Rabu, 17 November 2010

Da'i Tukang Dongeng

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada penutup para rasul, kepada para keluarga dan sahabat beliau.
Sidang pembaca yang dimuliakan Allah ta’ala, sungguh fenomena yang teramat menyedihkan tatkala kita melihat berbagai media cetak lebih mengedepankan kisah-kisah, hikayat-hikayat yang validitasnya patut dipertanyakan sebagai bahan dakwah ke masyarakat. Tidak hanya di media massa, di lapangan dakwah pun, ceramah para da’i sering kita temui lebih sering dipenuhi kisah-kisah dongeng dan digunakan sebagai dalil, bahkan di satu kesempatan seorang ustadz penceramah selama satu jam lebih berceramah dengan berdalilkan kisah tanpa sedikitpun menyebut ayat Al Quran dan hadits nabi!
Sidang pembaca yang dirahmati Allah ta’ala, meski tujuan mereka baik, tapi ekses dari penyampaian kisah-kisah tersebut sebenarnya adalah memalingkan manusia dari Al Quran dan sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah kita tidak tahu bahwa Allah ta’ala mengingatkan kita untuk mempergunakan Al Quran ketika mendakwahi?!
Banyak ayat-ayat Allah yang mensiyalir akan hal itu. Allah ta’ala berfirman,
فَذَكِّرْ بِالْقُرْآنِ مَنْ يَخَافُ وَعِيدِ (٤٥)
Maka beri peringatanlah dengan Al Quran orang yang takut dengan ancaman-Ku. (Qaaf: 45).
فَلا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا (٥٢)
Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan Jihad yang besar. (Al Furqan: 52).
إِنَّمَا أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ رَبَّ هَذِهِ الْبَلْدَةِ الَّذِي حَرَّمَهَا وَلَهُ كُلُّ شَيْءٍ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ (٩١)وَأَنْ أَتْلُوَ الْقُرْآنَ فَمَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَقُلْ إِنَّمَا أَنَا مِنَ الْمُنْذِرِينَ (٩٢)
Aku hanya diperintahkan untuk menyembah Rabb negeri ini (Mekah) yang telah menjadikannya suci dan kepunyaan-Nya-lah segala sesuatu, dan aku diperintahkan supaya aku termasuk orang-orang yang beragama Islam. Dan supaya aku membacakan Al Quran (kepada manusia). Maka barangsiapa yang mendapat petunjuk, sesungguhnya ia hanyalah mendapat petunjuk untuk (kebaikan) dirinya, dan barangsiapa yang sesat maka katakanlah: “Sesungguhnya aku (ini) tidak lain hanyalah salah seorang pemberi peringatan. (An Naml: 91-92).
Saudaraku, sidang pembaca yang dirahmati Allah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya banyak menyampaikan kisah-kisah ketika berdakwah merupakan perkara baru yang tidak berdalil!! Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwasanya beliau mengatakan,
لم يُقَص – بضم الياء وفتح القاف – على عهد النبي صلى الله عليه وسلم ولا عهد أبي بكر ولا عهد عمر ولا عهد عثمان إنما كان القصص حيث كانت الفتنة
“Kisah tidak pernah disampaikan di zaman Abu Bakr, tidakpula di zaman ‘Umar dan ‘Utsman. Kisah hanya disampaikan ketika fitnah tersulut.”[1]
Mengapa Berdakwah dengan Dongeng?
Saudaraku tercinta, sidang pembaca yang dimuliakan Allah. Pertanyaannya, apakah motif yang mendorong para da’i mengganti ayat-ayat Al Quran dan hadits nabi dengan membawakan kisah-kisah ketika berdakwah? Berikut beberapa motif yang mengakibatkan hal tersebut.
§ Minimnya kemampuan para da’i dalam berdalil dengan ayat Al Quran dan hadits nabi yang shahih.
Anda dapat melihat para da’i tersebut, imma mereka tidak mampu menghafalnya atau tidak mampu bagaimana berdalil dengannya (beristidlal)! ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu pernah membicarakan perihal mereka,
«أعيتهم الاحاديث أن يحفظوها….»
Hadits-hadits melemahkan mereka sehingga mereka tidak mampu menghafalnya.[2]
Ketahuilah mereka tidak mampu menghafalnya karena Al Quran sangat berat dan agung sebagaimana firman-Nya,
إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلا ثَقِيلا (٥)
Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. (Al Muzammil: 5).
Demikianlah para da’i tukang dongeng, mereka tidak mampu memikulnya, karena harus dihafal dan ditilawahi dengan benar, tidak hanya itu, juga harus digunakan sebagai dalil dengan metode yang tepat. Berbeda dengan kisah yang sering mereka bawakan, jika kisah-kisah tersebut direkayasa sedemikian rupa, mereka berpikir siapa kiranya yang akan mengoreksi mereka ?
§ Ingin tenar dan menarik perhatian manusia.
Sahabat Tamim ad Daari pernah berkata kepada ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhuma,
دعنى ادع الله وأقص واذكَّر الناس
Biarkan saya, saya berdo’a kepada Allah, membawakan kisah dan mengingatkan manusia.
‘Umar menolak dan tatkala Tamim ad Daari mengulangi permintaannya, ‘Umar menjawab,
أنت تريد أن تقول انا تميم الداري فاعرفوني!!
Saya tidak akan mengijinkanmu, karena engkau ingin mengatakan kepada manusia, Wahai manusia, saya Tamim ad Daari, kenalilah diriku!![3]
Abul Fadhl Al ‘Iraqi rahimahullah mengatakan,
فانظر توقف عمر في اذنه في حق رجل من الصحابة يعني تميماً الداري الذين كل واحد منهم عدل مؤتمن واين مثل تميم في التابعين ومن بعدهم؟
Lihatlah bagaimana ‘Umar tidak mengijinkan seorang sahabat, Tamim ad Daari, padahal status setiap sahabat adalah adil dan tepercaya. Bagaimana kiranya dengan tabi’in dan generasi setelahnya?![4]
§ Memenuhi pesan sponsor dan keinginan mayoritas orang awam
Jiwa yang lemah gemar akan kisah dan hikayat karena kelemahannya untuk menerima nasehat, peringatan, perintah dan larangan yang berlandaskan dalil, apatah lagi diharapkan untuk mengenal halal dan haram. Tatkala para da’i pendongeng takjub akan kuantitas khalayak yang memperhatikan, maka mereka pun beranggapan alangkah baiknya pada momen tersebut menambah kisah-kisah aneh yang lain!!
Tatkala disebutkan perihal Maimun, seorang pendongeng, Abul Malih rahimahullah mengatakan,
لا يخطئ القاص ثلاثاً: إما ان يُسَمِّنَ قوله بما يَهْزُل دينه واما ان يعجب بنفسه واما ان يأمر بما لا يفعل
Tiga hal yang benar terdapat dalam diri seorang pendongeng, yaitu dia memperbanyak perkataannya dengan sesuatu yang mengerdilkan agamanya; takjub akan diri sendiri; dan memerintah manusia untuk mengerjakan sesuatu yang justru tidak dilakukannya.[5]
§ Tipudaya setan
Benar, setan telah menghias-hiasi metode ini sehingga para da’i tertarik. Anda dapat menjumpai para da’i yang menggunakan metode ini menyebarluaskan semua kisah aneh yang dipenuhi kebatilan karena terkesan akan kisah tersebut. Akhirnya mereka dengan mudah berdusta, bahkan dengan tindakan tersebut mereka dapat digolongkan sebagai manusia yang paling pendusta! As Suyuthi rahimahullah dalam kitabnya Tahdzirul Khawwash, telah menyebutkan beberapa golongan pendusta tersebut. Beliau mengatakan,
قال الامام احمد بن حنبل رحمه الله تعالى: «اكذب الناس القصاص والسُّؤَال» – بضم السين وفتح الهمزة مشددة – أي الذين يسألون الناس اموالهم فيخترعون القصص ليتصدقوا عليهم
Imam Ahmad in Hambal rahimahullah mengatakan, “Manusia pendusta yang paling parah adalah tukang dongeng dan pengemis. Mereka itulah golongan yang meminta-minta harta manusia dengan merekayasa berbagai kisah agar diberi sedekah[6].”[7]
Kerusakan yang Ditimbulkan
Banyak sekali dampak negatif yang timbul dari perbuatan da’i-da’i yang menjadikan hikayat sebagai bahan dakwahnya. Diantaranya adalah:
§ Dengan berbagai kisah dan hikayah tersebut, para da’i tukang dongeng justru memalingkan kaum muslimin untuk membaca, mentadabburi, memetik ilmu, nasihat, dan petunjuk dari Al Quran dan hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
§ Membiasakan orang awam dengan perbuatan rekayasa, kedustaan, tidak bersikap tatsabbut (cek dan ricek), kisah yang berlebih-lebihan dan penuh khayalan yang menjerumuskan.
§ Memalingkan perhatian manusia kepada para da’i tukang dongeng dan justru lari dari para ulama dan da’i yang kredibel dan kapabel. Anda dapat melihat bahwa saat ini masyarakat awam lebih senang duduk di majelis da’i-da’i tukang dongeng daripada duduk di majelis ilmu ilmiah yang dibawakan para ulama.
§ Menipu mayoritas manusia karena mengira da’i tukang dongeng tersebut memiliki ilmu dan layak diminta fatwanya. Akhirnya mereka pun bertanya mengenai problematika kehidupan dan meminta fatwa kepada mereka, dan seringkali para da’i tersebut berfatwa tanpa ilmu sehingga mereka pun sesat lagi menyesatkan.
§ Seringkali para da’i tukang dongeng menyampaikan berbagai kisah dan dongeng dengan berpegang pada hadits-hadits palsu dan lemah. Padahal, perbuatan ini merupakan dosa besar.
§ Memalingkan manusia dari kisah-kisah yang tertera dalam Al Quran, yang telah dinyatakan oleh Allah sebagai kisah terbaik. Allah ta’ala berfirman,
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَذَا الْقُرْآنَ وَإِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ (٣)
Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (kami mewahyukan)nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui. (Yusuf: 3).
§ Kerusakan terbesar yang diperbuat oleh para da’i tersebut adalah sikap mereka terhadap kisah para nabi. Dengan gampangnya mereka memberi tambahan cerita sehingga menyifati para nabi dengan berbagai sifat yang tidak pantas.
§ Terkadang para da’i tersebut menyampaikan berbagai kejadian fitnah yang terjadi di antara para sahabat ridwanullahi ‘alaihim ajma’in. Tidak sedikit mereka mencaci dan melanggar kehormatan para sahabat, padahal kewajiban kita kaum muslimin untuk menahan diri, tidak berkomentar negatif mengenai segala fitnah yang terjadi di antara para sahabat.
Akhir kata
Saudaraku, anda telah mengetahui bahwa sebenarnya para da’i pendongeng tersebut justru berbuat buruk terhadap Islam. Bahaya yang ditimbulkan teramat besar bagi kaum muslimin. Maka kita berkewajiban memegang teguh Al Quran dan hadits, memotivasi kaum muslimin yang lain untuk memperhatikan para ulama rabbani, mendorng mereka untuk menuntut ilmi, dan bukan memalingkan pandangan kepada para da’i pendongeng tersebut. Kita wajib waspada terhadap da’i-da’i pendongeng dan memperingatkan umat akan dampak yang ditimbulkan oleh mereka.
Hanya kepada Allah semata kami memohon untuk memberikan taufik-Nya agar kaum muslimin mampu melaksanakan segala perbuatan yang mendatangkan kebaikan bagi diri mereka. Walhamdu lillahi rabbil ‘alamin.
Diterjemahkan dari artikel Dr. Salim ath Thawil, “Dzammul Qashshashin” dengan beberapa penyesuaian.


[1] Mawariduzh Zham-an hlm. 58 dan disebutkan oleh As Suyuthi dalam Tahdzirul Khawwas hlm. 245.
[2] Syarhul Laalikaai li Ushulis Sunnah 1/139 dan Sunan Ad Darimi 1/47.
[3] Disebutkan oleh Ath Thurthukhi di hlm. 109.
[4] Tahdzirul Khawwash hlm. 223.
[5] Tahdzirul Khawwash hlm. 251-252.
[6] Tahdzirul Khawwash hlm. 265.
[7] Contoh akan hal ini, -ditinjau dari keanehan dan keinginan para da’i tersebut untuk mengumpulkan khalayak-seperti tindakan mereka yang terkadang menyampaikan kisah-kisah yang mengundang ketawa, di waktu lain menyampaikan kisah-kisah yang membuka aib seseorang, atau kisah-kisah yang memasyhurkan pelaku maksiat.


di posting ulang oleh Abu Afifah Assalafy dari:
Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah
Da'i Tukang Dongeng


Selasa, 02 November 2010

Hukum Mengadakan Walimah Khitan dan Memenuhi Undangannya

Para ulama berbeda pendapat mengenai pengadaan walimah khitan. Ada yang mengatakan walimah khitan itu sunnah, dan memenuhi undangan juga sunnah. Ini adalah madzhab Hanafiyyah[1], satu pendapat dari madzhab Syafi’iyyah[2], dan satu pendapat dari madzhab Hanabilah[3].
Dikatakan, disunnahkan mengadakan walimah khitan hanya untuk anak laki-laki, bukan untuk anak perempuan – karena khitan anak perempuan itu bersifat tersembunyi dan ada perasaan malu untuk menampakkannya. Pendapat ini dipilih oleh Al-Adzra’iy dari kalangan Syafi’iyyah.[4]
Dikatakan, walimah khitan adalah mubah, dan memenuhi undangannya juga mubah. Ini adalah pendapat Malikiyyah[5] dan Hanabilah[6].
Dan dikatakan juga, walimah khitan itu adalah makruh, dan menghadirinya pun makruh. Pendapat ini dipilih sebagian ulama Malikiyyah[7], dan ia merupakan satu riwayat dari Ahmad[8].
Dari berbagai pendapat yang ada, yang raajih (kuat) hukum mengadakan walimah khitan adalah mubah, sebab ia hanyalah terkait dengan adat istiadat dan kebiasaan manusia saja. Inilah hukum asal dari setiap walimah, sebagaimana ditegaskan dalam kaidah ushul :
الأصل في الأشياء الإباحة إلا إذا أتى ما يدل على تحريم ذلك الشيء
“Asal dari segala sesuatu adalah diperbolehkan, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan keharamannya” [Min Ushuulil-Fiqh ‘alaa Manhaji Ahlil-Hadiits, oleh Zakariyyah bin Ghulaam Qaadir Al-Baakistaaniy, hal. 166].
Ia akan diberikan pahala sesuai dengan apa yang diniatkannya.
Adapun pendapat yang memakruhkan, atau bahkan sampai mengharamkannya (sebagaimana beredar di sebagian ikhwah), maka ini keliru.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
إذا دعا أحدكم أخاه فليجب، عرسا كان أو نحوه.
“Apabila salah seorang di antara kalian mengundang (walimah) saudaranya, hendaklah ia memenuhinya – baik undangan pernikahan atau yang semisalnya” [HR. Abu Dawud no. 3738].
Perkataan beliau : “atau yang semisalnya” mengandung faedah bahwa walimah itu tidaklah sebatas walimatul-‘urs saja. Namun walimah-walimah lain yang menjadi kebiasaan dan adat manusia. Termasuk walimah khitan.
Inilah yang dipegang oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, dimana beliau mengatakan :
أما الوليمة العرس فهي سنة، والإجابة إليها مأمور بها وأما وليمة الموت فبدعة، مكروه فعلها، والإجابة إليها. وأما وليمة الختان فهي جائزة : من شاء فعلها، ومن شاء تركها.
Walimatul-‘urs hukumnya sunnah dan memenuhi undangannya adalah diperintahkan. Adapunwalimah atas kematian seseorang, maka itu bid’ah yang dibenci (makruh) melaksanakannya dan memenuhi undangannya. Sedangkan walimah khitan, maka hukumnya jaaiz (diperbolehkan). Barangsiapa yang ingin, maka boleh ia melakukannya ataupun meninggalkannya…” [Majmu’ Al-Fataawaa, 32/206].
Hadits di atas juga mengandung faedah akan wajibnya memenuhi semua undangan walimah, termasuk khitan.[9]
Syamsul-Haq ‘Adhiim ‘Abadiy berkata saat menjelaskan hadits riwayat Abu Dawud di atas :
وقد احتج بهذا من ذهب إلى أنه يجب الإجابة إلى الدعوة مطلقاً. وزعم ابن حزم أنه قول جمهور الصحابة والتابعين.
“Hadits ini telah digunakan sebagai hujjah oleh orang yang berpendapat wajibnya memenuhi undangan secara mutlak. Dan Ibnu Hazm mengatakan bahwasannya hal itu merupakan pendapat jumhur shahabat dan tabi’in” [‘Aunul-Ma’bud, 10/204].
Hal itu dikuatkan oleh riwayat lain dengan (tambahan) lafadh :
من لم يجب الدعوة فقد عصى الله ورسوله.
“Barangsiapa yang tidak memenuhi undangan tersebut, sungguh ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya” [HR. Ahmad no. 5263; shahih – lihat keterangannya dalam Adaabuz-Zifaaf, hal. 154].
Tanbih !!
عن الحسن قال : دعي عثمان بن أبي العاص إلى ختان فأبى ان يجيب فقيل له فقال انا كنا لا نأتي الختان على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا ندعى له
Dari Al-Hasan ia berkata : “’Utsman bin Abil-‘Ash pernah diundang walimah khitan, maka ia menolak untuk memenuhinya. Lalu ditanyakan kepadanya hal tersebut. Ia menjawab : ‘Kami dulu pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mendatangi undangan khitan dan tidak diadakan undangan padanya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/217 no. 17938 dan Ath-Thabaraniy 9/48].
Hadits ini adalah dla’if karena ‘an’anah Muhammad bin Ishaq, sedangkan ia seorang mudallis. Oleh karena itu, riwayat tidak bisa digunakan sebagai hujjah.
***
Itu saja yang dapat dituliskan. Semoga ada manfaatnya.
[Abu Al-Jauzaa’ Al-Bogoriy – Perumahan Ciomas Permai, pertengahan bulan Rajab 1430 H].

[1] Badaai’ush-Shanaai’ (7/10).
[2] An-Nawawi rahimahullah berkata :
الوليمة مستحبة لغير العرش
“Walimah itu disunnahkan, selain dari walimah pernikahan (yang dihukumi wajib)” [I’aanatuth-Thaalibiin, 3/357].
وأما سائر الولائم، فمستحبة، ليس بواجبة على المذهب وبه قطع الجمهور، ولا يتأكذ تأكد وليمة النكاح.
“Adapun seluruh walimah, maka hukum sunnah, bukan wajib berdasarkan pendapat madzhab. Dan pendapat inilah yang dinyatakan oleh jumhur ulama. Namun hal itu tidaklah ditekankan (untuk mengadakannya) sebagaimana ditekankan dalam walimah pernikahan” [Raudlatuth-Thaalibiin, 7/333].
[3] Dikatakan dalam Al-Inshaaf (5/320) :
هذا قول أبي حفص العكبري، وقطع به في الكافي، والمغني، والشرح، وشرح ابن منجا، وهو ظاهر كلام ابن أبي موسى، قاله في المستوعب.
“Ini adalah perkataan Abu Hafsh Al-‘Ukbariy yang dinyatakan dalam Al-KaafiyAl-MughniyAsy-Syarh, dan Syarh Ibni Manjaa. Dan hal itu yang nampak dari perkataan Ibnu Abi Musa, dimana ia mengatakannya dalam Al-Mustau’ab”.
[4] Mughnil-Muhtaaj, 4/403.
[5] Dikatakan dalam Mawaahibul-Jaliil (4/3) :
ومباحة الإجابة : وهي التي تعمل من غير قصد مذموم، كالعقيقة للمولود، والنقيعة للقادم من السفر، والوكيرة لبناء الدار والخرس للنفاس، والإعذار للختان، ونحو ذلك.
“Walimah yang hukumnya mubah untuk memenuhi undangannya adalah walimah yang dilakukan bukan untuk tujuan yang tercela, seperti : ‘aqiqah saat kelahiran bayi, perjamuan yang dilakukan oleh orang yang baru datang dari safar, perjamuan karena pembangunan rumah dan wanita setelah selesai nifas, perjamuan pada waktu khitan, dan yang lainnya”.
[6] Syarh Muntahaa Al-Iraadaat (3/33), Kasysyaaful-Qinaa’ (5/166), dan Mathaalibu Ulin-Nuhaa fii Syarh Ghaayatul-Muntahaa (5/234). Dikatakan dalam Al-Inshaaf (8/320) : “Ia merupakan pendapat yang shahih dari madzhab”.
[7] Dikatakan dalam Asy-Syaamil :
ووجوب إجابة الدعوة إنما هو لوليمة العرس، وأما ما عداها فحضوره مكروه إلا العقيقة فمندوب.
“Wajib hukumnya memenuhi undangan hanya untuk walimatul-‘urs (pesta pernikahan) saja. Adapun selainnya, maka menghadirinya adalah makruh, kecuali ‘aqiqah yang itu dianjurkan (untuk menghadirinya)”.
[8] Al-Inshaaf (8/231).
[9] Dengan syarat jika walimah tersebut tidak mengandung/memuat perkara-perkara yang diharamkan oleh syari’at.

Sumber: http://id.ahlussunnah.mobi/fiqih/hukum-mengadakan-walimah-khitan-dan-memenuhi-undangannya

Meraih Limpahan Pahala di Awal Dzulhijah | Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat


Alhamdulillah, Allah subhanahu wa ta’ala masih memberikan kita berbagai macam nikmat, kita pun diberi anugerah akan berjumpa dengan bulan Dzulhijah. Berikut kami akan menjelasakan keutamaan beramal di awal bulan Dzulhijah dan apa saja amalan yang dianjurkan ketika itu. Semoga bermanfaat.
Keutamaan Sepuluh Hari di Awal Bulan Dzulhijah
Di antara yang menunjukkan keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah adalah hadits Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ».
"Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah)." Para sahabat bertanya: "Tidak pula jihad di jalan Allah?" Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun."[1]
Di antaranya lagi yang menunjukkan keutamaan hari-hari tersebut adalah firman Allah Ta’ala,
وَلَيَالٍ عَشْرٍ
Dan demi malam yang sepuluh.” (QS. Al Fajr: 2). Di sini Allah menggunakan kalimat sumpah. Ini menunjukkan keutamaan sesuatu yang disebutkan dalam sumpah.[2] Makna ayat ini, ada empat tafsiran dari para ulama yaitu: sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah, sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Ramadhan dan sepuluh hari pertama bulan Muharram.[3] Malam (lail) kadang juga digunakan untuk menyebut hari (yaum), sehingga ayat tersebut bisa dimaknakan sepuluh hari Dzulhijah.[4] Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan bahwa tafsiran yang menyebut sepuluh hari Dzulhijah, itulah yang lebih tepat. Pendapat ini dipilih oleh mayoritas pakar tafsir dari para salaf dan selain mereka, juga menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas.[5]
Keutamaan Beramal di Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah)." Para sahabat bertanya: "Tidak pula jihad di jalan Allah?" Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun."[6]
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa amalan di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari lainnya dan di sini tidak ada pengecualian. Jika dikatakan bahwa amalan di hari-hari tersebut lebih dicintai oleh Allah, itu menunjukkan bahwa beramal di waktu itu adalah sangat utama di sisi-Nya.”[7]
Bahkan jika seseorang melakukan amalan yang mafdhul (kurang utama) di hari-hari tersebut, maka bisa jadi lebih utama daripada seseorang melakukan amalan yang utama di selain sepuluh hari awal bulan Dzulhijah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya, “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Beliau pun menjawab, “Tidak pula jihad di jalan Allah.” Lalu beliau memberi pengecualian yaitu jihad dengan mengorbankan jiwa raga. Padahal jihad sudah kita ketahui bahwa ia adalah amalan yang mulia dan utama. Namun amalan yang dilakukan di awal bulan Dzulhijah tidak kalah dibanding jihad, walaupun amalan tersebut adalah amalan mafdhul (yang kurang utama) dibanding jihad.[8]
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hal ini menunjukkan bahwa amalan mafdhul (yang kurang utama) jika dilakukan di waktu afdhol (utama) untuk beramal, maka itu akan menyaingi amalan afdhol (amalan utama) di waktu-waktu lainnya. Amalan yang dilakukan di waktu afdhol untuk beramal akan memiliki pahala berlebih karena pahalanya yang akan dilipatgandakan.”[9] Mujahid mengatakan, “Amalan di sepuluh hari pada awal bulan Dzulhijah akan dilipatgandakan.”[10]
Sebagian ulama mengatakan bahwa amalan pada setiap hari di awal Dzulhijah sama dengan amalan satu tahun. Bahkan ada yang mengatakan sama dengan 1000 hari, sedangkan hari Arofah sama dengan 10.000 hari. Keutamaan ini semua berlandaskan pada riwayat fadho’il yang lemah (dho’if). Namun hal ini tetap menunjukkan keutamaan beramal pada awal Dzulhijah berdasarkan hadits shohih seperti hadits Ibnu ‘Abbas yang disebutkan di atas.[11]
Amalan yang Dianjurkan di Sepuluh Hari Pertama Awal Dzulhijah
Keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa saja, tidak terbatas pada amalan tertentu, sehingga amalan tersebut bisa shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan amalan sholih lainnya.[12] Di antara amalan yang dianjurkan di awal Dzulhijah adalah amalan puasa. Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya[13], ...”[14]
Di antara sahabat yang mempraktekkan puasa selama sembilan hari awal Dzulhijah adalah Ibnu ‘Umar. Ulama lain seperti Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin dan Qotadah juga menyebutkan keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama. [15]
Namun ada sebuah riwayat dari ‘Aisyah yang menyebutkan,
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَائِمًا فِى الْعَشْرِ قَطُّ
Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh hari bulan Dzulhijah sama sekali.[16]Mengenai riwayat ini, para ulama memiliki beberapa penjelasan.
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan puasa ketika itu –padahal beliau suka melakukannya- karena khawatir umatnya menganggap puasa tersebut wajib.[17]
Imam Ahmad bin Hambal menjelaskan bahwa ada riwayat yang menyebutkan hal yang berbeda dengan riwayat ‘Aisyah di atas. Lantas beliau menyebutkan riwayat Hafshoh yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan puasa pada sembilan hari awal Dzulhijah. Sebagian ulama menjelaskan bahwa jika ada pertentangan antara perkataan ‘Aisyah yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa sembilan hari Dzulhijah dan perkataan Hafshoh yang menyatakan bahwa beliau malah tidak pernah meninggalkan puasa sembilan hari Dzulhijah, maka yang dimenangkan adalah perkataan yang menetapkan adanya puasa sembilan hari Dzulhijah.
Namun dalam penjelasan lainnya, Imam Ahmad menjelaskan bahwa maksud riwayat ‘Aisyah adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa penuh selama sepuluh hari Dzulhijah. Sedangkan maksud riwayat Hafshoh adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di mayoritas hari yang ada. Jadi, hendaklah berpuasa di sebagian hari dan berbuka di sebagian hari lainnya.[18]
Kesimpulan: Boleh berpuasa penuh selama sembilan hari bulan Dzulhijah (dari tanggal 1 sampai 9 Dzulhijah) atau berpuasa pada sebagian harinya.
Catatan: Kadang dalam hadits disebutkan berpuasa pada sepuluh hari awal Dzulhijah. Yang dimaksudkan adalah mayoritas dari sepuluh hari awal Dzulhijah, hari Idul Adha tidak termasuk di dalamnya dan tidak diperbolehkan berpuasa pada hari ‘Ied.[19]
Keutamaan Hari Arofah
Di antara keutamaan hari Arofah (9 Dzulhijah) disebutkan dalam hadits berikut,
مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ
Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah di hari Arofah (yaitu untuk orang yang berada di Arofah). Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka?”[20]
Itulah keutamaan orang yang berhaji. Saudara-saudara kita yang sedang wukuf di Arofah saat ini telah rela meninggalkan sanak keluarga, negeri, telah pula menghabiskan hartanya, dan badan-badan mereka pun dalam keadaan letih. Yang mereka inginkan hanyalah ampunan, ridho, kedekatan dan perjumpaan dengan Rabbnya. Cita-cita mereka yang berada di Arofah inilah yang akan mereka peroleh. Derajat mereka pun akan tergantung dari niat mereka masing-masing.[21]
Keutamaan yang lainnya, hari arofah adalah waktu mustajabnya do’a. Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ
Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arofah.[22] Maksudnya, inilah doa yang paling cepat dipenuhi atau terkabulkan.[23] Jadi hendaklah kaum muslimin memanfaatkan waktu ini untuk banyak berdoa pada Allah. Do’a pada hari Arofah adalah do’a yang mustajab karena dilakukan pada waktu yang utama.
Jangan Tinggalkan Puasa Arofah
Bagi orang yang tidak berhaji dianjurkan untuk menunaikan puasa Arofah yaitu pada tanggal 9 Dzulhijah. Hal ini berdasarkan hadits Abu Qotadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
Puasa Arofah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.[24] Hadits ini menunjukkan bahwa puasa Arofah lebih utama daripada puasa ‘Asyuro. Di antara alasannya, Puasa Asyuro berasal dari Nabi Musa, sedangkan puasa Arofah berasal dari Nabi kita Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam.[25] Keutamaan puasa Arofah adalah akan menghapuskan dosa selama dua tahun dan dosa yang dimaksudkan di sini adalah dosa-dosa kecil. Atau bisa pula yang dimaksudkan di sini adalah diringankannya dosa besar atau ditinggikannya derajat.[26]
Sedangkan untuk orang yang berhaji tidak dianjurkan melaksanakan puasa Arofah.
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَفْطَرَ بِعَرَفَةَ وَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ أُمُّ الْفَضْلِ بِلَبَنٍ فَشَرِبَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa ketika di Arofah. Ketika itu beliau disuguhkan minuman susu, beliau pun meminumnya.”[27]
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa beliau ditanya mengenai puasa hari Arofah di Arofah. Beliau mengatakan,
حَجَجْتُ مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ أَبِى بَكْرٍ فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ عُمَرَ فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ عُثْمَانَ فَلَمْ يَصُمْهُ. وَأَنَا لاَ أَصُومُهُ وَلاَ آمُرُ بِهِ وَلاَ أَنْهَى عَنْهُ
“Aku pernah berhaji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak menunaikan puasa pada hari Arofah. Aku pun pernah berhaji bersama Abu Bakr, beliau pun tidak berpuasa ketika itu. Begitu pula dengan ‘Utsman, beliau tidak berpuasa ketika itu. Aku pun tidak mengerjakan puasa Arofah ketika itu. Aku pun tidak memerintahkan orang lain untuk melakukannya. Aku pun tidak melarang jika ada yang melakukannya.”[28]
Dari sini, yang lebih utama bagi orang yang sedang berhaji adalah tidak berpuasa ketika hari Arofah di Arofah dalam rangka meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafa’ur Rosyidin (Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman), juga agar lebih menguatkan diri dalam berdo’a dan berdzikir ketika wukuf di Arofah. Inilah pendapat mayoritas ulama.[29]
Puasa Hari Tarwiyah (8 Dzulhijah)
Ada riwayat yang menyebutkan,
صَوْمُ يَوْمَ التَّرْوِيَّةِ كَفَارَةُ سَنَة
Puasa pada hari tarwiyah (8 Dzulhijah) akan mengampuni dosa setahun yang lalu.
Ibnul Jauzi mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih.[30] Asy Syaukani mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih dan dalam riwayatnya ada perowi yang pendusta.[31] Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if (lemah).[32]
Oleh karena itu, tidak perlu berniat khusus untuk berpuasa pada tanggal 8 Dzulhijjah karena hadisnya dha’if (lemah). Namun jika berpuasa karena mengamalkan keumuman hadits shahih yang menjelaskan keutamaan berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, maka itu diperbolehkan. Wallahu a’lam.
Demikian pembahasan kami mengenai amalan di awal Dzulhijah. Ada sedikit pembahasan puasa Arofah yang mesti kami bahas pada posting selanjutnya. Semoga Allah memudahkan kita beramal sholih dengan ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi-Nya.
Diselesaikan di Panggang, Gunung Kidul, 27 Dzulqo’dah 1430 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com



[1] HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.
[2] Lihat Taisir Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 923, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H.
[3] Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 6/153, Mawqi’ At Tafasir.
[4] Lihat Tafsir Juz ‘Amma, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, hal. 159, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan tahun 1424 H.
[5] Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 469, Al Maktab Al Islamiy, cetakan pertama, tahun 1428 H.
[6] HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.
[7] Latho-if Al Ma’arif, hal. 456.
[8] Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 457 dan 461.
[9] Idem
[10] Latho-if Al Ma’arif, hal. 458.
[11] Idem
[12] Lihat Tajridul Ittiba’, Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhailiy, hal. 116, 119-121, Dar Al Imam Ahmad.
[13] Yang jadi patokan di sini adalah bulan Hijriyah, bukan bulan Masehi.
[14] HR. Abu Daud no. 2437. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[15] Latho-if Al Ma’arif, hal. 459.
[16] HR. Muslim no. 1176, dari ‘Aisyah
[17] Fathul Bari, 3/390, Mawqi’ Al Islam
[18] Latho-if Al Ma’arif, hal. 459-460.
[19] Lihat Fathul Bari, 3/390 dan Latho-if Al Ma’arif, hal. 460.
[20] HR. Muslim no. 1348, dari ‘Aisyah.
[21] Lihat Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih, Al Mala ‘Alal Qori, 9/65,Mawqi’ Al Misykah Al Islamiyah.
[22] HR. Tirmidzi no. 3585. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[23] Lihat Tuhfatul Ahwadziy, Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim Al Mubarakfuri Abul ‘Ala, 8/482, Mawqi’ Al Islam.
[24] HR. Muslim no. 1162, dari Abu Qotadah.
[25] Lihat Fathul Bari, 6/286.
[26] Lihat Syarh Muslim, An Nawawi, 4/179, Mawqi’ Al Islam.
[27] HR. Tirmidzi no. 750. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits tersebut hasan shohih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits inishahih
[28] HR. Tirmidzi no. 751. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
[29] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik, 2/137, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[30] Lihat Al Mawdhu’at, 2/565, dinukil dari http://dorar.net
[31] Lihat Al Fawa-id Al Majmu’ah, hal. 96, dinukil dari http://dorar.net
[32] Lihat Irwa’ul Gholil no. 956.