulama salaf atau para fuqoha'. Adapun jika ada amalan yang menyelisihi ajaran Rasul atau menyelisihi ijma', maka wajib mengingkarinya tergantung pada bentuk kemungkarannya. … Adapun jika dalam suatu permasalahan tidak ditunjukkan dalil yang tegas, juga tidak ada ijma', maka berijtihad ketika itu dibolehkan dan tidak perlu orang yang berijtihad dan yang mengikuti diingkari dengan keras. … Dalam masalah ijtihad ini selama tidak ada dalil yang tegas tidak perlu sampai mencela para mujtahid yang menyelisihinya seperti dalam permasalahan yang masih diselisihi para salaf." (Majmu' Al Fatawa, 9: 112-113)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, "Masalah khilaf sudah terjadi di antara para sahabat, tabi'in dan ulama sesudah mereka –radhiyallahu 'anhum ajma'in-. Hal seperti ini tidak perlu diingkari. Demikian mereka juga berkata bahwa tidak boleh bagi seorang mufti (ahli fatwa) dan tidak pula seorang qodhi (hakim) menentang orang  yang menyelisihinya selama hal itu tidak menyelisihi dalil yang tegas, ijma' (kesepakatan ulama) dan qiyas jalii." (Syarh Muslim, 2: 24)

Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin berkata, "Masalah khilafiyah terbagi menjadi dua macam:

1. Masalah ijtihadiyah yang boleh ada khilaf di dalamnya. Untuk masalah ini tidak boleh mengingkari dengan keras orang yang berijtihad. Adapun untuk orang awam, hendaklah mengikuti pendapat ulama yang ada di negeri masing-masing agar tidak keluar dari pendapat masyarakat yang ada. Karena jika kita katakan pada orang awam, "Ikutilah pendapat apa saja yang kau dapati." Akhirnya seperti ini, umat tidak bersatu.  Oleh karenanya Syaikh 'Abdurrahman As Sa'di rahimahullah berkata,

العوام على مذهب علمائهم

"Madzhab orang awam adalah sesuai dengan ulama mereka."

2. Masalah yang tidak boleh ada perselisihan di dalamnya dan bukan ranah ijtihad. Untuk masalah kedua ini boleh diingkari orang yang menyelisihinya karena tidak ada udzur saat itu." (Liqo' Al Bab Al Maftuh, kaset no. 49)

Kami tutup dengan nasehat bagi orang yang berilmu yang banyak jadi panutan. Imam Malik berkata,

لَيْسَ لِلْفَقِيهِ أَنْ يَحْمِلَ النَّاسَ عَلَى مَذْهَبِهِ

"Tidak boleh bagi seorang faqih (yang berilmu) mengajak manusia pada madzhabnya."  (Majmu' Al Fatawa, 30: 80). Namun ajaklah untuk mengikuti dalil.

Wallahu waliyyut taufiq.

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, tengah malam 27 Rajab 1433 H
Reposting from:

Selasa, 12 Januari 2016

JALAN MENUJU KABAHAGIAAN (BAGIAN 2 DARI 5)

Ustadz Firanda Andirja,

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Ikhwani fillāh a'āzaniyallāhu wa iyyakum,

Pada kesempatan yang berbahagia ini saya akan menyebutkan beberapa point yang bisa menenangkan hati dan membahagiakan kita dalam menghadapi pernak-pernik kehidupan yang tidak mungkin kita hindari.

Diantaranya:

■ SEBAB PERTAMA | KETAKWAAN KEPADA ALLĀH SUBHĀNAHU WA TA'ĀLA.

Takwa merupakan kalimat yang kita semua sudah hafal, tapi bukan kalimat yang sederhana, melainkan kalimat yang indah, tinggi dan butuh pembuktian.

Semua orang bisa mengucapkannya, tapi bagaimana kita mewujudkan ketakwaan tersebut dalam kehidupan kita sehari-hari.

Allāh Subhānahu wa Ta'āla telah menjanjikan:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (٢) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا (٣)

"Barangsiapa bertakwa kepada Allāh niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allāh niscaya Allāh akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allāh melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allāh telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." 

(QS Ath Thālaq: 2-3)

Allāh Subhānahu wa Ta'āla juga berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً

"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." 

(QS An Nahl: 97)

Oleh karenanya, tidak diragukan bahwasanya ketakwaan merupakan sumber kebahagiaan.

Lalu, bagaimana kita meraih ketaqwaan ini?

(Yaitu) Dengan banyak beramal shalih seperti: puasa, baca Al Qurān, shalat malam, bershadaqah. Ini merupakan bukti-bukti takwa.

Dan semua sebab-sebab yang akan saya sebutkan dari hal-hal yang bisa mendatangkan kebahagiaan, dari poin kedua dan seterusnya merupakan rincian dari ketaqwaan (dimana) semuanya kembali kepada ketaqwaan.

Ikhwani fillah a'āzaniyallāhu wa iyyakum,

Diantara perkara yang penting dalam masalah ketakwaan adalah,

● BERIMAN KEPADA TAKDIR ALLĀH SUBHĀNAHU WA TA'ĀLA

Ini adalah perkara yang sangat utama, sangat urgen dalam menghadapi pernak-pernik kehidupan ini; musibah, ujian, kesusah-payahan.

Yang kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam tatakala ditanya oleh malaikat Jibril: "Kabarkanlah kepadaku tentang iman."

Kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam: "Engkau beriman kepada Allāh, kepada rasul-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, kepada hari akhirat dan engkau beriman kepada takdir, takdir yang baik maupun yang buruk."

Beriman dengan keyakinan yang pasti bahwasanya segala yang terjadi, yang baik maupun yang buruk, semuanya atas kehendak Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Dan beriman bahwasanya di balik apa yang Allāh tetapkan itu ada hikmah yang mungkin kita tahu ataupun mungkin tidak kita ketahui.

Ikhwani fillah a'āzaniyallāhu wa iyyakum,

Orang yang mudah marah/emosi berarti imannya kepada takdir kurang.

Rukun iman ada enam (rukun ke-6 adalah Beriman Kepada Takdir) dan kita semua sudah hafal. Tetapi bagaimana menerapkan iman kepada takdir tersebut.

Oleh karenanya, sangat sedih tatkala kita melihat ada seseorang yang penampilannya, mā syā Allāh, islami, tetapi kemudian baru ada masalah sedikit lalu langsung ngamuk/marah-marah.

Mana iman kepada takdir? Mana bab tentang bersabar (dalam kitab Tauhid)?

(Karena) Sabar merupakan praktek dari tauhid, sehingga orang yang tidak sabar berarti tauhidnya dipertanyakan, keimanannya kepada takdir dipertanyakan.

Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:

وَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡـًٔ۬ا وَهُوَ خَيۡرٌ۬ لَّڪُمۡ‌ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّواْ شَيۡـًٔ۬ا وَهُوَ شَرٌّ۬ لَّكُمۡ‌ۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ

"Bisa jadi engkau membenci suatu perkara dan Allāh menjadikan kebaikan yang banyak pada perkara yang kau benci tersebut. Bisa jadi kau membenci sesuatu, ternyata itu lebih baik bagimu. Dan bisa jadi kau mencintai sesuatu, ternyata itu buruk bagimu. Allāh mengetahui dan kalian tidak mengetahui."

(QS Al Baqarah: 216)

Ini perkara yang kelihatannya sepele tapi berpengaruh dalam masalah kebahagiaan.

Orang yang beriman kepada takdir dengan tenang maka dia akan qāna'ah, dia akan menerima apa yang Allāh takdirkan kepada dia; jika terkena musibah maka bersabar, jika mendapatkan kebaikan maka tidak 'ujub.

Yang ini semua berkaitan dengan ketakwaan.

Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِ‌ۗ وَمَن يُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ يَہۡدِ قَلۡبَهُ ۥ‌ۚ

"Tidak ada suatu musibah yang menimpa, kecuali dengan izin Allāh. Barangsiapa yang beriman kepada Allāh, maka Allāh akan berikan hidayah kepada hatinya."

(QS At Taghābun: 11)

Seorang Salaf (Alqamah) menafsirkan ayat ini mengatakan:

هو الرجل تصيبه المصيبة فيعلم أنها من قضاء الله، فيرضى بها ويسلم

"Yaitu seorang yang terkena musibah, kemudian dia mengetahui bahwasanya musibah tersebut dari sisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla, maka dia ridhā dan dia menyerahkan urusannya kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla."

Sebagaimana ketakwaan merupakan sumber dari segala kebahagiaan, maka sebaliknya, maksiat merupakan sumber dari segala kesengsaraan.

Kata Allah Subhānahu wa Ta'āla:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا

"Barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku (Al Qurān), maka bagi dia kehidupan yang sempit." (QS Thāhā: 124)

⇒ Maka bagi dia kehidupan yang penuh dengan kesulitan, penderitaan (hatinya menderita).

Bisa jadi hartanya banyak, memiliki rumah yang mewah dan luas, akan tetapi hatinya sempit.

Kenapa? Karena maksiat yang dia lakukan.

Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:

وَمَآ أَصَـٰبَڪُم مِّن مُّصِيبَةٍ۬ فَبِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِيكُمۡ

"Dan tidak ada satu musibahpun yang menimpa kalian kecuali akibat perbuatan kalian."

(QS Asy Syūrā: 30)

⇒ Artinya, banyak orang yang heran tatkala mereka terkena musibah, mereka mengatakan: "Darimana musibah ini?"

Terkadang orang lupa, "Kenapa saya mendapat musibah? Kenapa saya begini?"

Dia lupa bahwasanya dia terjerumus dalam kemaksiatan, padahal segala maksiat yang dia lakukan merupakan sumber kesengsaraan dalam hatinya.

Bahkan para ulama menyebutkan:

"Bahkan pandangan haram yang kita umbarkan dengan melihat aurat wanita yang tidak halal bagi kita, sengaja kita berlezat-lezat melihat hal yang diharamkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, itu adalah sumber kesengsaraan bagi hati seseorang."

Karenanya Ibnul Qayyim menyebutkan:

"Segala kesedihan, gundah gulana, kekhawatiran yang menimpa hati seseorang, itu merupakan hukuman yang Allāh segerakan bagi seseorang dan merupakan neraka Jahannam yang Allāh segerakan di dunia ini."

Seseorang yang ingin berbahagia, hindarkan kemaksiatan sebisa mungkin, jauhkan kemaksiatan, dan bertakwa kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Karena seluruh kesengsaraan, seluruh kegelisahan hati, kembalinya kepada kemaksiatan yang dilakukan oleh seseorang.
______________________________

Reposting dari Website: 
http://www.bimbinganislam.com

JALAN MENUJU KEBAHAGIAAN (BAGIAN 1 DARI 5)


Ustadz Firanda Andirja, MA

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
إن الحمد لله، نحمدُه ونستغفره ونستعينه ونستهديه ونعوذُ بالله من شرورِ أنفسنا ومن سيئاتِ أعمالنا، من يهْدِ اللهُ فلا مضِلَّ له ومن يضلل فلا هادي له.  وأشهد أنْ لا إله إلا اللهُ وحده لا شريك له وأشهد أنَّ محمداً عبدُه ورسولُه، لا نبي بعده.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً

أم بعد فإن أصدق الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم وشر الأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار 

Ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla,

Segala puji dan syukur wajib senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allāh Subhānahu wa Ta'āla atas segala limpahan karunia, kenikmatan dan kemudahan yang Allāh berikan kepada kita.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, imam kita, suri tauladan kita, Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam dan juga keluarganya, serta seluruh shahābat Beliau tanpa terkecuali dan juga pada pengikut Beliau yang setia hingga akhir zaman kelak.

Pada kesempatan yang berbahagia ini, kita akan membahas tentang "Hal-Hal Yang Bisa Mendatangkan Kebahagiaan Seorang Hamba".

Sesungguhnya Allāh Subhānahu wa Ta'āla telah berfirman dalam Al Qurān yang artinya:

لَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَـٰنَ فِى كَبَدٍ

"Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam keadaan bersusah payah."

(QS Al Balad: 4)

Dalam menjalani kehidupan di atas muka bumi ini, penuh kepayahan yang kita hadapi.

Bersusah payah dalam menghadapi godaan syaithan, dalam bekerja dan dalam berbagai macam urusan.

Oleh karenanya, seseorang terkadang bergembira dan terkadang bersedih; terkadang dia bisa menguasai urusannya; terkadang dia terkapar/tersungkur di hadapan permasalahan yang dia hadapi.

Demikianlah kondisi manusia, senantiasa dalam keadaan bersusah payah.

Dan tidak ada istirahat yang hakiki kecuali di akhirat (surga)

Selama dia masih di dunia maka dia akan menghadapi pernak-pernik kehidupan yang akan menimpa/mengganggu dirinya.

Dan tidak ada kehidupan yang benar-benar indah secara total kecuali di akhirat.

Terlebih-lebih lagi seorang yang beriman kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla, dimana Allāh sudah menjanjikan bahwasanya orang-orang yang beriman pasti akan diuji.

أَمۡ حَسِبۡتُمۡ أَن تَدۡخُلُواْ ٱلۡجَنَّةَ وَلَمَّا يَأۡتِكُم مَّثَلُ ٱلَّذِينَ خَلَوۡاْ مِن قَبۡلِكُم‌ۖ مَّسَّتۡہُمُ ٱلۡبَأۡسَآءُ وَٱلضَّرَّآءُ وَزُلۡزِلُواْ

"Apakah kalian menyangka akan masuk surga, sementara belum datang kepada kalian ujian yang pernah menimpa orang-orang sebelum kalian, mereka ditimpa dengan kesulitan, dengan kemudharatan, bahkan diguncang oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla (dengan bermacam-macam cobaan)."

(QS Al Baqarah: 214)

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ

"Dan sungguh benar-benar Kami akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan (kekhawatiran), kelaparan, ujian dalam hal ekonomi (sulitnya/kurangnya pemasukan), jiwa dan buah-buahan."

(QS Al Baqarah: 155)

Demikianlah kondisi seorang yang beriman; semakin beriman seseorang maka akan semakin banyak ujian yang menimpanya.

Rasulullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah bersabda:

أَشَدُّ النَّاسِ بَلَاءً الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الصَّالِحُونَ، ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ،

"Sesungguhnya yang paling berat ujiannya adalah para nabi, kemudian orang-orang yang shalih, kemudian selanjutnya, dan selanjutnya."

(HR Ahmad dan At Tirmidzi, hadits shahih)

Seorang diuji oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla berdasarkan kadar keimanannya.

Sampai-sampai Al Imam Asy Syāfi'ī rahimahullāh Ta'āla pernah berkata yang menggambarkan betapa banyak ujian yang menimpa beliau rahimahullahu ta'ala, yaitu:

◆ محنُ الزَّمانِ كثيرة ٌ لا تنقضي, وسرورهُ يأتيكَ كالأعيادِ

◆ Sesungguhnya ujian zaman datang terus tidak berhenti (silih berganti). Dan kegembiraan datang sesekali sebagaimana sesekalinya datangnya hari lebaran.

⇒ Ini gambaran yang pernah di ungkapkan oleh Al Imam Asy Syāfi'ī rahimahullāh, dimana begitu banyak ujian yang beliau hadapi.

Oleh karenanya, kita dapati ternyata seorang mu'min yang benar-benar beriman kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla adalah orang yang berbahagia.

Meskipun banyak ujian yang menghadapinya, banyak tantangan dan banyak susah payah yang dia alami.

Kenapa?

Karena dia menghadapi semua itu dengan keimanan dan ketakwaan.

Dia bisa mengkondisikan dirinya dalam menghadapi kondisi-kondisi berat dalam kehidupan ini.

Oleh karenanya, yang menjadi patokan kebahagiaan bukanlah banyaknya harta dan bukan juga sehatnya tubuh, tapi apa yang ada di hati.

Jika seseorang hatinya tentram, maka itulah orang yang berbahagia.
______________________________

http://www.bimbinganislam.com

Sabtu, 09 Januari 2016

Kisah Wanita Ta’at Beribadah Namun Tak Bisa Masuk Surga Karena ‘Menyepelekan’ Hal Ini

Al-Kisah diceritakan, ada seorang wanita yang dikenal taat dalam beribadah. Dia sangat rajin melakukan ibadah wajib maupun sunnah. Hanya ada satu kekurangannya, ia tak mau berjilbab menutupi auratnya.

Setiap kali ditanya ia hanya tersenyum, seraya menjawab: "Insya Allah yang penting hati dulu yang berjilbab." Sudah banyak orang yang menanyakan maupun menasihatinya. Tapi jawabannya tetap sama.

 

Hingga suatu malam ia bermimpi sedang berada disebuah taman yang indah. Rumputnya sangat hijau. Berbagai macam bunga bermekaran. Ia bahkan bisa merasakan bagaimana segarnya udara dan wanginya bunga. Sebuah sungai yang sangat jernih.

Airnya kelihatan melintas di pinggir taman. Semilir angin pun ia rasakan di sela-sela jarinya. Ada beberapa wanita di situ yang terlintas juga menikmati pemandangan keindahan taman.
Foto Ilustrasi

Ia pun menghampiri salah satu wanita tersebut. Wajahnya sangat bersih, seakan-akan memancarkan cahaya yang sangat lembut. "Assalamu'alaikum saudariku…" "Wa'alaikum salam…, selamat datang wahai saudariku…" "Terimakasih, apakah ini syurga?" Wanita itu tersenyum. "Tentu saja bukan wahai saudariku. Ini hanyalah tempat menunggu sebelum surga."

"Benarkah? Tak bisa kubayangkan seperti apa indahnya surga jika tempat menunggunya saja sudah seindah ini…" Wanita itu tersenyum lagi kemudian bertanya, "Amalan apa yang bisa membuatmu kembali wahai sudariku?" "Aku selalu menjaga shalat, dan aku menambah dengan ibadah-ibadah sunnah. Alhamdulillah."

Tiba-tiba jauh diujung taman ia melihat sebuah pintu yang sangat indah. Pintu itu terbuka, dan ia melihat beberapa wanita yang di taman tadi mulai memasukinya satu per satu. "Ayo, kita ikuti mereka!" Kata wanita itu sambil setengah berlari. "Apa di balik pintu itu?" "Tentu saja surga wahai saudariku…"

Larinya semakin cepat. "Tunggu… tunggu aku…" Ia berlari sekancang-kencangnya, namun tetap tertinggal. Wanita itu hanya setengah berlari sambil tersenyum padanya. Namun ia tetap saja tak mampu mengejarnya meski ia sudah berlari sekuat tenaga.

Ia lalu berteriak, "Amalan apa yang engkau lakukan sehingga engkau tampak begitu ringan?" "Sama denganmu wahai saudariku…" Jawab wanita itu sambil tersenyum. Wanita itu telah mencapai pintu. Sebelah kakinya telah melewati pintu. Sebelum wanita itu melewati pintu sepenuhnya, ia berteriak pada wanita itu, "Amalan apalagi yang engkau lakukan yang tidak aku lakukan?" Wanita itu menatapnya dan tersenyum lalu berkata, "Apakah engkau tidak memperhatikan dirimu apa yang membedakan dengan diriku?"

Ia sudah kehabisan nafas, tak mampu lagi menjawab, "Apakah engkau mengira bahwa Rabbmu akan mengizinkanmu masuk ke surga-Nya tanpa jilbab penutup aurat?" Kata wanita itu. Tubuh wanita itu telah melewati, tapi tiba-tiba kepalanya mengintip keluar memandangnya dan berkata, "Sungguh disayangkan, amalanmu tak mampu membuatmu mengikutiku memasuki surga ini. Cukuplah surga hanya sampai di hatimu karena niatmu adalah menghijabi hati."

Ia tertegun… lalu terbangun… beristighfar lalu mengambil wudhu. Ia tunaikan shalat Malam, menangis dan menyesali perkataannya dahulu.

Dan sekarang ia berjanji sejak saat ini ia akan MENUTUP AURATNYA.

Allah SWT Berfirman "Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin, 'hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal karena mereka tidak diganggu. Dan ALLAH adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al- Ahzab: 59)

Berjilbab adalah perintah langsung dari ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala, lewat utusan-Nya yakni baginda Nabi Besar Muhammad Rasulullah Saw. Yang namanya perintah dari ALLAH adalah wajib bagi seorang hamba untuk mematuhi-Nya. Dan apabila dilanggar, ini jelas ia telah berdosa.

Semoga cerita di atas mengilhami bagi wanita yang belum berhijab. Karna berhijab bukan sekedar menjadi identitas seorang musimah saja tapi ini adalah kewajiban yang harus di kerjakan. Semoga bermanfaat buat semua.